Fuan, seorang jenderal perempuan legendaris di dunia modern, tewas dalam ledakan yang dirancang oleh orang kepercayaannya. Bukannya masuk akhirat, jiwanya terlempar ke dunia lain—dunia para kultivator. Ia bangkit dalam tubuh Fa Niangli, permaisuri yang dibenci, dijauhi, dan dihina karena tubuhnya gemuk dan tak berguna. Setelah diracun dan dibuang ke danau, tubuh Fa Niangli mati... dan saat itulah Fuan mengambil alih. Tapi yang tak diketahui semua orang—tubuh itu menyimpan kekuatan langit dan darah klan kuno! Dan Fuan tidak pernah tahu caranya kalah...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 – Misi Pertama yang Hampir Gagal Total
Tong Lian menjatuhkan tiga kantong herbal saat mereka mendekati gerbang hutan roh.
"Kau yakin ini arah yang benar?" gumamnya sambil menatap kabut ungu tipis yang bergelombang di antara pepohonan tinggi.
Zhu Feng mengangguk penuh keyakinan. "Aku hafal dari peta desa. Kita tinggal jalan lurus, lalu belok kanan setelah pohon berbentuk kelinci."
"Pohon berbentuk kelinci?" Mo Qingluan mengangkat alis. "Aku merasa kita sedang masuk cerita anak-anak."
"Xiao Kuai juga bingung," tambahnya sambil menepuk ayam di pelukannya.
Mereka bertiga melangkah lebih dalam ke hutan. Aura spiritual di sini jauh lebih tebal dari lembah. Daun-daun berkilau dengan energi roh, dan suara binatang-binatang aneh sesekali terdengar dari kejauhan. Tong Lian menyipitkan mata.
"Kita belum pernah latihan menghadapi tempat seperti ini. Kalau tiba-tiba keluar ular api atau monyet beracun, aku mundur." ujar Tong Lian,
Zhu Feng dengan polosnya berkata, "Kalau keluar ular api, aku peluk. Biar dia tahu niat baikku."
"...Tolong jangan peluk monster." ujar Tong Lian,
Setelah satu jam perjalanan, mereka tiba di sebuah sungai kecil yang melintang seperti batas tak kasat mata. Di tepi sungai itu, terlihat selembar jubah biru robek—milik anak tetua desa.
Mo Qingluan menunduk, menyentuhnya. “Masih baru. Dia belum jauh.”
“Jejaknya ke arah sana.” Zhu Feng menunjuk ke jalur semak.
Namun saat mereka bergerak, tiba-tiba tanah di bawah mereka amblas! Lubang jebakan spiritual menelan ketiganya dalam sekejap.
“AAAAAAAAAA—”
BRUK!
Ketiganya terjatuh di ruang bawah tanah, dikelilingi dinding batu dengan lingkaran segel kuno menyala biru pucat.
“Perangkap!” seru Tong Lian sambil berdiri dan memukul debu dari bajunya. “Aku benci hutan.”
Mo Qingluan melihat ke sekeliling. “Ini... altar kuno. Tapi kenapa diaktifkan?”
Zhu Feng berdiri sambil mengangkat Tong Lian. “Maaf... aku injak sesuatu kayak batu... ternyata pemicu.”
Tong Lian mendesis. “Kalau kita mati di sini, aku mau dikubur dengan ayam goreng.”
Sementara mereka panik mencari jalan keluar, suara lirih terdengar dari balik tembok batu:
“T-tolong...”
Mereka terdiam. Mo Qingluan segera merapat ke tembok dan mengetuknya.
“Seseorang terjebak di balik sini!”
Zhu Feng mengangkat tinjunya. “Aku hancurkan temboknya.”
“PERLAHAN, JANGAN—”
DUAAARR!
Dengan satu pukulan, tembok retak dan hancur. Debu mengepul, dan di baliknya terlihat anak lelaki usia 13 tahun, lemah dan pucat.
“Aku... aku murid dari Sekolah Aliran Kecil... mereka... meninggalkanku...”
Tong Lian melongo. “Mereka buang anak ini ke altar jebakan? Sekolah macam apa itu?”
“Sekolah yang harus kita datangi nanti,” gumam Fa Niangli yang entah bagaimana sudah muncul di ujung lubang dari atas.
“GURU!?” seru mereka kaget
Fa Niangli duduk santai di atas batu, melambai. “Aku khawatir kalian tersesat. Tapi ternyata... kalian malah mengaktifkan altar kuno.”
Zhu Feng tertunduk. “Maaf, Guru... aku cuma mau menyentuh batu bercahaya itu karena cantik...”
Fa Niangli tertawa pelan. “Itu memang batu pemicu. Tapi setidaknya, kalian menemukan si anak.”
Ia mengangkat tangannya, dan seberkas cahaya turun membentuk jembatan spiritual yang mengangkat mereka ke atas.
“Latihan kalian hari ini... 7 dari 10.”
“Tidak gagal?” tanya Mo Qingluan.
“Tong Lian tidak tidur, Zhu Feng tidak pingsan karena kucing, dan Xiao Kuai tetap hidup. Itu sudah prestasi.”
“Kalau aku bisa kasih nilai, aku kasih 9,” gumam si anak yang baru diselamatkan.
Tong Lian tersenyum bangga. “Akhirnya aku berguna.”
Misi pertama memang hampir gagal. Tapi itulah hari di mana Sekte Langit Tertinggi, untuk pertama kalinya, disambut oleh seseorang dari dunia luar... dengan rasa kagum.
