Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Sstt! Handuk saja yang jatuh, jangan teriak," bisik Brayn lembut sambil mendudukkan Alina di kursi meja rias, kemudian membungkuk dan memakai kembali handuknya. "Lihat juga tidak dosa, sudah halal, kok."
Namun, Alina belum berani membuka mata. Kejadian singkat yang berlangsung beberapa detik lalu itu benar-benar membuatnya malu dan syok.
Suara ketukan pintu pun terdengar dan mengalihkan perhatian keduanya. Bukan lagi ketukan pintu pelan, melainkan terdengar seperti mendesak agar segera dibuka.
Brayn melirik Alina sejenak sambil memberi isyarat. Lelaki itu langsung keluar kamar untuk melihat ada apa di depan.
Saat membuka pintu, ia malah mendapati kedua mertuanya sedang berdebat di depan pintu kamar.
"Loh ... Ayah, Ibu?" Brayn memandang mereka penuh tanya.
Melihat sang menantu hanya memakai handuk yang melilit pinggang membuat mata Bagas melotot.
Memandang dari ujung kaki ke ujung kepala, lalu memiringkan kepala mengintip ke dalam kamar untuk melihat kondisi putrinya.
Dari tempatnya berdiri, Bagas bisa melihat Alina duduk di depan meja rias dengan memakai piyama.
Rambut putrinya yang terlihat sedikit berantakan dan wajah letih membuatnya berpikir lain.
"Alina sedang apa di sana?"
"Duduk."
"Kenapa tadi kita dengar suara Alina teriak?" Bagas sudah melayangkan tatapan penuh ancaman.
"Ooh itu ... Alina lihat kecoa di kamar. Makanya takut. Tapi, sudah aku usir kecoanya."
Bagas masih belum puas. "Kamu kenapa tidak pakai baju malam-malam?"
"Habis mandi, Ayah Bro. Masa tidak paham pengantin baru." Ingin sekali Brayn menyemburkan tawa setelah melihat raut wajah ayah mertuanya.
Paham seposesif apa Bagas dalam menjaga putri satu-satunya, maka ia berniat menjahili sedikit.
"Tapi, Alina tidak apa-apa, kan?" Ia masih bertanya khawatir, membuat Brayn mengatupkan bibir menahan tawa.
Sedangkan Maya yang malu dengan kelakuan Bagas itu menarik lengan suaminya.
"Ayo, ke kamar. Alina baik-baik saja. Mereka sudah mau tidur."
"Memang ada apa, Bu?" tanya Brayn.
"Biasa ... Ayah ini orangnya agak parnoan. Takut anaknya kenapa-kenapa."
Brayn mengangguk paham, namun masih menyembunyikan senyum.
Ia sempat memikirkan Pak Vino saat Zahra menikah, perasaan tidak seposesif ini.
"Ya sudah, istirahat ya kalian. Kita mau ke kamar. Selamat malam." Tanpa kata Maya langsung menarik tangan suaminya menuju lantai bawah di mana kamar mereka berada.
Brayn masih terkekeh di ambang pintu, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Alina sudah tidak terlihat lagi di meja rias dan sudah masuk ke kamar mandi.
Ia menarik kunci pintu kamar dan menyembunyikan di samping pot bunga, lalu tersenyum.
Kurang dari lima menit, Alina sudah keluar dari kamar mandi.
Ia sempat terpaku melihat suaminya sudah rapi dengan baju koko dan peci.
Ada dua sajadah yang membentang di lantai. Selain itu, ia dapat menghirup aroma wewangian yang berasal dari aromaterapi.
"Pakai mukena, ya. Mukena ini aku beli saat umrah dengan Papa dan Mama tahun lalu. Aku sengaja beli untuk kamu. Tapi, baru bisa kasih sekarang."
Alina memandang kotak kecil dengan kepala menunduk. Menyembunyikan genangan air mata.
Saat hendak memakai mukena putih itu, ia melihat ukiran pada bagian bawahnya.
Ada nama Alina Putri Khoirunnisa yang ditulis dengan benang berwarna emas. Sangat indah.
Brayn mengajak Alina untuk berdiri di sana. Untuk kali ini Alina tidak membantah.
Entah mengapa setiap Brayn meminta sesuatu, tubuhnya seperti bergerak dengan sendirinya.
Bahkan, saat berdiri di belakang lelaki itu sebagai makmun, air mata terus berjatuhan di pipi.
**
**
Pagi menjelang.
Suasana pagi ini terasa berbeda dengan kehadiran Brayn sebagai anggota baru di keluarga Bagas.
Pria yang selalu gagah di usia yang tak lagi muda itu memandang menantunya yang baru turun dari tangga. Terlihat santai dengan celana jeans dan kaus.
"Tidak praktek hari ini?" tanya Bagas yang tampak sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Sedang cuti, Ayah. Insyallah besok lagi."
"Oh ...." Bagas mengangguk lalu, segera beranjak keluar rumah.
Setelah kepergian ayah mertuanya, Brayn memandang ke segala arah.
Ia tak lagi melihat istrinya di ruangan itu. Di dapur pun tidak terlihat.
"Alina mana ya, Bu?"
"Loh, bukannya sudah izin ke kamu sebelum berangkat?" jawab Maya.
"Tidak. Alina tidak bilang apa-apa."
"Alina sudah berangkat kerja. Katanya sudah minta izin kamu tadi."
Sepasang alis tebal Brayn saling bertaut. Ia bahkan tidak tahu jika Alina memiliki pekerjaan.
"Memang Alina kerja di mana?"
"Alina baru seminggu ini diterima kerja di supermarket. Sekarang masih dalam masa training. Makanya berangkatnya pagi sekali."
Brayn menatap heran, sebab sebelumnya Pak Vino menawarkan salah satu posisi di kantornya untuk Alina, namun tawaran itu ditolaknya dengan berbagai alasan.
"Kerja di supermarket? Posisi apa?"
"Kalau sekarang jadi asisten supervisor." Jawaban dari Maya menciptakan kerutan di dahi Brayn.
Tentu ia paham bagaimana pekerjaan yang disebutkan ibu mertuanya. Seberapa berat dan apa saja resikonya.
"Kenapa Ayah izinkan Alina kerja dengan posisi seperti itu, Bu? Bukannya Papa juga sempat menawari Alina kerja di perusahaannya?"
Maya mengangkat bahu, tersenyum tipis.
"Tahu sendiri seperti apa Alina. Dia itu suka hal-hal baru. Biasanya dia paling lama kerja satu bulan di satu tempat dan pindah lagi. Dia suka cari pengalaman baru," jawab Maya.
Padahal alasan utama Alina menolak posisi yang ditawarkan Pak Vino karena tidak ingin dianggap memanfaatkan, yang mungkin juga akan berimbas pada orang tuanya di mata keluarga Hadiwijaya yang lain.
Brayn mengangguk paham.
Setahunya Alina memang beberapa kali bekerja paruh waktu sambil kuliah. Menjadi SPG, dan lain-lain. Bahkan pernah menjadi seorang pelayan di sebuah kafe.
"Di hadapan kita saja dia seperti anak manja, tapi sebenarnya dia mandiri dan tidak mau membuat repot orang," sambung Maya.
"Aku tahu itu, Bu. Tapi tetap saja aku keberatan kalau dia harus kerja."
"Awalnya Ayah juga tidak setuju Alina kerja, bahkan mereka sempat ribut. Tapi, Ayah menghargai keinginan Alina untuk belajar. Karena itu dia mengizinkan Alina menikmati proses hidupnya. Jadinya ya seperti ini," papar Maya. "Kadang Alina memang agak keras kepala. Maaf ya, Nak. Anak Ibu banyak kurangnya, keras kepala dan susah dididik."
Brayn mengulas senyum.
Dirinyalah yang paham seperti apa Alina. Karena itu ia memilihnya di antara ribuan wanita.
"Ngomong-ngomong... Alina kerja di supermarket mana, Bu?"
"Diamond Mart."
"Oh.. ." Nama tempat yang baru disebut Maya itu mana mungkin ia tak tahu.
Salah satu perusahaan retail terbesar di negara ini. Untuk bisa bekerja di sana pun harus melalui seleksi yang ketat.
Setelah berbicara sebentar dengan Maya, Brayn kembali ke kamar untuk mengambil kunci mobil.
"Duh, tadi simpan di mana, sih?"
Ia melirik ke segala arah. Di meja rias, di tempat tidur, hingga meja nakas ia tak menemukan.
Tangannya mengulur membuka laci lemari satu-persatu.
Saat membuka laci terbawah, perhatiannya tertuju pada buku dengan sampul putih.
**
**
Jika Brayn sedang merasa penasaran dengan Alina yang terkesan selalu menjauh dirinya, berbeda dengan Alina yang sedang gundah.
Wanita itu sedang duduk di kursi dengan menggenggam sebuah map berlogo rumah sakit.
Tangannya gemetar, tatapannya kosong, wajahnya tampak sedikit pucat. Matanya memandang langit yang mendung pagi itu.
Warna kelabu yang menyelimuti angkasa seolah mewakili suasana hatinya yang suram.
"Maaf kalau kedatanganku mengganggu," ucap Alina menyambut wanita berseragam putih yang baru saja muncul di hadapannya.
"Tidak apa-apa, kok. Kamu seperti baru kenal saja." Dokter Siska tersenyum dan duduk tepat di sisi Alina.
Mereka berdua sedang berada di halaman belakang rumah sakit tempat Siska praktek.
Alina tahu hari ini suaminya cuti, sehingga tidak perlu khawatir saat menemui Siska.
"Sebenarnya... aku sangat malu datang kemari. Tapi, ini penting untukku."
Alina menggeser map di tangannya ke hadapan Siska.
Dahi wanita itu sempat berkerut melihat logo sebuah rumah sakit yang ada di bagian sampul depan map, lengkap dengan nama Alina pada bagian bawahnya.
"Apa ini, Alina?"
"Sebagai seorang dokter, kamu pasti paham apa itu." Bibir Alina mengulas senyum, berbeda dengan matanya yang berkaca-kaca. "Siska, aku tidak punya waktu lebih banyak."
Siska tak menyahut. Ia membuka lembar demi lembar berkas dalam map berisi catatan kesehatan Alina.
"Sakit yang aku keluhkan padamu waktu itu ... inilah hasilnya." Imbuh Alina.
Siska menatapnya dengan ekspresi terkejut. Alina menunduk, menahan air mata yang hendak jatuh. Membuat Siska segera memeluknya.
***********
***********
up lagi thor