Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. pernikahan
Bab 7. Pernikahan
Malam menjelang pernikahan selalu punya cara sendiri untuk mengusik pikiran.
Detik demi detik, jam terus berganti dan hari demi hari begitu cepat terlewati.
Hari yang tak pernah ditunggu sampai juga masanya, besok Nara akan menikah untuk yang kedua kalinya. Nara duduk di tepi ranjang, memandangi gaun kebaya yang tergantung rapi di balik pintu kamarnya. Warna kremnya lembut, tapi justru membuat hatinya bergetar. Bukan karena bahagia sepenuhnya, tapi karena realitas yang sebentar lagi berubah.
“Nak besok kita akan merubah yang tak seperti biasanya, akan ada pengganti Ayahmu kedepannya. Mungkin niat Mama ingin masih berlama-lama membesarkan Aiden sendirian, tapi takdir memiliki kehendak lain. Bantu Mama untuk terus bertahan dengan yang tak Mama pilih ini.”
Rasanya begitu sesak, air mata Nara mulai berjatuhan, membayangkan saja begitu sulit diterima otak, apalagi hati yang kian tak mudah ikhlas dengan kemauan Ayahnya.
*
*
*
Pagi tadi, Nara sempat bertemu Rama di ruang tamu rumah orang tuanya. Pertemuan singkat untuk menyerahkan berkas pernikahan yang akan diurus besok pagi. Seperti biasa, Rama tak banyak bicara. Namun saat hendak pamit, ia sempat berkata:
“Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi aku akan berusaha… menjadi yang terbaik dari yang terbaik.”
Nara tak menjawab saat itu. Hanya menunduk, menyimpan kata-kata Rama dalam diam.
Ia tahu pria itu bukan orang yang pandai mengekspresikan diri. Sejak awal dikenalkan, Rama lebih sering diam dan memilih mendengarkan. Tapi ada hal lain yang terasa dari kepribadiannya—ketegasan yang kalem, dan sikap menghargai tanpa banyak janji manis.
Dirumah orang tua Nara juga tengah sibuk mengatur dekor kecil lengkap dengan hiasan pernak pernik yang diletakkan diruang tengah.
Semua kursi dipindahkan menjadi kursi-kursi kecil yang cukup untuk diduduki satu orang saja.
Baik Nata maupun Vania seperti tak kenal lelah membantu semua kerjaan untuk mempersiapkan esok hari.
Keluarga sudah banyak berkumpul dirumah ini, tak banyak dari mereka yang juga heran kenapa begitu cepat Nara menikah lagi. Kecuali keluarga dari Ibu tirinya mungkin besok akan baru tiba.
Banyak yang bisa membaca situasi Nara, banyak pula yang mengerti jalan cerita keluarga ini. Tapi merekapun tak mampu bersikap, ini keinginan Ayah Nara sendiri.
Nata sendiri yang paling tahu semua isi hati Nara sudah mencoba memberi penawaran pada Ayahnya, bukan untuk menolak pernikahan ini, tapi mungkin bisa diundur hingga mereka sama-sama mengenal dan siap menjalani bahtera rumah tangga.
Tapi Ayah Nara tetap Ayah Nara, jika sudah diputuskan besok siapapun tak akan bisa merubah pola pikirnya.
*
*
*
Malam itu, sebelum benar-benar tidur, Nara menerima notifikasi pesan di handphonenya.
> "Terima kasih karena sudah mau menjalani ini sama-sama. Maaf kalau aku belum bisa sempurna."
Begitu isi pesan dari pengirim bernama Rama, lekas Nara membalas pesan itu.
> "Tidak apa-apa. Aku pun bukan orang sempurna. Tapi kita bisa belajar barsama."
Nara menarik napas lega. Setidaknya, ia merasa tidak melangkah sendirian.
Besok adalah hari besar. Tapi malam ini adalah tentang penerimaan. Tentang seorang perempuan yang belajar mempercayai takdir baru, meski belum tahu apakah jalannya akan mulus.
Yang ia tahu, ia sudah tak mengecewakan Ayahnya, ia sudah memilih—dan akan mencoba sebaik mungkin menjalaninya.
*
*
*
Fajar mulai menunjukkan asistensinya, embun pagi terasa begitu sejuk membasahi pepohonan yang sedikit bergoyang karna terpaan angin sepoy dipagi hari.
Jam alarm mulai berdering, tapat pada pukul empat pagi. Tidur Nara tak bisa nyenyak, sebab pikirannya begitu berisik.
Ia lekas mandi, mempersiapkan diri sebelum perias datang kerumahnya. Ia tak mau jika sampai Ibu tirinya mengoceh dipagi hari apalagi banyak saudaranya yang menginap dirumah ini.
Terdengar grasak grusuk diluar orang sudah banyak beraktivitas juga, entah menyiapkan tempat yang kurang, atau menyiapkan sajian untuk semua tamu yang akan datang.
