Tes Tes Tes
Air mata Airin tertahankan lagi ketika mendapatkan tudingan yang begitu menyakitkan dari sang ayah.
Bahkan pipinya memerah, di tampar pria yang begitu dia harapkan menjadi tempat berlindung, hanya karena dia mengatakan ibunya telah dicekik oleh wanita yang sedang menangis sambil merangkulnya itu.
Dugh
"Maafkan aku nona, aku tidak sengaja"
Airin mengangguk paham dan memberikan sedikit senyum pada pria yang meminta maaf padanya barusan. Airin menghela nafas dan kembali menoleh ke arah jendela. Dia akan pulang, kembali ke ayah yang telah mengusirnya tiga tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Serangan Kedua
Airin sengaja membuatkan teh hangat untuk ayahnya, dan segera di antarkan ke meja makan ketika dia mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga.
"Selamat pagi bibi" sapa Airin sambil tersenyum pada Vivi yang baru turun dari lantai dua.
Dengan wajah tidak senang, Vivi menoleh ke kamar kakak dan kakak iparnya yang ada di lantai satu.
'Dia ini, kenapa malah sudah bangun sih? padahal aku sengaja bangun lebih pagi, untuk mencegahnya sarapan bersama dengan kakak dan kakak ipar. Kalau begini, bagaimana menjauhkannya dari kakak ipar' gerutu Vivi dalam hatinya.
Namun Airin malah tersenyum dan duduk di kursi yang biasa dia duduki dulu, di samping ayahnya.
"Hei, itu kursiku!" seru Vivi yang berjalan semakin cepat ke arah meja makan.
Jika itu Airin yang dulu, yang tiga tahun lalu. Maka Airin pasti akan membantah, dia akan mempertahankan kursi itu, seperti dulu. Karena memang itu miliknya, 18 tahun dia duduk di posisi itu, di samping ayahnya.
Tapi Airin yang sekarang, datang dengan persiapan penuh. Baik itu hati maupun tebal kuping dan tebal muka.
Maka, tanpa banyak berseteru atau protes, Airin segera berdiri dan pindah, di sebelah kursi yang tadinya dia duduki.
Vivi yang melihat itu juga mulai kesal. Dia tadinya mau berdebat dengan Airin. Sengaja ingin cari masalah, toh akhirnya nanti kakaknya akan membantunya dan memutarbalikkan fakta. Tapi, ternyata Airin malah dengan sukarela dan mudah sekali mengalah.
"Maafkan aku bibi, aku tidak tahu. Silahkan bibi duduk, kalau di sini, kursi ini tidak ada pemiliknya kan?" tanya Airin seolah dia sama sekali tak sakit hati dan sama sekali tidak marah.
Bibi Ratih yang melihat kejadian itu saat akan menyajikan makanan. Merasa hatinya pilu sekali. Airin adalah nona sulung di rumah ini. Seharusnya dia tidak boleh mengalah seperti itu, kenapa dia harus mengalah untuk apa yang sebenarnya adalah miliknya. Namun, bibi Ratih juga cukup tua untuk memahami. Kalau ada keributan saat ini, yang akan dimarahi, ditegur atau bahkan dipukul tetaplah nonanya itu.
Vivi mendekati kursinya tadi. Dan begitu dia mendengar suara langkah dan suara kakak dan kakak iparnya, dia pun segera berpura-pura.
"Airin, ini memang adalah tempat duduk mu yang seharusnya. Kamu tidak perlu marah untuk bisa duduk di sini, tinggal katakan saja. Kenapa harus memakiku?"
Airin terkekeh dalam hatinya. Dia juga tahu, kalau Vivi sengaja bicara dengan nada keras supaya ayahnya bisa mendengar omong kosongnya itu.
Airin meraih gelas susu yang ada di depannya. Dan menuangkan susu itu di atas kursi. Vivi tentu saja terkejut dan sedikit menghindar, gerakan refleks itu membuatnya tidak fokus. Sampai akhirnya Airin memberikan gelas susu itu ke tangan Vivi.
Karena refleks dan tidak fokus. Vivi bahkan menerima gelas itu dan memegangnya.
"Kamu..." Vivi baru mau bertanya apa yang sedang Airin lakukan. Tapi Airin malah sudah memukul pipinya sendiri dengan tangan kirinya. Jadi, tangan kirinya memukul pipinya sebelah kanan.
Plakk
Brukk
Airin menjatuhkan dirinya ke lantai.
"Bibi, aku sungguh minta maaf. Aku tidak tahu, kursi ini milikmu. Maafkan aku!"
Felix dan Susan yang sampai di ruang makan sampai terkejut melihat apa yang sedang terjadi disana.
Melihat Airin di lantai dan Vivi memegang gelas, Felix segera menghampiri Airin dan membantu anaknya itu bangkit.