Dan itu baru permulaan.
...----------------...
Langit pagi di Lembah Langit Tertinggi dihiasi cahaya keemasan. Kabut tipis menari-nari di antara batu giok yang tertanam di tanah seperti pelindung alami. Di dalam aula utama, Fa Niangli duduk santai bersama ibunya sambil menyantap teh bunga bulan.
“Murid-murid Mu bangun lebih awal hari ini,” ujar Sang Ibu dengan senyum lembut. “Tong Lian bahkan tidak menunda latihan paginya. Entah mukjizat apa.”
Fa Niangli menahan tawa. “Mungkin karena kemarin dia kena semprot ayam Mo Qingluan.”
Sang Ibu tertawa pelan. “Rasanya seperti rumah ya, tempat ini…”
“Karena memang seharusnya rumah,” gumam Fa Niangli, menatap puncak-puncak pegunungan yang menjulang tenang.
Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari arah dapur.
“Tong Lian pakai tungku lagi tanpa Mo Qingluan?” tebak Fa Niangli.
Zhu Feng berlari tergopoh-gopoh ke aula. “Guru! Gege Fa Jinhai meminta Anda ke gerbang lembah… cepat!”
Fa Niangli berdiri dengan alis terangkat. “Apa yang terjadi?”
---
Di gerbang utama, Fa Jinhai sudah berdiri tapi wajahnya... bukan cemas. Lebih ke... bingung.
Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi, berjubah perang sederhana tapi rapi, tanpa tanda pangkat. Wajahnya tegas. Sorot matanya tajam, namun penuh ketenangan. Rambut hitamnya sudah mulai ditumbuhi uban, tapi tubuhnya masih tegap bagai singa tua yang belum kehilangan taring.
Fa Niangli berhenti beberapa langkah dari mereka.
Sosok itu menoleh... dan tersenyum samar.
“Niangli.”
Ia mengenali suara itu.
Dada Fa Niangli sesak seketika. Langkahnya tertahan. Butuh beberapa detik sebelum ia mampu berkata, “Ayah...?”
Pria itu mengangguk. “Aku menyerahkan jabatanku kemarin. Sekarang aku bukan Jenderal Fa Zhongyuan. Hanya... Ayahmu.”
---
Tangis meledak seketika.
Bukan tangis sedih, tapi seperti banjir bendungan yang selama ini tertahan.
Fa Niangli berlari memeluk ayahnya dengan kekuatan yang bahkan membuat Tong Lian—yang mengintip dari semak-semak—menangis tanpa sadar sambil menggigit apel.
Ibu mereka menyusul dari belakang, ikut memeluk.
Fa Jinhai hanya menunduk dan tersenyum untuk pertama kalinya, rumah mereka lengkap kembali.
---
Di aula utama, suasana menjadi tenang namun penuh kehangatan. Fa Niangli duduk di sisi ayahnya, sementara murid-murid duduk mendengarkan, mencuri pandang dengan rasa ingin tahu yang luar biasa.
Mo Qingluan mencolek Tong Lian. “Kamu lihat? Itu ayah Guru kita…”
Tong Lian bergumam, “Kupikir itu dewa turun gunung… lihat bahunya. Pasti bisa lemparku tiga lembah jauhnya.”
Zhu Feng mendekat pelan, lalu menunduk sopan. “Salam hormat… Paman Fa.”
Jenderal Fa mengangguk. “Jangan terlalu tegang. Aku di sini untuk belajar dari kalian juga.”
Tong Lian menyenggol Mo Qingluan, berbisik, “Kalau dia ikut latihan, aku pensiun.”
--
Sore harinya, murid-murid berkumpul di lapangan latihan. Fa Liang mengatur ulang formasi pertahanan lembah, sementara Jenderal Fa mengajari beberapa murid teknik dasar pedang—yang bahkan Tong Lian pun sampai serius menyimak.
“Angkat pedangmu, bukan untuk menyerang duluan, tapi untuk melindungi yang tak bisa melawan.” ujar Jenderal Fa
Zhu Feng mengangguk mantap. “Seperti tubuhku.”
Tong Lian—yang mencoba meniru gerakan ayah Fa Niangli—malah tersangkut jubah sendiri dan jatuh masuk kolam.
Mo Qingluan menepuk dahinya. “Aku sudah bilang jangan latihan dekat air.”
Ayamnya mengangguk.
---
Malam itu, ketika langit dihiasi bintang, Fa Niangli duduk di tepi tebing bersama ayahnya.
“Apakah sulit meninggalkan pangkatmu, Ayah?” tanyanya pelan.
“Dulu iya,” jawab Jenderal Fa. “Tapi tidak setelah tahu anakku berdiri di tempat yang lebih tinggi dari pangkat manapun. Di sini, kau bukan hanya pemimpin. Kau cahaya.”
Fa Niangli diam, menatap langit.
“Lalu... apa rencanamu?” tanya sang ayah.
“Aku akan mengumpulkan kembali sekte kuno. Mereka yang dulu tersebar. Aku yakin mereka masih hidup… menunggu aku bangkit.” jawab Fa Niangli
Jenderal Fa tersenyum. “Kalau begitu, biarkan aku... menjadi pedangmu saat kau bicara. Dan menjadi dindingmu saat dunia mencoba menjatuhkanmu lagi.”
Fa Niangli menahan senyum haru. “Baiklah, Ayah. Tapi jangan rebut tugas Tong Lian.”
Dari kejauhan, suara Tong Lian terdengar, “AKU DENGAR ITU!”
bersambung