Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Pendekatan
Matahari ibu kota begitu menyengat hari ini, membuat cuciran keringat membasahi pelipis Rayhan. Dengan helm dan jaket hitamnya, ia menunggu di depan pintu masuk komplek perumahannya dan duduk di atas motor sportnya. Sudah sejak pagi-pagi buta ia menunggu Vania, berniat mengikuti aktivitasnya seharian penuh.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan hampir lima jam Rayhan menunggu tanpa kepastian. Hingga sebuah sepeda motor keluar, membawa penumpang wanita dengan perawakan yang sangat Rayhan kenali. Rayhan yakin, Vania sedang berangkat kuliah menggunakan ojek.
“Waktunya beraksi!” serunya dengan penuh percaya diri. Rayhan melajukan motornya dan mengikuti Vania dari belakang.
Namun, Vania justru berhenti di sebuah stasiun. Yang membuat Rayhan menyadari sesuatu yang ia lupakan.
“Oh, iya. Dia kan naiknya KRL.” Ujarnya dan meninggalkan motornya di tempat parkir.
Buru-buru ia memakai topi, kacamata, dan masker hitam. Persis seperti kata Pandu, stalker.
Saat memasuki stasiun, pendengarannya di sambut kebisingan. Derap sepatu yang berpacu dengan waktu keberangkatan, suara peluit petugas dan pengumuman monoton dari pemgeras suara, menelan percakapam orang-orang.
Ia melihat Vania sudah melewati gerbang masuk stasiun dengan men-tap kartu.
Sayangnya, sekali lagi ia baru mengingat bahwa ini kali pertamanya menaiki kereta yang membuatnya tidak bisa melewati gerbang itu, sebab ia tidak memiliki kartu aksesnya.
“Ada yang bisa saya bantu mas?” tanya seorang petugas, melihat Rayhan yang gelisah di depan pintu masuk, membuat beberapa orang mengantri.
“ini saya tidak bisa lewat, saya lagi buru-buru pak,” jawab Rayhan, tanpa mengalihkan pandangannya dari Vania yang terus berjalan menjauh.
“Mas nya harus punya kartu akses dahulu, bisa dibuat di loket sebelah sana.” Ujar petugas, sambil menunjuk loket di sebelahnya.
Dengan setengah lari, Rayhan membuat kartu lalu mencari keberadaan Vania di tengah kerumunan padat penduduk. Tak lama, ia menemukan Vania memasuki gerbong. Tidak ingin kehilangan lagi, ia berlari sekuat tenaganya masuk sebelum pintu tertutup.
Napasnya masih terengah-engah, ia berhasil masuk. Mendadak Rayhan merasa bangga pada usahanya sendiri. Ia melihat sekeliling, orang-orang berdiri rapat, matanya menatap layar ponsel, melupakan jarak antarbahu yang terlalu dekat.
Rayhan berdiri di dekat pintu keluar. Di lautan manusia yang berdesakan, matanya fokus menatap Vania yang berdiri dengan tubuh kecilnya, tak lupa earphone yang setia menggantung di telinganya.
“Ternyata begini keseharian lo.” Gumamnya pelan.
Vania berjalan memasuki halaman Kampusnya, banyak pasang mata meliriknya dengan terang-teranagan. Ia yakin, rumor pasti sudah menyebar dengan cepat.
Namun, bukan hanya itu yang kini membuatnya berjalan cepat. Vania merasa ada seseorang di belakangnya yang terus mengawasi dan mengikutinya. Ia menoleh beberapa kali, namun tidak ada seorangnpun yang mencurigakan. Hanya beberapa mahasiswa yang lalu-lalang.
“Hampir saja!” ucap Rayhan lega, yang berjongkok di belakang tanaman hias.
Ponsel Rayhan berbunyi, panggilan dari Ali yang membawa informasi.
“Kata temen kelas Vania, selesai kelas biasanya dia ke perpustakaan. Sekarang posisi lo di mana?” ujar Ali di sebrang sana.
“Depan kampus,” jawabnya singkat, langkahnya kembali melaju mengikuti Vania yang menuju gedung fakultas.
Ali duduk di bangku dekat kantin, memantau dari jauh dengan sekantong popcorn seolah menikmati pertunjukan. Sedangkan Pandu yang terpaksa ikut, berada di kelas menggantikan absensi Rayhan, yang rela bolos kelas demi bisa mengikuti Vania seharian.
