NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 - Siklus Alam dan Pertumbuhan

‎Malam itu, api unggun menyala di tengah halaman desa.

‎Asapnya naik perlahan ke langit lembah yang gelap, menguarkan bau kayu basah. Anak-anak duduk berdekatan, para ibu membungkus bahu mereka dengan kain rami, sementara para lelaki menyiapkan kayu tambahan agar api tidak padam sebelum Gajo selesai berbicara.

‎Gajo berdiri di tengah lingkaran, tongkatnya menancap di tanah lembap.

‎Cahaya api memantulkan bayangan wajahnya yang berkerut, tapi matanya teduh dan berisi.

‎“Anak-anak Bumi,” katanya, “dengarlah dengan hati yang diam.

‎Alam memiliki napas, seperti kita. Dan napas itu berputar dalam dua belas musim yang tak pernah berhenti.”

‎Raka duduk di dekat api, menatap bara yang pecah pelan. Ia tahu malam ini bukan sekadar pelajaran, tapi semacam penyampaian warisan.

‎Gajo mengangkat tangannya, menunjuk ke arah utara ke arah pegunungan yang samar.

‎“Musim pertama hingga kedua,” katanya pelan, “adalah Awal Hujan.

‎Kabut turun dari puncak, embun menetes di ujung daun, udara menjadi lembap.

‎Saat itu, tunas bambu dan padi mulai tumbuh.

‎Petani menanam, dan para murid rasi menebar benih kehidupan, bukan hanya di ladang, tapi juga di hati mereka.”

‎Beberapa warga mengangguk; mereka tahu benar bau tanah pertama setelah hujan.

‎“Lalu datang Musim 3 dan 4 Puncak Hujan.

‎Hujan turun lembut tanpa petir, sungai meluap tenang.

‎Pohon-pohon tumbuh cepat, dan kabut menyelimuti lembah.

‎Saat itu, para penatah batu dan pembuat gerabah menyalakan api kecil di gua-gua, memanaskan tanah liat agar kuat menahan musim berikutnya.”

‎Api unggun berderak lebih keras, seolah menegaskan ucapannya.

‎“Kemudian datang Musim 5 dan 6 Akhir Hujan.

‎Lapisan awan mulai meninggi, sinar lembut menembus sela-selanya dan membuat lembah berpendar hangat.

‎Pohon-pohon mulai berbunga, tanda buah akan segera tumbuh.

‎Inilah masa untuk belajar dari alam, berjalan antar lembah, dan mendengarkan suara bumi yang kembali tenang.

‎Bumi sedang jinak, maka pikiran manusia pun harus jinak.”

‎Raka mendengarkan dalam diam. Di benaknya, ia mulai memahami setiap musim bukan hanya waktu, tapi pelajaran hidup.

‎“Selanjutnya,” Gajo melanjutkan, “Musim 7 dan 8 Awal Kemarau.

‎Udara hangat, kabut naik perlahan.

‎Buah-buahan matang, daun mulai rontok.

‎Saat inilah rakyat berpesta, panen besar, dan berterima kasih kepada bumi.”

‎Suara serangga mengisi malam. Di kejauhan, anjing menyalak pelan.

‎“Lalu Musim 9 dan 10 Puncak Kemarau.

‎Tanah mulai mengeras, lembapnya perlahan hilang, tapi belum kering.

‎Pertumbuhan melambat, dan akar memperkuat diri di bawah tanah, menunggu napas lembab kembali turun.

‎Inilah masa untuk memperbaiki pondok, memperkuat dinding bambu, dan menyiapkan alat untuk musim berikutnya.”

‎Gajo menatap wajah-wajah muda di hadapannya.

‎“Itulah masa keteguhan. Siapa yang malas di musim ini, akan lapar di musim berikutnya.”

‎Akhirnya, ia menunduk dan menepuk tanah dengan tongkatnya.

‎“Dan datanglah Musim 11 dan 12 Akhir Kemarau.

‎Hujan pertama turun kembali, lembut seperti napas ibu.

‎Biji-bijian bangun dari tanah lembap.

‎Ini masa penyucian, puasa alam, dan awal dari siklus baru.”