Nara tak boleh membantu pekerjaan apapun diluar, katanya ia harus menyiapkan fisik dan batinnya dengan sempurna dihari pernikahannya.
“Nara… boleh Tante masuk?” Terdengar pintu diketuk, Nara yang baru saja menyelesaikan ritual mandinya segera membuka.
“Iya Tan, silahkan.” Balas Nara, begitu pintu terbuka lebar.
Tante Maya, Adik dari Ayah Nara mendudukkan dirinya dipinggir ranjang tempat tidur Nara, yang mana disana masih ada Aiden dengan lelapnya mengarungi sebuah mimpi.
Maya mengusap lembut kepala Aiden, “Maafkan Tante Nara, belum bisa berpihak dan membelamu dengan keras.” Ucapnya sendu sambil memberikan kecupan singkat pada kening Aiden.
“Tante tak mengetahui niat Ayahmu ini, ketika hampir menjelang hari pernikahan mu, Ayahmu baru mengabari. Dan lekas Tante berangkat saat itu juga kesini.” Sambungnya, tapi kini sambil menggenggam kedua tangan Nara.
“Kamu baik-baik saja kan?” Pertanyaan ini yang memberatkan Nara, ketika semua memberikan nasihat tapi kali ini ada yang menanyakan keadaannya.
Senyumnya ia paksakan dan, “aku baik Tan, lagi pula belum dijalani ngga ada yang tau kan.”
“Nara, Tante tau isi hatimu yang sebenarnya. Tapi Tante juga tidak memiliki hak lebih jauh lagi. Mungkin kata semangat juga ngga ngaruh kedepannya, ini soal hati, semoga hatimu menemukan tempat yang paling baik.”
Maya memandang bola mata Nara dalam, ia seperti bisa membaca apa yang tengah Nara rasakan saat ini. Ada senyum yang dipaksakan, ada wajah yang ditunjukkan tanpa adanya kesedihan sedikitpun.
“Sebentar lagi, perias akan datang, pancarkan kecantikan mu dengan kebahagiaan. Dan Aiden biar Tante bawa ke kamar Tante ya.” Ucap Maya banyak menenangkan.
*
*
*
Riasan sederhana dan gaun berwarna krem lembut tetap memancarkan kecantikan Nara, dibalik kaca rias yang kini memantulkan dirinya, ia melihat, memutar tubuhnya, memberikan senyuman tipis akan indahnya pemandangan ini.
Terdengar pintu dibuka dari luar, “wihh nikah lagi nih, cepet banget cari ganti, mana dapet pria mateng lagi.” Tawanya meledek, tatapan sinis melekat sekali diwajahnya.
“Ada apa?” Jawa Nara berusaha menahan mulutnya agar tak lepas kendali menyahut karna emosi.
“Aslinya capek yang mau pulang, sampe sini cuma acara gak penting. Emang ga punya cita-cita nikah di gedung gitu, malah sempit-sempitan dirumah?”
Nara menghela nafas mendengar perkataan yang terdengar semacam hinaan itu, dari pada berdebat dengan saudara tirinya ini, mending diam mengalah, sebab jika terus-terusan meladeni perkataannya tidak akan pernah ada habisnya.
Sifatnya sebalah dua belas sama Ibunya, sehari ngga ngehina Nara mungkin hidupnya terlalu hambar.
Nara terus diam tanpa menjawab sedikitpun, ia sudah tau akhirnya akan seperti apa, biarkan dia lelah sendiri dan keluar dari kamar ini.
Tidak sedikitpun bawa perasaan atau sakit hati, istilahnya Nara sudah kebal karna celaan dari keduanya. Biarkan saja mau ngoceh seperti apa, Nara tak lagi menghiraukan.
*
*
*
“Ayo keluar Nara, jangan sampai membuat malu, tunjukkan bahagia mu demi Ayahmu itu. Dengar!” tekan Ibu tiri Nara sambil menggandeng tangannya menuju ruang dimana akan dimulainya akad pernikahan.
Nara begitu muak melihat manusia munafik disebalahnya kini yang tengan menggandengnya.
Begitu sampai diruang depan yang sudah dipenuhi tamu, wajahnya separti ibu peri yang sangat menyayangi Nara dan senyumnya seperti manusia paling tulus.
*
*
*
Semua mata tengah tertuju kearah mereka yang mulai memasuki ruangan, aura bahagia dapat terlihat disebagian orang yang ada disana.
Ruangan yang disulap menjadi tempat pernikahan yang indah, kini lengkap dengan meja kecil dan tempat duduk untuk kedua mempelai, penghulu dan saksinya.
Lengkap dengan hadirnya penghulu dan Rama didepannya.
Nara menduduki tempat yang sudah disiapkan, pandangannya beralih pada Ayahnya yang kini ada didepannya. Perasaan yang sulit dijelaskan begitu Nara rasakan disituasi yang menegangkan ini.
“Apa sudah siap?” Tanya penghulu yang akan memulai prosesi akad nikah kearah Rama dan Nara.
—