NovelToon NovelToon
Sillent Treatment Suamiku

Sillent Treatment Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:560
Nilai: 5
Nama Author: Fay :)

Sinopsis



Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.


Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.


Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.


Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.


Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.


Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8. Pernikahan yang sendu

    Bab 8. Pernikahan yang sendu 

 Semua mata tertuju padanya, banyak anggukan dan senyum tipis dari keluarga yang menyayangi Nara, memberikannya sedikit semangat dan kekuatan agar tak membenci keadaan.

   “Apa sudah siap?” Tanya penghulu yang akan memulai prosesi akad nikah kearah Rama dan Nara.

   Nara memperhatikan wajah Ayahnya yang tak sama sekali menoleh kearahnya, ia pikir pernikahan ini apa karna memang sepenuh hati atau terpaksa melakukannya. 

   Rama menoleh karna Nara tak memberikan jawaban, sedikit memberikan kode gerakan agar Nara terbangun dari bayang-bayang dibenaknya. 

  “Em ya..” jawab Nara gerogi. 

  “Apa sudah siap?” Tanya penghulu lagi. 

 

   Nara hanya mengangguk dan melihat kearah Rama, wajah tenangnya tak memungkiri jika ada rasa grogi juga dalam dirinya. 

   Kalian tahu atau bahkan pernah merasakan, banyak keinginan mengutarakan segala isi hati yang tak sesuai dengan kemauan, tapi terpaksa diam karna sebuah keadaan!

   Sama halnya dengan Nara, hatinya sakit. Sakit karna kecewa, sakit karna tak mampu memberikan pendapatnya, sakit karna sikap egois Ayahnya. Tapi jalannya harus sesuai dengan keadaan yang ada.

*

*

*

   Begitu menggema kata sah dari para saksi dan lantunan doa yang mengiringi akhir dari prosesi akad nikah ini, membuat hati Nara tersadar statusnya kini berubah. Menjadi bagian dari orang asing yang baru ia kenali.

   Tangannya gemetar saat prosesi sungkeman dimulai. Ia berjalan ke arah Rama, menunduk dan menjabat tangan pria itu. Suhu tangan Rama dingin, tapi genggamannya tegas. Tak ada senyum. Hanya anggukan pelan yang membuat dada Nara semakin sesak.

   “Makasih udah terima pernikahan ini,” ucap Rama lirih, hampir tak terdengar.

   Nara hanya mengangguk. Tidak menjawab namun memberikan senyum tipis kepada Rama.

   Begitu tiba pada tangan yang membesarkan Nara yaitu Ayahnya, detak jantung Nara begitu kencang debarnya. Nara mencium hikmat punggung tangan yang kini melepas tanggung jawabnya kepada laki-laki pilihannya sendiri.

   Sentuhan lembut dari tangan besarnya menyentuh kepala Nara, memberikan bisikan yang menggetarkan jiwa, 

   “Nara, berbahagialah kamu dan maafkan Ayah.”

   Sontak dari kalimat singkat yang Ayahnya ucapkan, menjatuhkan dinding pertahanan air mata Nara. Bulirnya menetes membasahi tangan yang masih Nara genggam. 

   Nara memandangi wajah Ayahnya yang nampak sendu, matanya juga berkaca-kaca, sekerasnya sifat Ayahnya pasti ada sisi kelembutan yang tertutup.

   Air matanya juga menetes namun segera ia usap agar putrinya tak berpikir jika Ayahnya tak merelakan dirinya.

*

*

*

   Setelah akad, acara dilanjutkan dengan makan siang sederhana. Tidak ada resepsi besar. Para tamu yang terhitung hanya keluarga inti saja datang dan pergi tanpa banyak basa-basi. Dan Nara… hanya duduk di pelaminan semu, mencoba tersenyum meski hatinya hampa.