‎Hening. Hanya bunyi api dan desir angin dari arah sungai.

‎Lalu Gajo menatap langit, lalu berkata dengan suara yang nyaris berbisik:

‎“Siapa yang memahami waktu, akan selaras dengan bumi.

‎Tapi siapa yang melawan siklusnya, akan kehilangan arah di dalam hidupnya.”

‎Raka menunduk. Di matanya, api unggun menari seolah ia melihat sendiri bagaimana bumi bernafas di dalam setiap musim yang disebutkan Gajo.

‎Gajo berdiam sebentar menatap warga, tongkatnya menancap di tanah lembab. Suara serangga seakan berhenti perlahan ketika ia mulai bicara.

‎“Anak-anak Bumi… dengarlah.

‎Bumi punya napas, dan napas itu kita sebut musim.

‎Siapa yang tahu berapa kali bumi bernapas dalam satu lingkaran hidup?”

‎Tak ada yang berani menjawab. Beberapa anak kecil menunduk jari ke lain, menggenggam lutut. Orang-orang dewasa saling pandang, takut salah ucap di depan tetua.

‎Gajo tersenyum kecil.

‎“Jangan takut. Pengetahuan tidak menggigit. Ia hanya menunggu disapa.”

‎Suasana hening, sampai satu tangan kecil terangkat perlahan tangan Raka.

‎“Aku tahu, kakek. Bumi bernapas dua belas kali.”

‎Gajo mengangguk pelan, memberi isyarat agar Raka maju. Anak itu berdiri di tengah lingkaran warga dan mulai menjelaskan dengan semangat.

‎“Enam napas pertama adalah waktu hujan bumi menumbuhkan segala yang hijau yaitu:

‎Musim Tunas, Tanam, Tumbuh, Berbunga, Panen, dan Teduh.

‎Enam napas berikutnya waktu kemarau bumi menahan air, memberi waktu akar memperkuat diri yaitu:

‎Musim Kering, Terik, Luruh, Meranggas, Panas, dan Redup.

‎Kalau saya lahir di Musim Tunas dan sudah melihat tunas itu tumbuh kembali lima belas kali… berarti umur saya itu sudah lima belas lingkaran musim.”

‎Suara Raka terdengar jelas, dan beberapa warga mengangguk-angguk baru paham. Gajo menatapnya dengan mata bangga.

‎“Benar, Raka.

‎Itulah yang disebut kalender napas bumi.

‎Siapa yang mengenali musim, ia mengenali umurnya.

‎Siapa yang mengenali umur, ia mengenali jalan hidupnya.”

‎Saat suara Gajo mereda, angin malam datang membawa bau tanah basah. Api unggun mulai mengecil, hanya tinggal bara yang berpendar merah di antara bayangan tubuh-tubuh yang berdiri diam.

‎Satu per satu warga mulai pamit, membawa anak-anak mereka pulang ke pondok masing-masing. Langit di atas kanopi awan tampak bergolak samar, dan tak lama kemudian terdengar rintik halus menetes ke tanah.

‎Raka menengadah butiran air jatuh di wajahnya, seolah bumi menjawab pelajaran malam itu.

‎Gajo menancapkan tongkatnya ke tanah dan berkata pelan,

‎“Musim pertama telah datang… bumi mulai bernapas lagi.”

‎Hujan turun perlahan. Api padam seluruhnya, meninggalkan aroma arang dan daun basah. Malam pun menutup pelajaran dengan tenang.

‎Malam telah berganti sunyi. Dari luar pondok, masih terdengar sisa hujan yang menetes dari daun-daun kanopi. Raka berbaring di atas alas anyaman pandan, menatap atap bambu yang lembap.

‎Tangannya meraba akar Sajar yang menjulur lewat celah lantai tanah — akar itu terasa hangat, seolah masih hidup dan mendengar bisikan manusia.

‎Dalam diam, Raka teringat pada kabar tentang suku Yaka di timur yang menebang pohon tanpa izin bumi. Ia menutup mata, membayangkan batang-batang tumbang dan suara tanah retak.

‎ “Berapa musim harus berlalu, sebelum mereka mengerti?”