Susan juga tampak bingung dengan kejadian ini. Dia mendekati Vivi.
"Airin, kenapa..."
"Aku duduk di kursi itu, bibi marah. Menarikku berdiri dan menuang susu di kursi itu supaya aku tidak duduk disana. Aku sudah minta maaf, tapi bibi malah menamparrku!"
Susan sampai melotot ke arah Vivi. Dan Vivi, wanita itu sampai ternganga. Dia melihat gelas susu kosong di tangannya dan langsung meletakkannya di meja.
"Kakak ipar, tidak seperti itu! dia berbohong..."
"Maksud bibi aku menampar diriku sendiri? untuk apa aku menyakiti diriku sendiri? lihat ini, tamparan ini bagaimana mungkin aku melakukannya sendiri?" tanya Airin menunjukkan posisi ibu jari dari tamparan di wajahnya itu.
Felix yang melihat kalau kemungkinan anaknya di tampar segera menoleh ke arah Vivi.
Vivi menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak kakak ipar, dia berbohong!"
"Apa bibi berani bersumpah, kalau bibi memang tidak marah aku duduk di kursi itu? bibi berani bersumpah kalau tidak mengusirku dari kursi itu. Aku baru datang, mana aku tahu itu tempat duduk bibi. Padahal hari ini, aku diterima kerja jadi asisten pribadi paman Samuel, kalau wajahku begini..."
Airin menjeda ucapannya. Dia juga tidak mau pertengkaran ini berlanjut. Dia juga berusaha mengalihkan perhatian ayahnya. Kalau cctv di cek sekarang, dia juga akan ketahuan.
Dan mendengar ucapan Airin, mata Felix sedikit melebar.
"Apa? kamu akan jadi asisten pribadi Samuel?" tanya Felix.
Airin segera mengangguk.
"Semalam paman Samuel menghampiriku di taman. Dia bertanya, selama ini aku kemana kenapa tidak pernah kelihatan di keluarga ini. Aku katakan ayah sangat menyayangiku, sampai menyekolahkan aku di luar negeri. Dan aku katakan aku lulusan terbaik kampus paling populer di Jerman. Dia bilang, dia butuh asisten, jadi..."
"Dia sudah punya Billy! dan jika dia ingin asisten itu pasti bukan kamu" Vivi tampak emosi hingga menyela.
Susan menahan tangan Vivi. Adiknya itu memang lebih emosional daripada dia.
"Ayah aku tidak bohong, telepon saja paman Samuel" kata Airin meyakinkan.
"Kakak ipar dia pasti bohong!" ucap Vivi lagi.
"Vivi sudah!" lerai Susan.
Felix tampak berpikir. Tapi kemudian, dia menoleh ke arah Vivi.
"Gelas itu kamu yang pegang, Vivi. Minta maaflah pada Airin. Dia mau kerja di perusahaan Soler. Itu akan baik untuk perusahaan kita!"
"Kakak ipar, tapi bukan aku..."
Susan yang tahu, kalau Felix bukan orang yang suka di bantah. Segera merangkul lengan Vivi dengan cepat.
"Vivi, minta maaf" ujarnya dengan tegas.
"Kak..." Vivi masih berusaha protes.
"Tidak apa-apa bibi. Aku yang salah, besok aku akan duduk di tempat lain. Sudah waktunya aku berangkat, ayah aku pergi dulu!"
Felix mengangguk paham. Airin segera pergi dari tempat itu.
Sampai di luar, Airin mengirimkan pesan pada bibi Ratih.
'Bibi, bantu aku hapus rekaman cctv ruang makan pagi ini'
'Baik nona' balas bibi Ratih.
Airin tersenyum menyeringai, tapi setelah dia keluar dari pintu gerbang sambil menunggu naik ke taksi online yang sudah dia pesan. Dia malah terlihat bingung.
"Sekarang, bagaimana caranya aku bisa jadi asisten pribadi paman Samuel ya. Dia kan hanya menawarkan pekerjaan padaku, tapi bukan asisten pribadi. Aku hanya melebihkan di depan ayah. Bagaimana ini?" gumamnya sambil berpikir sepanjang perjalanan.
Sementara di ruang makan, Felix juga tampak tidak berselera dan segera pergi ke perusahaan.
"Kakak, sungguh bukan aku yang menamparnya!" kata Vivi.
Susan mendengus kesal.
"Rupanya, sikap manisnya semalam hanya sandiwara. Jangan terpancing emosi Vivi, kakak iparmu tidak suka. Berpikirlah dengan lebih tenang" ucapnya menasehati Vivi.
Vivi menghentakkan kakinya ke lantai.
"Dia itu menyebalkan, kenapa dia harus kembali?" omelnya tidak senang.
***
Bersambung...