   Aiden sempat digendong Rama saat bayi itu menangis. Anehnya, tangisan itu langsung reda. Rama tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi tangannya yang memeluk Aiden terlihat hati-hati, seolah ia sangat mengerti cara menenangkan anak kecil.

   Dan untuk pertama kalinya hari itu, Nara menoleh ke arah Rama dan bertanya dalam hati—mungkinkah pria pendiam ini, perlahan-lahan bisa menjadi tempat pulang?

   Apakah Rama setulus itu menerima ku dan anakku dengan sepenuh hatinya? Banyak tanya yang bermunculan dibenaknya.

*

*

*

   Malam setelah akad terasa lebih sunyi dari biasanya. Rumah ayahnya tampak seperti kembali ke rutinitas biasa, seolah pernikahan Nara tadi pagi hanyalah sebuah acara kecil yang tak penting. Tidak ada ucapan hangat. Tidak ada pelukan.

   Semua kerabat sudah pulang kerumah masing-masing. Begitupun Nata dan Vania yang Nara harap keberadaannya kini tidak ada disisinya, Vania mendadak sakit ketika baru selesai acara akad. 

   Nara duduk di lantai kamar, menyusui Aiden sambil memandangi koper yang masih belum tertutup. Hanya ada dua koper sederhana berisi baju dan perlengkapan bayi. Sisanya, tak ada yang ia anggap penting untuk dibawa.

   Suara televisi dari ruang tamu terdengar keras. Ibu tiri dan saudara tirinya tertawa saat menonton sinetron, tanpa memedulikan bahwa seseorang baru saja melewati hari paling besar dalam hidupnya. Ayahnya belum bicara sepatah kata pun sejak akad selesai, entah karna apa yang menjadi penyebabnya.

   Tiba-tiba, pintu kamar diketuk keras.

   “Nara! Jangan lupa besok pagi Rama datang jemput! Jangan bikin malu keluarga dengan ngaret ya!” suara ibu tiri Nara melengking, sinis seperti biasa.

   Nara menunduk, menahan napas panjang. “Iya…” jawabnya singkat.

   Tak ada balasan. Hanya suara langkah menjauh.

   Ia menatap Aiden yang sudah mulai mengantuk di pelukannya. “Kita sebentar lagi keluar dari sini, Nak. Bertahan sedikit lagi…”

  Rama memang tidak menginap disini, katanya ingin mempersiapkan rumah yang akan ditempati besok. 

   Sebelumnya Rama memiliki rumah yang berdempetan dengan sudaranya. Dan beruntungnya Nara, ketika Rama membeli sebuah rumah minimalis untuk mereka tempati nanti. 

   Bukan karna apa rasa traumanya akan keluarga mantan suaminya dulu masih membekas dihati Nara, jadi wajar saja jika keberuntungan jika Rama memilih tidak berdekatan dengan keluarganya.

*

*

*

   Pagi hari datang dengan cepat. Langit cerah, tapi hati Nara tetap gelisah. Ia mandi, mendandani Aiden dengan baju paling rapi yang ia punya. Sesekali ia memandang cermin—wajahnya tampak lelah tapi tegas. Ini saatnya.

   Begitu semua siap, sebelum keluar dari kamar kecilnya, Nara memperhatikan semua. “Tempat yang paling nyaman.” Ucapnya lalu benar-benar keluar dari kamar itu. 

   Saat ia membawa koper ke ruang depan, ayahnya sedang duduk membaca koran. Dan Ibu tirinya justru menyibukkan diri menyapu lantai, pura-pura tak peduli dengan keberadaan Nara.

   “Sudah siap?” Tanya Ayahnya dengan ekspresi santai.

   “Iya Yah.” Balas Nara.

   “Ingat, nanti dirumah barumu jangan membuat ulah dan jangan sampai terulang seperti dulu lagi.” Ujarnya begitu menyayat hati Nara, seakan semua yang terjadi dulu adalah salah Nara.

