Dewi Ular Seosen 3
Angkasa seorang pemuda yang sudah tak lagi muda karena usianya mencapai 40 tahun, tetapi belum juga menikah dan memiliki sikap yang sangat dingin sedingin salju.
Ia tidak pernah tertarik pada gadis manapun. Entah apa yang membuatnya menutup hati.
Lalu tiba-tiba ia bertemu dengan seorang gadis yang berusia 17 tahun yang dalam waktu singkat dapat membuat hati sang pemuda luluh dan mencairkan hatinya yang beku.
Siapakah gadis itu? Apakah mereka memiliki kisah masa lalu, dan apa rahasia diantara keduanya tentang garis keturunan mereka?
ikuti kisah selanjutnya.
Namun jangan lupa baca novel sebelumnya biar gak bingung yang berjudul 'Jerat Cinta Dewi Ular, dan juga Dunia Kita berbeda, serta berkaitan dengan Mirna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh
Dewi Pandita berjalan menuju pulang. Rumah kostnya sengaja ia pilih dekat dari kampus meskipun sedikit lebih mahal, tetapi sang Papa tak mempermasalahkannya, yang terpenting Dita dapat dengan mudah menuju kampus.
Jarak dari rumah kost ke kampus sekitar dua ratus meter saja, dan Dita lebih suka berjalan kaki, ketimbang harus naik motor.
Galuh dan Shera sudah terlebih dahulu pulang, sebab ada kepentingan mendesak, dan rumah mereka satu arah, jadi Galuh membawa sang gadis berkacamata ikut serta ke dalam mobilnya.
Sedangkan Dita menolak tawaran Galuh, sebab ada urusan penting lainnya dikampus.
Tas ransel dipunggungnya bergerak lambat mengikuti irama langkah sang gadis yang saat ini sedang menyusuri trotoar.
Sinar mentari yang bersinar cukup terik, tak.membuatnya harus takut hitam. Ia berjalan dengan begitu santainya, sembari bersenandung dengan lirih.
Sebuah mobil berwarna hitam sedang mengikutinya dari sisi kiri. Ia mencoba berhenti, dan mobil itu juga berhenti. Saat ia kembali berjalan, mobil itu juga kembali berjalan.
Dewi Pandita merasa kesal. Lalu mengacakkan kedua tangannya dipinggang, dan menatap pemilik mobil yang bersembunyi didalamnya.
Karena kesal, Dewi Pandita menghampirinya dengan langkah yang cepat lalu mengetuk pintu mobil.
kaca terbuka, dan Dewi Pandita tercengang melihat siapa yang berada didalamnya. "Bapak? Ngapain ngikutin saya?" tanyanya dengan penuh selidik.
"Masuk!" titahnya.
"Gak mau, ntar diculik!"
"Siapa juga yang mau nyulik kamu, jajannya banyak!"
Dewi Pandita membolakan kedua matanya dengan mulut yang ternganga.
"jadi kenapa Bapak minta saya masuk?"
"Kamu masih harus dihukum, buruan!"
Dewi Pandita mencebikkan bibirnya. "Pak, ini diluar kampus, dan hukuman buat saya hanya saat jam kampus!" bantahnya.
Pria yang tak lain adalah Angkasa, mungkin ia lupa jika Dewi Pandita adalah gadis cerdas yang tidak bisa dibuat semena-mena.
"Sudah, masuk. Atau nilaimu saya anjlok'in, dan hukumanmu bertambah!" ancam Angkasa yang sudah kehabisan akal menghadapi sang gadis.
Selama ini, tanpa diminta sekalipun, para gadis akan dengan senang hati untuk masuk kemobilnya, jangankan dipaksa, mereka yang akan memaksa.
Namun tidak untuk Dewi Pandita, gadis itu sangat keras kepala, dan sulit untuk ditaklukkan.
Jika selama.ini para gadis yang mengejarnya, maka kali ini ia seolah menelan karma, dimana ia yang mencoba mengejar gadis tersebut.
Mendengar hal tersebut, Dewi Pandita akhirnya menuruti perintah sang Dekan Fakultas, sekaligus Dosen juga.
Ia menutup pintu dengan wajah yang masam, namun justru terlihat sangat menggemaskan.
"Ada yang ingin saya bicarakan, dan sepertinya kita akan mencari tempat yang nyaman, mungkin cafe yang ada didekat pantai." Angkasa menyetir mobil, dan tanpa meminta persetujuan dari Dewi Pandita menuju sebuah cafe yang disebutkannya.
"Terserah, jangan lupa, jajan saya banyak!" sindirnya.
"Heeeem," jawab Angkasa dengan hanya berdehem.
Ternyata menghadapi gadis berusia tujuh belas tahun itu sangat merepotkan, apalagi masa labil.
Angkasa menyetir mobilnya, membelah jalanan yang cukup lengang. Mungkin ia terlalu egois dan memanfaatkan jabatan yang sedang disandangnya, namun jika tidak bersikap demikian, maka sang gadis sangat sulit untuk ditaklukkan.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba didepan cafe yang dimaksudkan. Lalu keluar dari mobil dan menuju meja yang berhadapan langsung dengan laut.
