Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Kafe “Urban Mug” – 21.39 WIB
Udara malam mulai mendingin. Di luar kafe, kendaraan lalu-lalang di sepanjang jalan utama kota. Di dalam kafe, suasana justru makin hidup musik diputar lebih keras, lampu-lampu temaram mulai berganti warna ke merah kebiruan.
Naya duduk di tengah lingkaran pertemanan, wajahnya merah merona, bukan karena bahagia… tapi karena alkohol yang baru saja ia teguk. Di tangannya masih tergenggam gelas kaca tinggi berisi minuman bening, es batu nyaris mencair semua.
Awalnya ia menolak keras.
“Gue nggak minum beginian, sumpah.”
Tapi suara paksaan, ejekan ringan, dan tatapan sinis membuat pertahanannya goyah.
“Ah masa mantan anak orang kaya nggak pernah nyoba wine?”
“Lo terlalu kaku, Nay. Hidup tuh harus dicicipi.”
Dan seperti malam-malam sebelumnya,
Naya menyerah.
Karena capek jadi yang ‘berbeda’. Karena ingin dianggap “normal”.
Ia tertawa terlalu keras. Telinganya berdenging. Dunianya mulai berputar.
Sementara itu...
Alvan – Di Konter Pesanan Kafe Samping
Alvan berdiri di antrean pemesanan, mengenakan hoodie hitam dan celana bahan gelap. Ia baru saja selesai dari agenda kantor ayahnya dan mampir untuk membeli makanan yang biasa ia bawa pulang.
Tapi matanya tertarik ke arah sudut ruang kafe yang terbuka tempat sekelompok muda-mudi tertawa riuh.
Dan di antara mereka…
Naya.
Rambut berantakan, tertawa terbahak, tangannya memegang gelas alkohol sambil sesekali membentur lutut meja. Suaranya melengking kecil, dan tubuhnya terlihat mulai goyah saat tertawa.
Alvan diam di tempat. Matanya tak berkedip.
Sesaat ia tak yakin itu Naya.
Tapi itu jelas Naya.
Mahasiswi yang sering berdebat dengannya.
Yang kata-katanya tajam, matanya tak takut, dan suaranya keras saat bicara soal keadilan nilai.
Dan malam ini…
Dia mabuk. Dikelilingi teman-teman yang tertawa, sebagian merokok, sebagian memotret diam-diam.
Alvan memalingkan wajah. Suasana hening di kepalanya.
Tapi langkahnya tidak beranjak.
“Pesanan atas nama siapa, Kak?” suara kasir memanggil.
Alvan tersadar. Ia mengambil makanan, lalu berjalan cepat keluar. Tapi saat mencapai pintu, ia kembali menoleh ke belakang.
Naya sedang rebah di bahu Sarah. Matanya setengah tertutup, wajahnya kosong.
Alvan menggenggam kuat kantong kertas berisi makanannya.
“Bocah keras kepala. Selalu pakai topeng kuat… ternyata cuma topeng.”
Ia tak tahu mengapa ia merasa… kecewa. Mungkin karena naya merupakan mahasiswi nya dikampus tapi Alvan tak mau ambil pusing dan segera pulang.
___
Keesokan Paginya – Ruang Makan Keluarga Firman
Matahari pagi menyinari ruang makan yang seperti biasa tertata rapi. Aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi udara. Pak Firman duduk membaca koran, sesekali menyeruput kopinya. Sementara Bu Mita tampak sibuk memainkan ponselnya, senyum tipis tergambar di wajahnya.
Ia mengetuk layar ponsel beberapa kali, lalu menyodorkannya pelan ke arah Pak Firman.
“Mas, aku nggak bermaksud ikut campur urusan Naya… tapi lihat ini dulu.”
Pak Firman menoleh tanpa curiga, lalu menerima ponsel itu. Matanya langsung tertumbuk pada beberapa foto Naya di kafe malam sebelumnya—tertawa, memegang gelas, duduk bersama laki-laki, dan salah satu foto paling menyakitkan Naya bersandar dalam keadaan setengah sadar di pundak seorang laki-laki tak dikenal.
Pak Firman membeku. Rahangnya mengeras. Dadanya naik-turun perlahan.
“Dari mana kamu dapat ini?” tanyanya pelan, dingin.
Bu Mita pura-pura gelisah. “Aku dapat dari kenalan... yang pernah lihat Naya di tempat seperti itu sebelumnya. Tadi malam dia langsung kirim, katanya khawatir. Aku juga nggak mau cepat menuduh. Tapi... ini bukan kali pertama, Mas.”
Pak Firman menatap ponsel lama sekali, sebelum akhirnya meletakkannya perlahan ke meja. Tangannya terkepal.
“Dia bilang dia sedang belajar di kamar.”
Bu Mita mendesah, memainkan ujung saputangan di tangannya.
“Mungkin... dia cuma sedang bingung, Mas. Tapi kalau dibiarkan... aku khawatir Naya akan makin terjerumus.”
Pak Firman berdiri. Langkahnya pelan tapi berat, menuju jendela besar yang menghadap halaman. Punggungnya tegang, matanya kosong.
“Aku nggak mau anakku jadi bahan tertawaan. Aku nggak mau... kehilangan dia sepenuhnya.”
Bu Mita berdiri pelan, berjalan mendekat.
“Mungkin sudah saatnya... kamu bertindak lebih tegas. Mungkin Alvan bukan cuma calon suami... tapi juga satu-satunya cara buat menyelamatkan Naya dari dirinya sendiri.”