    “Terima kasih… meski cuma sedikit, tetap rumah ini sudah jadi tempat berteduh buatku dan Aiden,” balas Nara, dengan suara yang berusaha tenang. Lalu ia melangkah keluar dengan bayi di gendongan dan koper di tangannya.

   Begitu Nara sampai disamping mobil Rama, Ayahnya menyusul memandangi Nara dari samping pintu tempat dirinya berdiri.

   Tak ada lagi ucapan manis dari Ayahnya, tidak ada kesedihan disana, apa karna bebannya sudah pergi dari hidupnya.

   Nara tak lagi menoleh kebelakang, semuanya sudah selesai dan kini hidupnya dibuka lagi dari awal. Dengan status baru, kehidupan baru dan orang yang baru.

*

*

*

   “Tidak ada yang tertinggal?” Ucap Rama ketika mobil akan segera berjalan. 

   “Tidak ada yang begitu penting, dan hanya ini saja yang aku punya.” Jawab Nara.

   “Apa kamu tidak keberatan kalo Aiden ikut bersama kita?” Tanya Nara, memastikan Rama benar-benar menerima mereka. 

   “Aku mengharapkan seorang anak, ini menjadi keberuntungan aku bisa menjadi Papa sambung Aiden.” Balasnya seperti tidak ada keterpaksaan dalam ucapannya. 

   “Terima kasih sudah mau menerima ku dan anak ku.” Ujar Nara tulus.

   Sedikit beban Nara rasanya berkurang, sesuai pengalamannya, Nara takut jika Aiden seperti dirinya yang diperlakukan semena-mena oleh Ibu dan saudara tirinya. Mungkin yang disebut tiri tak selamanya semua jahat.

   “Setiap waktu ada orangnya dan orang yang baru aku kenali kini menjadi dari bagian hidupku. Aku berharap keadaan tak lagi menempatkan ku dalam kesulitan.” ujar Nara dalam batinnya.

   “Aku sudah menyiapkan ranjang sendiri untuk Aiden tidur, masih satu kamar. Nanti kalo sudah agak besar, bisa ditempatkan dikamar yang lain.” 

*

*

*

 Semua mata tertuju padanya, banyak anggukan dan senyum tipis dari keluarga yang menyayangi Nara, memberikannya sedikit semangat dan kekuatan agar tak membenci keadaan.

   “Apa sudah siap?” Tanya penghulu yang akan memulai prosesi akad nikah kearah Rama dan Nara.

   Nara memperhatikan wajah Ayahnya yang tak sama sekali menoleh kearahnya, ia pikir pernikahan ini apa karna memang sepenuh hati atau terpaksa melakukannya. 

   Rama menoleh karna Nara tak memberikan jawaban, sedikit memberikan kode gerakan agar Nara terbangun dari bayang-bayang dibenaknya. 

  “Em ya..” jawab Nara gerogi. 

  “Apa sudah siap?” Tanya penghulu lagi. 

 

   Nara hanya mengangguk dan melihat kearah Rama, wajah tenangnya tak memungkiri jika ada rasa grogi juga dalam dirinya. 

   Kalian tahu atau bahkan pernah merasakan, banyak keinginan mengutarakan segala isi hati yang tak sesuai dengan kemauan, tapi terpaksa diam karna sebuah keadaan!

   Sama halnya dengan Nara, hatinya sakit. Sakit karna kecewa, sakit karna tak mampu memberikan pendapatnya, sakit karna sikap egois Ayahnya. Tapi jalannya harus sesuai dengan keadaan yang ada.

*

*

*

   Begitu menggema kata sah dari para saksi dan lantunan doa yang mengiringi akhir dari prosesi akad nikah ini, membuat hati Nara tersadar statusnya kini berubah. Menjadi bagian dari orang asing yang baru ia kenali.

   Tangannya gemetar saat prosesi sungkeman dimulai. Ia berjalan ke arah Rama, menunduk dan menjabat tangan pria itu. Suhu tangan Rama dingin, tapi genggamannya tegas. Tak ada senyum. Hanya anggukan pelan yang membuat dada Nara semakin sesak.

   “Makasih udah terima pernikahan ini,” ucap Rama lirih, hampir tak terdengar.

   Nara hanya mengangguk. Tidak menjawab namun memberikan senyum tipis kepada Rama.

   Begitu tiba pada tangan yang membesarkan Nara yaitu Ayahnya, detak jantung Nara begitu kencang debarnya. Nara mencium hikmat punggung tangan yang kini melepas tanggung jawabnya kepada laki-laki pilihannya sendiri.

   Sentuhan lembut dari tangan besarnya menyentuh kepala Nara, memberikan bisikan yang menggetarkan jiwa, 

   “Nara, berbahagialah kamu dan maafkan Ayah.”

   Sontak dari kalimat singkat yang Ayahnya ucapkan, menjatuhkan dinding pertahanan air mata Nara. Bulirnya menetes membasahi tangan yang masih Nara genggam. 

   Nara memandangi wajah Ayahnya yang nampak sendu, matanya juga berkaca-kaca, sekerasnya sifat Ayahnya pasti ada sisi kelembutan yang tertutup.

   Air matanya juga menetes namun segera ia usap agar putrinya tak berpikir jika Ayahnya tak merelakan dirinya.

*

*

*

   Setelah akad, acara dilanjutkan dengan makan siang sederhana. Tidak ada resepsi besar. Para tamu yang terhitung hanya keluarga inti saja datang dan pergi tanpa banyak basa-basi. Dan Nara… hanya duduk di pelaminan semu, mencoba tersenyum meski hatinya hampa.

   Aiden sempat digendong Rama saat bayi itu menangis. Anehnya, tangisan itu langsung reda. Rama tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi tangannya yang memeluk Aiden terlihat hati-hati, seolah ia sangat mengerti cara menenangkan anak kecil.

   Dan untuk pertama kalinya hari itu, Nara menoleh ke arah Rama dan bertanya dalam hati—mungkinkah pria pendiam ini, perlahan-lahan bisa menjadi tempat pulang?

   Apakah Rama setulus itu menerima ku dan anakku dengan sepenuh hatinya? Banyak tanya yang bermunculan dibenaknya.

*

*

*

   Malam setelah akad terasa lebih sunyi dari biasanya. Rumah ayahnya tampak seperti kembali ke rutinitas biasa, seolah pernikahan Nara tadi pagi hanyalah sebuah acara kecil yang tak penting. Tidak ada ucapan hangat. Tidak ada pelukan.

   Semua kerabat sudah pulang kerumah masing-masing. Begitupun Nata dan Vania yang Nara harap keberadaannya kini tidak ada disisinya, Vania mendadak sakit ketika baru selesai acara akad. 

   Nara duduk di lantai kamar, menyusui Aiden sambil memandangi koper yang masih belum tertutup. Hanya ada dua koper sederhana berisi baju dan perlengkapan bayi. Sisanya, tak ada yang ia anggap penting untuk dibawa.

   Suara televisi dari ruang tamu terdengar keras. Ibu tiri dan saudara tirinya tertawa saat menonton sinetron, tanpa memedulikan bahwa seseorang baru saja melewati hari paling besar dalam hidupnya. Ayahnya belum bicara sepatah kata pun sejak akad selesai, entah karna apa yang menjadi penyebabnya.

   Tiba-tiba, pintu kamar diketuk keras.

   “Nara! Jangan lupa besok pagi Rama datang jemput! Jangan bikin malu keluarga dengan ngaret ya!” suara ibu tiri Nara melengking, sinis seperti biasa.

   Nara menunduk, menahan napas panjang. “Iya…” jawabnya singkat.

   Tak ada balasan. Hanya suara langkah menjauh.