Setelah duduk dikursi yang disediakan, Angkasa menatap sang gadis. Ia tak mampu menyembunyikan deguban jantungnya yang memburu, sama seperti saat pertama kali ia melihat seorang bayi mungil tujuh belas tahun silam saat berada dihutan.
Apakah itu orang yang sama? Atau hanya praduganya saja? Tetapi hatinya tak dapat ia bohongi.
"Bapak kenapa pandangi saya seperti itu? Ada yang aneh dengan saya?" tanya sang gadis dengan tatapan penuh selidik.
Angkasa tersenyum keki. Mengapa ia justru salah tingkah didepan sang gadis?
"Apakah kamu yakin ingin ikut camping ke puncak bukit?"
"Ya, Galuh yang mengajak saya untuk ikut.
"Itu hutan, apakah kau tidak takut diterkam binatang buas? Ucap Angkasa. Sungguh pertanyaan yang sangat konyol sejak kapan ia harua perduli pada mahasiswanya?
Bukankah ia juga yang mengadakan acara tersebut? Lalu mengapa ia hanya mengkhawatirkan satu orang saja? Terlalu berlebihan--bukan?
"Pak, jangan khawatirkan saya masalah hutan. Itu hal yang biasa buat saya," jawabnya dengan cepat.
Angkasa tampaknya bingung harus mencari topik pembicaraan yang mungkin lebih santai, tetapi justru menjebaknya dalam situasi yang rumit seperti ini.
"Ya, kamu kan masih sangat muda diantara mahasiswi lainnya. Seharusnya kamu masih duduk dibangku kelas dua sekolah menengah atas, maka saya mengkhawatirkan kamu jika sampai ikut ke acara camping," kilah Angkasa untuk menutupi kekonyolannya.
"Terus? Saya harus membatalkan untuk ikut jadi peserta?"
Seketika Angkasa merasa serba salah. Jujur saja ia akan senang jika Dewi Pandita ikut dalam acara tersebut, namun ia juga mengkhawatirkan sang gadis, sebab bukit yang akan mereka jadikan tempat observasi disinyalir banyak hewan buas dan juga berbisa, termasuk ular kobra.
"Kamu gak takut dengan ular?" tanya Angkasa.
"Gak, saya temenan dengan ular," jawabnya santai.
Lalu obrolan mereka terhenti saat pramusaji datang menanyakan pesanan pada keduanya.
"Kamu mau pesan apa?"
"Terserah," jawab Dita datar.
Angkasa semakin gemas melihat sikap jutek Dita yang tentunya begitu natural.
Pria itu memesan minuman ringan, dengan dua porsi ayam geprek, anggap saja sekalian makan malam.
"Pak, saya harus kembali ke kos tepat waktu, jika tidak, maka ia akan menghubungi papa dan pastinya saya akan kena omelin," Dita mengingatkan.
"Iya, lagian gak mungkin gadis cerewet seperti kamu saya bawa pulang," jawab Angkasa dengan mada menggoda.
Ah, ternyata pria matang itu sedang mengalami pubertas yang cukup akut.
"Heeem... Gitu ya?"
Angkasa kembali tersenyum geli. Ternyata serumit itu menghadapi sang gadis.
Tak berselang lama, pesanan keduanya datang. Dewi Pandita menatap hidangannya,
"Makanlah, anggap saja makan malam, biar tidurmu nyenyak, sebab perut yang lapar akan mempengaruhi kualitas tidur seseorang," ucapnya dengan nada yang sangat begitu lembut.
Dita memperhatikan sang Dosen yang sedang menyantap makanannya. Saat sedang makan, ketampanannya semakin bertambah, dan Dita menyadari, jika sesuatu yang terpancar diwajah sang pria, adalah gambaran hatinya.
"Pantas saja ia dikejar banyak wanita, ternyata ia benar-benar tampan," gumam Dita dalam hatinya.
Tentu saja hal tersebut membuat sang Dekan fakultas tersenyum malu saat menanggapi ungkapan hati sang gadis yang diam-diam mengakui ketampanannya.
Dita mulai menyantap makanannya dengan cepat. Ia harus segera pulang ke kost.
Dalam sekejap saja ia sudah menghabiskannya tanpa sisa.
Angkasa melihat Mahasiswi barunya sedang kalap dalam menghabiskan makanannya. Ingin rasanya ia meledek sang gadis. Namun takut merubah suasananya.
Sebab beberapa hal.yang tidak boleh dibecandain
~Orang yang sedang makan
~Orang uang ibadah
~Orang yang sedang tidur.
Sebab jika salah satu sampai dilanggar, maka akan meninggalkan musibah.
Dia itu klu gak salah yg tinggal di rumah kosong yg dekat dg rumah orang tua nya Satria yaa , kak ❓🤔