Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Perintah Pertama yang Mustahil
Sebuah tamparan keras mendarat di permukaan meja kayu jati yang berada tepat di hadapan Kirana. Gadis itu tersentak hingga bahunya menciut saat seorang wanita dengan pakaian yang sangat ketat menatapnya penuh kemurkaan. Ruang tengah rumah mewah itu mendadak terasa sangat sempit karena kehadiran wanita yang mengaku sebagai kepala pelayan tersebut.
"Jangan pikir karena kamu dibawa oleh Tuan Arkananta, kamu bisa bersantai di rumah ini," ucap wanita itu dengan suara yang melengking tajam.
Kirana meremas jemarinya sendiri di bawah meja hingga kuku-kukunya memutih karena rasa tertekan yang sangat hebat. Ia baru saja tiba dari sekolah barunya yang sangat asing, namun sudah harus menghadapi permusuhan di rumah ini. Aroma parfum mawar yang sangat menyengat dari wanita itu membuatnya merasa pening dan ingin segera melarikan diri ke paviliun belakang.
"Saya siap bekerja, tolong beritahukan apa tugas pertama saya sekarang juga," sahut Kirana dengan suara yang diusahakan tetap tenang meskipun hatinya bergetar.
Wanita itu tersenyum licik lalu melemparkan sebuah anak kunci berkarat yang berukuran sangat besar ke lantai. Ia menunjuk ke arah pintu gudang bawah tanah yang terletak di ujung lorong dapur yang sangat gelap. Kirana menatap anak kunci itu dengan pandangan yang penuh dengan keraguan yang sangat mendalam.
"Bersihkan seluruh arsip lama di gudang bawah tanah itu sebelum Tuan Arkananta pulang dari kantor," perintah wanita itu sambil berlalu pergi dengan langkah yang sangat angkuh.
Kirana mengambil anak kunci itu dengan tangan yang gemetar hebat seolah benda logam itu mengandung aliran listrik yang menyakitkan. Ia melangkah menuju lorong dapur, melewati para koki yang menatapnya dengan pandangan yang penuh dengan rasa kasihan yang sangat tulus. Setiap langkah kakinya di atas lantai keramik terdengar seperti detak jam yang menghitung mundur kehancuran hidupnya.
"Gudang itu sangat berdebu dan tidak pernah dibuka selama sepuluh tahun, Nona Muda," bisik salah satu koki saat Kirana melintas di depannya.
Kirana hanya tersenyum kecut sambil terus berjalan menuju pintu kayu yang tampak sangat berat dan dipenuhi sarang laba-laba. Ia memutar anak kunci itu dengan sekuat-tenaga hingga terdengar suara derit besi yang sangat memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Udara dingin dan aroma kertas yang sangat usang seketika menyerang indra penciumannya dengan sangat kuat.
Di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh satu lampu bohlam redup, ribuan tumpukan berkas tersusun secara acak-acakan di rak besi yang mulai berkarat. Kirana mulai memindahkan kotak-kotak besar yang sangat berat hingga peluh mulai membasahi dahi dan seragam sekolah barunya yang sangat mahal. Ia merasa tugas ini sengaja diberikan untuk menyiksanya secara perlahan hingga ia menyerah dan pergi.
"Kenapa mereka semua sangat membenci saya padahal saya tidak pernah melakukan kesalahan?" tanya Kirana pada dirinya sendiri di tengah kesunyian yang mencekam.
Waktu terus berjalan hingga hari mulai gelap, namun pekerjaan Kirana masih jauh dari kata selesai karena banyaknya dokumen yang berserakan. Punggungnya terasa sangat pegal dan jemarinya mulai melepuh akibat gesekan dengan pinggiran kotak kayu yang sangat kasar. Tiba-tiba, suara langkah kaki yang sangat berat terdengar dari arah tangga kayu yang menuju ke atas ruangan tersebut.
"Apakah kamu sedang mencoba untuk menjadi pahlawan dengan membersihkan tempat pembuangan ini sendirian?" tanya sebuah suara berat yang sangat familiar di telinga Kirana.
Kirana menoleh dengan sangat cepat hingga lehernya terasa sangat kaku dan menyakitkan akibat gerakan yang mendadak itu. Arkananta berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang kancing atasnya sudah terbuka, menampakkan lehernya yang sangat kokoh. Cahaya remang-remang dari lampu bohlam memberikan kesan yang sangat misterius pada wajah tampannya yang selalu tampak dingin.