Pak Firman tak menjawab. Tapi sorot matanya berubah.
Keras. Tegas. Dan siap memaksa.
Sementara itu, di lantai atas, Naya masih tertidur dengan kepala pusing dan tubuh lemas, tak sadar bahwa badai besar akan segera menyapunya dan kali ini, bukan karena dosen killer, Tapi karena ayahnya sendiri yang merasa tak punya pilihan lagi.
---
Langit cerah, tapi suasana di dalam rumah mendadak seperti mendung pekat yang menggantung di udara. Pak Firman turun dari ruang makan dengan langkah cepat, hampir menyeret kakinya menaiki tangga ke lantai atas. Di tangannya, ponsel masih menyala—foto-foto dari malam sebelumnya terpampang jelas.
Tok! Tok! Tok!
Tanpa menunggu jawaban, pintu kamar Naya dibuka keras. Naya yang masih mengenakan piyama, duduk bersandar di ranjang dengan mata berat dan kepala pening, langsung tersentak kaget.
“Papa?!”
“BERDIRI!” suara Pak Firman membentak, menggelegar.
Naya kaget. Belum sempat sepenuhnya bangun dari tempat tidur, tangan Pak Firman sudah menarik lengannya.
“Kamu berani bohong sama papa Naya!”
“Apa maksud Papa—”
PLAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Naya. Tubuhnya terhuyung sedikit, matanya membelalak, dan suara detak jantungnya menggema di telinga. Tangannya langsung memegang pipinya yang memerah dan panas.
“Papa... tampar aku?” suaranya nyaris tak terdengar.
Naya berdiri kaku, matanya berair, tapi bukan karena sakit. Karena amarah. Karena kecewa. Karena luka lama yang selama ini ia kubur rapat-rapat.
Pak Firman masih menatapnya dengan sorot marah.
Sementara Bu Mita berdiri di ambang pintu, berpura-pura prihatin.
Namun, kali ini Naya tidak tinggal diam.
“Papa puas? Udah mukul aku? papa emang gk pernah sayang sama naya".
Pak Firman terdiam. Tak menyangka.
Naya mengangkat tangannya gemetar tapi tegas menunjuk langsung ke arah Mita.
“Semua ini juga karena dia!”
“Papa yang nikah sama dia” katanya tajam, jari masih mengarah pada Mita, “perempuan yang pura-pura baik dan memakai topeng!”
Mita tersentak. Matanya melebar sejenak, tapi cepat-cepat menunduk, berpura-pura tersinggung.
“Naya...” Pak Firman mulai bicara, tapi Naya langsung membentaknya.
“Mama pergi karena Papa! Karena Papa selalu anggap diri papa paling benar. Karena Papa cuma pikirin gengsi dan juga ego papa, papa nggak pernah pikirin kebahagiaan aku... bukan kebahagiaan mama!”
Bu Mita berpura-pura menghela napas panjang. “Naya, jangan membawa-bawa ibumu yang sudah lama—”
“Diam!” Naya menatapnya tajam.
“Kamu bukan siapa-siapa buat saya.”ucap naya amarahnya benar benar tak tertahan wajah nya dan telinga nya bahkan ikut memerah.
Pak Firman maju satu langkah, nadanya mulai meninggi lagi.
“Kamu jangan kurang ajar sama ibu tirimu!”
Naya menatap ayahnya lurus.
Wajahnya memerah, tapi bukan karena tamparan. Karena amarah yang tertahan bertahun-tahun akhirnya keluar juga.
“Dia bukan ibu saya. Dan Papa bukan pahlawan dalam hidup naya. Papa cuma ngatur dan ngatur. Tapi nggak pernah dengerin apa mau Naya".
"Cukup naya jangan berteriak lagi"
Pak Firman menunjuk ke arah pintu.
“Mulai hari ini, kamu tidak boleh keluar rumah tanpa izin dariku. Tidak ada jalan-jalan, tidak ada nongkrong, bahkan ke kampus pun harus seizin aku!”
“Papa, aku kuliah, bukan tahanan!” Naya akhirnya bersuara, suara gemetar campur amarah.
“Kalau kamu masih menganggap dirimu anakku, kamu harus patuh!”
“Mas… sudah cukup. Jangan terlalu keras. Kasihan Naya.”
Ucapnya lembut, seolah benar-benar peduli.
Tapi Naya melihat jelas… senyum tipis di sudut bibir wanita itu.
Pak Firman menarik napas panjang, kemudian berkata dingin:
“Kalau kamu masih membuat ulah, perjodohan akan segera dipercepat. Biar ada yang mengatur hidup kamu sebelum kamu menghancurkannya sendiri.”
Lalu ia meninggalkan kamar itu tanpa menoleh.
Bu Mita hanya berdiri sejenak, lalu mendekat dan merapikan selimut Naya seolah-olah ia seorang ibu sejati.
“Kamu harus tahu, Nak… semua ini untuk kebaikanmu. Kadang cinta itu menyakitkan, tapi percayalah, Papa kamu melakukannya karena sayang.”
Kemudian ia tersenyum tipis dan menutup pintu perlahan.
Naya menggigit bibirnya. Air mata menetes. Deras tak lagi bisa dibendung.
“Ayah macam apa yang tega menampar anaknya sendiri?” gumamnya pelan.
Di pipinya masih terasa panas.
Di dadanya, lebih panas lagi.
🍒🍒🍒