‎pikirnya.

‎“Dan apakah aku sanggup menyadarkan mereka… sebelum bumi menurunkan murkanya?”

‎Hujan yang tersisa menitik perlahan, seperti jawaban yang belum bisa diucapkan oleh langit.

‎Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat. Udara masih lembap dan beraroma daun basah.

‎Raka meneguk air dari kendi tanah dengan centong tempurung kelapa. Rasa segarnya seperti membawa sisa hujan malam tadi ke dalam tubuhnya.

‎Saat keluar dari pondok, ia melihat empat pria dewasa berjalan melewati halaman desa, namun perhatiannya justru tertarik ke arah teras rumah sebelah.

‎Di sana, beberapa ibu-ibu duduk melingkar, tangan mereka sibuk memintal serat pohon sukun yang sudah dikeringkan sejak musim lalu. Serat itu dijalin perlahan menjadi benang halus berwarna pucat, calon pakaian baru bagi keluarga mereka.

‎Raka mendekat dengan langkah pelan.

‎Suara tawa lembut para ibu bercampur dengan gesekan serat di telapak tangan — ritme sederhana kehidupan yang menenangkan.

‎Salah satu ibu menoleh sambil tersenyum,

‎> “Pagi, Raka. Kau lihat ini? Serat musim lalu masih kuat, belum putus meski sudah banyak dipintal.”

‎Raka mengangguk. “Bumi masih mengizinkan,” jawabnya pelan.

‎Raka duduk di antara para ibu, mengambil helai serat sukun yang sudah kering. Ia mulai memutar serat itu dengan jari, perlahan hingga menjadi benang tipis.

‎Gerakan tangannya tenang dan berirama memutar, menekan, lalu menyambung lagi helai yang baru.

‎Benang itu semakin panjang, mengalir dari kulit pohon yang dulu hidup di tanah kini menjadi serat yang siap melindungi tubuh manusia.

‎Setiap putaran terasa seperti doa kecil bagi keseimbangan; dari batang yang gugur, lahir sesuatu yang menutup dan menjaga.

‎Para ibu tersenyum melihat kerapian hasil pintalannya.

‎ “Kau cepat belajar, Raka,” ujar salah satu dari mereka.

‎“Benang yang kuat akan menandai orang yang sabar.”

‎Raka hanya tersenyum, sementara jari-jarinya terus bergerak seolah memahami bahwa dalam setiap serat, tersimpan napas bumi yang menunggu untuk disyukuri.

‎Para ibu sempat terdiam melihatnya.

‎“Tanganmu sudah terbiasa,” kata salah satu dari mereka.

‎“Siapa yang mengajarimu, Raka?”

‎Raka tersenyum kecil.

‎“Kakekku,” jawabnya pelan padahal guruku yang mengajarinya. “Di lereng Gunung Salak, saat siklus ke sepuluh. Beliau berkata, siapa yang bisa memintal serat bumi dengan sabar, maka pikirannya akan ikut terjalin tenang.”

‎Benang itu terus bertambah panjang di tangannya, mengalir seperti kenangan dari masa lalu. Dari kulit pohon yang pernah hidup di tanah, kini lahir helai baru untuk menutup tubuh dan menandai kebijaksanaan mereka yang menghargai setiap musim.

Saat jari Raka terus memintal, terdengar suara langkah kecil dari arah jalan tanah. Beberapa anak seumuran dirinya datang sambil tertawa, membawa potongan bambu dan biji-bijian kering yang dijadikan mainan.

‎“Raka! Ayo ikut kami! Kami mau ke tepi sungai, melihat ikan yang naik setelah hujan!”

‎Raka menoleh sebentar pada para ibu. Mereka tersenyum, tangan mereka masih sibuk dengan pintalan serat sukun.

‎“Pergilah, Nak,” kata salah satu ibu. “Kau sudah banyak membantu. Terima kasih atas tenagamu.”

‎Raka meletakkan benang yang baru saja selesai digulung, lalu berdiri dan menunduk hormat.

‎“Terima kasih, Ibu. Semoga seratnya kuat dan lembut.”

