Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7
Alea akhirnya memilih pulang. Faizan tak sedikit pun merasa kasihan. Pria itu membiarkan istrinya pergi, bahkan membawa kembali makanan yang sudah ia buat dengan sepenuh hati.
Karena sopir sudah pulang, tak ada yang mengantar Alea kembali ke rumah. Gadis itu berjalan pelan menyusuri trotoar, dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
“Alea...”
Langkah Alea terhenti saat namanya dipanggil oleh seseorang dari pinggir jalan. Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti, pintunya terbuka, dan tak lama seorang pria keluar dari mobil tersebut. Alea tersenyum simpul melihat sosok itu.
“Alea, sedang apa kau di sini? Kenapa jalan kaki?” tanya pria itu.
“Aku dari perusahaan Althaf, dan mau pulang ke rumah,” sahut Alea lembut.
“Kau mau melamar pekerjaan di perusahaan itu?” tanya pria itu lagi.
Alea menggeleng.
“Lalu? Untuk apa kau ke sana?”
“Hanya ingin mengantarkan makan siang... tapi dia tidak mau masakanku,” jawab Alea lirih, ragu untuk jujur.
“Ya sudah, ayo aku antar kamu pulang. Masuklah.” Pria itu, yang bernama Rahman, menggiring Alea masuk ke dalam mobilnya.
Rahman adalah sepupu Alea, anak dari adik sang ayah. Mereka sangat akrab, bahkan selalu satu sekolah saat Alea masih duduk di bangku SMA. Paman Alea menikah dengan seorang janda kaya raya, sehingga kini Rahman difasilitasi satu mobil dan bekerja di perusahaan milik ibu tirinya.
.
.
Mobil yang dikendarai Faizan akhirnya berhenti di halaman rumah. Dengan wajah tegang, pria itu keluar dari mobil dan menutup pintunya dengan kasar.
Tanpa membuang waktu, Faizan melangkah cepat menuju pintu rumah. Ekspresi wajahnya yang dingin dan penuh amarah membuat suasana terasa menakutkan.
“Selamat sore, Tuan,” sapa Bi Iyem dengan suara hati-hati.
Namun, Faizan sama sekali tak menanggapi. Dengan langkah lebar dan tergesa-gesa, ia langsung menaiki tangga, tidak sedikit pun menoleh ke kanan atau kiri.
Braaak!
Suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah kesunyian, membuat Alea yang sedang melamun di balkon terkejut bukan main. Jantungnya berdetak kencang.
“Mas… k-kau sudah pulang?” suara Alea bergetar ketika menyambut sang suami. Tubuhnya ikut gemetar melihat sorot mata Faizan yang penuh amarah.
"Siapa pria yang kau layani siang tadi?!" Suara Faizan terdengar menuduh, sarat dengan kebencian yang mendidih.
Alea mengerutkan kening, kebingungan menyelimuti pikirannya. Pertanyaan suaminya itu datang begitu tiba-tiba, tak terduga sama sekali.
"Apa maksudmu, Mas?!" serunya tak percaya, suaranya bergetar di antara ketakutan dan keterkejutan.
"Dasar pelacur!!! Apa uangku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu? Atau karena aku tidak menyentuhmu, sampai-sampai kau nekat bermain dengan lelaki lain di luar sana?!" Amarah Faizan meledak-ledak. Matanya menyala merah, penuh tuduhan yang menusuk.
Plak!
Tamparan Alea mendarat di pipi Faizan. Bukan terlalu keras, namun cukup untuk membuat pria itu terdiam sesaat. Napas Alea terasa sesak menahan rasa sakit yang bukan hanya di hati, tetapi juga di harga dirinya.
"Kau menamparku?!" teriak Faizan, suaranya meninggi, sarat penegasan. Tatapannya menusuk tajam ke arah Alea.
Alea cepat-cepat menggeleng, wajahnya pucat. Ia sendiri terkejut dengan tindakan refleks yang baru saja dilakukannya.
"Mas… aku tidak bermaksud menamparmu. Sungguh. Maafkan aku," ucapnya lirih, suara seraknya pecah. Hatinya bergetar hebat, dihantam perasaan bersalah yang menyesakkan dada.