   Ia menatap Aiden yang sudah mulai mengantuk di pelukannya. “Kita sebentar lagi keluar dari sini, Nak. Bertahan sedikit lagi…”

  Rama memang tidak menginap disini, katanya ingin mempersiapkan rumah yang akan ditempati besok. 

   Sebelumnya Rama memiliki rumah yang berdempetan dengan sudaranya. Dan beruntungnya Nara, ketika Rama membeli sebuah rumah minimalis untuk mereka tempati nanti. 

   Bukan karna apa rasa traumanya akan keluarga mantan suaminya dulu masih membekas dihati Nara, jadi wajar saja jika keberuntungan jika Rama memilih tidak berdekatan dengan keluarganya.

*

*

*

   Pagi hari datang dengan cepat. Langit cerah, tapi hati Nara tetap gelisah. Ia mandi, mendandani Aiden dengan baju paling rapi yang ia punya. Sesekali ia memandang cermin—wajahnya tampak lelah tapi tegas. Ini saatnya.

   Begitu semua siap, sebelum keluar dari kamar kecilnya, Nara memperhatikan semua. “Tempat yang paling nyaman.” Ucapnya lalu benar-benar keluar dari kamar itu. 

   Saat ia membawa koper ke ruang depan, ayahnya sedang duduk membaca koran. Dan Ibu tirinya justru menyibukkan diri menyapu lantai, pura-pura tak peduli dengan keberadaan Nara.

   “Sudah siap?” Tanya Ayahnya dengan ekspresi santai.

   “Iya Yah.” Balas Nara.

   “Ingat, nanti dirumah barumu jangan membuat ulah dan jangan sampai terulang seperti dulu lagi.” Ujarnya begitu menyayat hati Nara, seakan semua yang terjadi dulu adalah salah Nara.

    “Terima kasih… meski cuma sedikit, tetap rumah ini sudah jadi tempat berteduh buatku dan Aiden,” balas Nara, dengan suara yang berusaha tenang. Lalu ia melangkah keluar dengan bayi di gendongan dan koper di tangannya.

   Begitu Nara sampai disamping mobil Rama, Ayahnya menyusul memandangi Nara dari samping pintu tempat dirinya berdiri.

   Tak ada lagi ucapan manis dari Ayahnya, tidak ada kesedihan disana, apa karna bebannya sudah pergi dari hidupnya.

   Nara tak lagi menoleh kebelakang, semuanya sudah selesai dan kini hidupnya dibuka lagi dari awal. Dengan status baru, kehidupan baru dan orang yang baru.

*

*

*

   “Tidak ada yang tertinggal?” Ucap Rama ketika mobil akan segera berjalan. 

   “Tidak ada yang begitu penting, dan hanya ini saja yang aku punya.” Jawab Nara.

   “Apa kamu tidak keberatan kalo Aiden ikut bersama kita?” Tanya Nara, memastikan Rama benar-benar menerima mereka. 

   “Aku mengharapkan seorang anak, ini menjadi keberuntungan aku bisa menjadi Papa sambung Aiden.” Balasnya seperti tidak ada keterpaksaan dalam ucapannya. 

   “Terima kasih sudah mau menerima ku dan anak ku.” Ujar Nara tulus.

   Sedikit beban Nara rasanya berkurang, sesuai pengalamannya, Nara takut jika Aiden seperti dirinya yang diperlakukan semena-mena oleh Ibu dan saudara tirinya. Mungkin yang disebut tiri tak selamanya semua jahat.

   “Setiap waktu ada orangnya dan orang yang baru aku kenali kini menjadi dari bagian hidupku. Aku berharap keadaan tak lagi menempatkan ku dalam kesulitan.” ujar Nara dalam batinnya.

*

*

*

1
L3xi♡
Nangis deh 😭
Fay :): sedih ya kak 😢😢
total 1 replies
pEyt
Jelasin semua dengan detail
Fay :): siap kak.
masih outor amatir, kritik dan sarannya sangat diperlukan.
terima kasih.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!