‎Ia kemudian berlari kecil menyusul teman-temannya. Suara tawa anak-anak itu segera berpadu dengan gemericik air dan desir angin lembap yang turun dari kanopi awan.

‎Saat Raka menyusul anak-anak sebayanya, matanya tertumbuk pada tiga bocah yang ia lihat kemarin saat perjalanan ke desa ini. Ketiganya tampak sedang berdiri di tepi sungai, wajah mereka muram dan tubuh sedikit membungkuk.

‎Di samping mereka, orang tua masing-masing berdiri tegas, sementara Gajo berada di tengah sebagai penengah. Dengan suara lembut namun tegas, Gajo menasehati:

‎“Kalian sudah tahu tradisi Watu N’yeyep. Menangkap ikan saat bumi belum diberi izin adalah kesalahan.

‎Ingatlah, alam dan manusia harus selaras. Jangan ulangi lagi.”

‎Sebagai bagian dari hukuman tradisi, ketiga bocah itu menebar benih di tepi sungai tanda mereka belajar menghormati aturan alam. Gajo menatap mereka sebentar, lalu mengangguk, memastikan pesan itu benar-benar diterima sebelum membiarkan mereka pulang.

‎Anak-anak itu duduk di tepi sungai, masing-masing memegang potongan bambu dan segenggam biji-bijian. Mereka tertawa riang, lalu menaruh bambu di aliran air, bersiap untuk balapan bambu.

‎“Siapa bambunya sampai duluan, dia yang menang!” seru salah seorang.

‎Raka ingin ikut, tapi ia tidak punya biji untuk bertaruh. Lalu ia mengambil umbi talas dari kain kantongnya dan meletakkannya di sisi sebagai taruhan.

‎“Baiklah, aku bertaruh dengan ini,” kata Raka.

‎Anak-anak tertawa kecil melihatnya, tapi mengangguk setuju. Balapan dimulai bambu-bambu kecil itu meluncur di arus sungai, berputar-putar di atas batu dan gelembung air.

‎Raka bersorak, menonton bambu-bambu meluncur, namun takdir berkata lain. Bambu yang ia taruhan kalah, terhenti lebih dulu di sebuah pusaran kecil.

‎“Ups… berarti umbi talasmu jadi milik si pemenang,” kata seorang anak sambil tertawa.

‎Setelah permainan selesai, pemenang menebar biji-bijian padi liar yang dimenangkannya di tepi sungai.

‎“Kalau suatu saat tumbuh, itu akan jadi milikku!” serunya.

‎Raka tersenyum, menepuk tanah lembap di tepi sungai, menyadari bahwa dalam permainan sederhana ini, alam juga ikut berbagi hadiahnya.

‎Saat permainan bambu selesai, salah satu anak menghampiri Raka sambil mengelap tangannya yang basah.

‎ “Raka… semalam kau jelaskan kalender siklus alam begitu jelas. Kami akhirnya paham! Kadang kami sering lupa, bahkan orang tua pun sering tertukar musim.”

‎Raka tersenyum kecil, menatap aliran sungai yang membawa daun-daun hanyut.

‎“Memang tidak mudah mengingat semua musim. Tapi kalau kita memperhatikan bumi… bumi tidak pernah lupa. Ia selalu memberi tanda.”

‎Anak itu mengangguk.

‎“Orang tua selalu mengatakan, Rindu Rasi dan muridnya yang dulu mengajarkan, agar kami belajar dari mereka. Tapi sekarang tidak ada pilihan lain bagi desa selain memilih Kakek Gajo sebagai pengganti Rasi.”

‎Raka menggeleng pelan.

‎“Kakek Gajo memang hebat, hafalannya sangat kuat. Tapi pengetahuan itu bukan hanya hafalan. Ia hidup di hati mereka yang mau memperhatikan dan belajar dari alam. Aku hanya berusaha mengingatkan apa yang telah diajarkan.”

‎Anak-anak terdiam sejenak, memahami bahwa menyerap ilmu alam adalah tanggung jawab semua orang tua maupun muda. Sungai tetap mengalir, membawa tawa dan daun kecil, menandai pagi pertama musim baru.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!