"Saya hanya menjalankan perintah dari kepala pelayan Anda yang sangat berwibawa itu, Tuan," sahut Kirana sambil menyeka keringat di pipinya dengan punggung tangan.
Arkananta melangkah mendekat, mengabaikan debu yang mulai mengotori sepatu kulitnya yang sangat mengkilap dan berharga mahal itu. Ia melihat jemari Kirana yang mulai memerah dan berdarah kecil akibat luka lecet yang cukup dalam pada bagian telapak tangan. Rahang Arkananta mengeras secara tiba-tiba, menciptakan gurat amarah yang sangat nyata pada wajahnya yang sangat angkuh tersebut.
"Berhenti sekarang juga, atau saya akan membakar seluruh tempat ini bersama dengan semua isinya," perintah Arkananta dengan nada yang sangat tidak menerima bantahan apa pun.
Kirana terdiam mematung sambil memegang sebuah map tua yang tampak sangat berbeda dari dokumen-dokumen lainnya yang ada di sana. Map itu terbuat dari kulit berwarna cokelat gelap dengan simbol keluarga Dirgantara yang tercetak sangat jelas di bagian depannya. Arkananta segera merebut map tersebut dari tangan Kirana dengan gerakan yang sangat kasar dan penuh dengan kecurigaan.
"Dari mana kamu mendapatkan benda ini dan apakah kamu sudah berani membuka isinya tanpa izin saya?" tanya Arkananta dengan suara yang sangat rendah namun sangat mengancam.
Kirana menggelengkan kepalanya dengan sangat cepat karena ia memang benar-benar belum sempat menyentuh bagian dalam dari map misterius tersebut. Ia merasa ada sesuatu yang sangat penting dan rahasia di dalam dokumen yang baru saja ia temukan secara tidak sengaja itu. Ketakutan yang baru kini merayapi hati Kirana, menyadari bahwa ia mungkin baru saja menyentuh rahasia terlarang.
"Saya baru saja menemukannya di bawah tumpukan kotak kayu itu, saya bersumpah tidak tahu apa pun," bisik Kirana dengan bibir yang terus bergetar hebat.
Arkananta menarik lengan Kirana dengan sangat kuat, menyeret gadis itu keluar dari gudang bawah tanah yang pengap dan gelap tersebut. Mereka berjalan melewati lorong dapur menuju ruang utama dengan langkah yang sangat cepat dan penuh dengan ketegangan yang memuncak. Kirana hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki Arkananta yang sangat panjang seolah sedang diseret menuju tempat hukuman mati.
Saat mereka sampai di ruang tengah, Arkananta melemparkan map cokelat itu ke dalam perapian yang sedang menyala dengan sangat terang dan panas. Kirana terpekik kaget melihat dokumen yang tampak sangat berharga itu kini mulai dimakan oleh lidah api yang sangat merah membara. Ia melihat ekspresi Arkananta yang tampak sangat lega namun sekaligus menyimpan kegelisahan yang sangat mendalam di matanya.
"Lupakan apa pun yang kamu lihat di gudang tadi jika kamu masih ingin bernapas dengan tenang besok pagi," ucap Arkananta sambil menatap kobaran api.
Kirana hanya bisa terpaku membisu sambil menatap abu kertas yang mulai terbang tertiup angin dari jendela yang terbuka sedikit. Ia tahu bahwa Arkananta sedang menyembunyikan sesuatu yang sangat besar dan mungkin berhubungan dengan kecelakaan yang menimpa ayahnya tempo hari. Rasa penasaran mulai tumbuh subur di dalam hati Kirana, mengalahkan rasa takut yang selama ini selalu menghantuinya setiap detik.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu depan yang sangat keras mengejutkan mereka berdua di tengah keheningan malam yang mulai mendingin. Seorang pria dengan seragam kepolisian berdiri di sana dengan wajah yang sangat serius dan membawa sebuah surat perintah penggeledahan resmi. Kirana merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat nama ayahnya tertulis dengan tinta hitam besar di atas surat tersebut.
"Tuan Arkananta, kami memiliki bukti baru bahwa kecelakaan pengemudi Anda adalah sebuah tindakan rencana pembunuhan yang melibatkan orang dalam rumah ini."