Namun amarah Faizan justru semakin berkobar. "Mama selalu memuji-muji kamu di hadapanku. Di belakang, Mama tak tahu kalau kamu manusia munafik! Kamu hanyalah sampah yang tak punya nilai apa-apa!" suaranya meledak, setiap katanya menyembur seperti api. Matanya menyala-nyala, seperti bara yang siap membakar habis apa pun di hadapannya.
“Mas… tolong, kita bicara baik-baik,” suara Alea pecah, lirih namun penuh harap. Matanya yang berkaca-kaca memantulkan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Ingatan tentang siksaan Faizan kemarin masih membekas di bahunya, meninggalkan nyeri yang belum sempat mereda. Dan kini, rasa sakit itu kembali hadir—lebih kejam—melalui genggaman Faiz yang mencengkram pergelangan tangannya begitu erat, seakan ingin menghancurkan tulangnya.
Ketegangan di ruangan itu makin menyesakkan. Tangan kasar Faizan bergerak ke pinggang Alea, menarik tubuh mungil itu dengan paksa. Alea meringis. Setiap tarikan terasa seperti bara api yang menembus tulangnya, meninggalkan perih yang tak hanya di tubuh, tapi juga di hatinya.
“Lepaskan, Mas… sakit,” bisik Alea, suaranya nyaris tenggelam oleh desakan emosi.
Dengan sisa tenaga, Alea mencoba mendorong dada bidang Faiz. Tapi lelaki itu bagai tembok besar yang tak tergoyahkan—kukuh, dingin, dan menakutkan.
"Aku akan memberimu pelajaran yang tak akan pernah bisa kau lupakan," suara Faizan berat, penuh tekanan. "Sampai kau kehilangan keberanian untuk mengulangi perbuatan menjijikan itu lagi."
Tatapan matanya menembus tajam ke arah Alea. Di balik sorot mata itu, Alea melihat sesuatu yang asing—dingin, penuh amarah, dan menakutkan.
"Sa-sakit, Mas..." suara Alea bergetar, hampir tak terdengar. Wajahnya memerah menahan perih akibat cengkeraman Faizan yang begitu kuat di lengannya.
Tanpa sepatah kata pun, Faizan mendorong tubuh mungil Alea hingga terhempas ke atas ranjang. Alea terkejut, tubuhnya kaku ketakutan, napasnya tercekat tak beraturan. Air matanya jatuh semakin deras, menyisakan ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan.
"Ja-ngan... ja-ngan..." pinta Alea lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Memori kelam itu kembali menghantam Alea tanpa ampun—ingatan saat suami kakaknya mencoba melecehkannya. Bayangan penyiksaan dan pukulan kejam berputar di kepalanya, membuat seluruh kekuatannya seolah tersedot habis. Pandangannya yang sempat buram kini seperti memutar ulang semua kenangan mengerikan itu.
Dengan kaki gemetar, Alea berusaha menurunkan kakinya ke lantai. Namun tubuhnya yang lemas tak mampu menopang langkahnya, membuatnya hampir terjatuh. Seolah semua tenaga telah benar-benar meninggalkannya.
Faizan mendekat perlahan. Tatapannya dingin, liar, seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Tanpa belas kasihan, ia mendorong Alea sekali lagi hingga tubuh rapuh itu terhempas, terbaring tak berdaya di atas kasur.
"Ja-ngan... ja-ngan..." pinta Alea lirih, suaranya begitu pelan hingga nyaris tak terdengar.
Alea meremas sprai di bawahnya sekuat tenaga, seolah ingin menyalurkan semua rasa sakit dan ketakutan akibat perlakuan kasar Faizan di atas ranjang.
...----------------...
Bersambung...
***
Haaay selamat malam pembaca setiaku semua...
Gimana nih cerita Alea dan Faiz? Sudah bikin gregetan belum? Simak terus ceritanya sampai tamat yaaa... Jangan lupa jempol dan ratingnya, biar aku bisa semangat terus nulis kisah Alea..
Okey, selamat membaca semuaaa... semoga suka dengan ceritanya, i love you sekebon buat kalian semua...
See you...