“Target sudah masuk, gue akan lanjut nanti selesai kelas.” Imbuh Rayhan.
Sesuai yang dikatakan Ali, selesai kelas Vania menuju perpustakaan. Duduk di pojok ruangan dekat jendela. Rayhan berdiri di antara rak buku, memperhatikan raut wajah Vania yang begitu serius. Beberapa anak rambutnya terbang berantakan, tersapu angin lembut siang itu.
“Cantik,” gumamnya pelan.
Rayhan berpura-pura baca buku di belakang Vania, ingin memperhatikannya lebih dekat, seperti apa buku favorit yang selalu dia baca.
Namun, Ali yang ternyata ikut masuk ke dalam perpustakaan mengeluarkan ponselnya. Dan dengan bodohnya ia menyalakan kamera, hingga bunyi jepretan kamera beserta flash-nya membuat Vania menoleh. Sudah ketebak apa endingnya, Rayhan kelabakan saat Vania menatapnya.
“Rayhan? Kenapa–” perkataan Vania berhenti, ketika mendapati Ali yang tertawa keras seambil melihat hasil tankapan ponselnya. Ia memperhatikan penanmpilan Rayhan yang serba hitam membuatnya makin mencurigakan.
“Apa lo yang ngikutin gue dari pagi?” tanya Vania dengan ragu.
“Bu-bukan gitu, gue cuma kebetulan liat lo di jalan.” Kilahnya dengan tergagap.
“Jadi bener lo yang ngikutin gue? Mau lo apa sih?” ucap Vania dengan emosi, padahal ia hanya ingin baca buku dengan tenang. Selalu saja, suasana hatinya berubah runyam, saat bertemu dengan Rayhan.
Ali bukannya melerai, ia justru tertawa paling keras, seolah mendapatkan pertunjukan yang menarik. Perpustakaan yang sunyi, kini berubah ramai, Rayhan semakin kelimpungan, ingin berkilah namun nyatanya ia sudah tertangkap basah.
“Oh, jadi selama ini gue cuma jadi bahan lelucon buat temen-temen lo?” pekik Vania, suaranya bergetar, emosi kini menguasainya.
"Bukan gitu, Van. Gue Cuma mau deket sama lo.” Jawab Rayhan, mencoba meraih tangan Vania tapi langsung ditepisnya.
“Belum cukup lo mempermalukan gue di kantin, sekarang di dalam perpustakaan?” Vania cukup lelah dengan segala tingkah Rayhan. Matanya memanas, seolah sesuatu di sana ingin keluar. Vania mendongak, menahan kekesalannya yang ingin tumpah. Ia tak ingin terlihat lemah, apa lagi menjadi bahan rumor.
“Gue minta maaf, Van. Gimana kalau kita keluar, kita omongin ini baik-baik.” Ajak Rayhan, melihat mereka sudah dikerumuni banyak mahaiswa lainnya.
“Nggak perlu, gue sendiri yang pergi dari sini.” Vania meraih ransel dan beberapa buku yang tak sempat ia baca. Membelah kerumunan tanpa memperdulikan bisikan mereka.
Ali mendekati Rayhan yang membeku di tempat, ia juga merasa tidak enak karena sudah merusak rencana Rayhan.
“Gue nyerah, Li. Besok lo ambil sendiri ya mobil gue.” Ucap Rayhan dengan nada lemas. Saat keluar ruangan, ia berpapasan dengan Pandu yang kebingungan melihat situasi yang kacau.
“Kenapa kok suasananya gak enak gini? Gagal ya?” tanya Pandu heran. Ia selalu saja tertinggal untuk menyaksikan insiden besar—antara Vania dan Rayhan.
“Mau kemana?” tanya Pandu sekali lagi.
“Ambil motor di stasiun.” Jawab Rayhan, membuat Pandu makin bingung.
Di sisi lain, Rayhan merasa bersalah, membuat seorang gadis yang ia dekati merasa tidak nyaman. Ia membayangkan sekali lagi, tatapan muak dan jijik yang Vania berikan kepadanya.
Untuk pertama kalinya, Rayhan memilih menyerah setelah berusaha semampunya. Ia tak ingin menyakiti hati Vania lagi, ia hanya ingin dekat dengannya jika itu mungkin.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih