Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serena
Pintu utama Mansion Montgomery terbuka, udara malam berhembur memasuki ruangan. Lampu-lampu gantung kristal memancarkan cahaya, memantul di rambut seorang gadis yang baru saja melangkah masuk.
Sosok itu sederhana jika dibandingkan dengan kemegahan tempat yang menyambutnya saat ini. Kemeja linen biru muda, celana panjang putih yang rapi, dan ransel di punggungnya. Tidak ada perhiasan, wajahnya natural tanpa sentuhan make-up, hanya lip balm tanpa warna yang melapisi bibir tipisnya.
Rambutnya terikat ke belakang dengan cara yang praktis, menonjolkan garis wajah muda yang bersih yang penuh ketenangan.
Pelayan yang membuka pintu membungkuk hormat.
“Selamat datang kembali, Nona Muda Serena.”
Serena tersenyum hangat, senyum yang jarang terlihat di kalangan Montgomery.
“Selamat malam, Bibi,” ujarnya lembut, nadanya tulus dan tidak dibuat-buat.
Senyuman itu membuat mansion ini seketika terasa damai. Sang pelayan menahan haru, sejak kecil Serena memang berbeda; begitu lembut, tidak pernah meninggikan suara, dan selalu memberi penghargaan pada siapa pun di sekitarnya meski dari kalangan bawah.
Ariana yang tengah memeriksa daftar vendor untuk pernikahan Ethan di ruang tengah mengangkat wajah. Suara itu membuatnya menoleh spontan, insting seorang ibu.
“Serena…” bisiknya.
Tanpa mempedulikan berkas-berkas yang ia pegang, ia berlari hingga suara langkah kakinya menghentak kuat di atas lantai marmer. Saat ia melihat tubuh putrinya berdiri di ambang foyer, Ariana langsung merengkuhnya dalam pelukan erat.
“Serena… putriku.” Ada getaran kerinduan yang begitu dalam di sana
“Mama…” Serena membalas pelukan itu, selalu lembut seperti biasanya.
Ariana memeluk lebih erat lagi, seolah ingin memastikan putrinya nyata.
“Mama sangat merindukanmu,” katanya bergetar halus. Ia melepaskan pelukannya, menatap wajah Serena dalam, jari-jarinya perlahan membelai pipinya dengan lembut.
Kulit Serena kini lebih gelap karena terbakar matahari. Terdapat beberapa ruam dan jerawat halus di pipinya, bukti medan yang keras yang ia lalui selama satu tahun ini. Ariana nyaris kehilangan kata-kata.
“Kau baik-baik saja?” bisiknya, mengusap kulit tangannya yang tidak lagi sehalus dulu.
Serena tersenyum hangat, menenangkan badai dalam hati ibunya.
“Aku sangat baik, Mama.” Ia menggenggam tangan Ariana di pipinya, menahannya dengan lembut. “Jangan melihatku seperti itu. Tidakkah Mama melihat kebahagiaan di mataku?”
Ariana menahan napas. Ya, mata itu bercahaya dan penuh kehidupan.
“Ya,” ucapnya perlahan. “Mama melihatnya. Mama hanya terlalu merindukanmu. Kau pergi terlalu lama, Serena.”
Serena menggeleng lembut, menenangkan ibunya seperti seorang perawat menenangkan pasien.
“Keadaan di sana masih jauh dari layak, Mama. Mereka kekurangan banyak hal, bagaimana aku bisa meninggalkan mereka begitu saja?”
Ada ketegasan lembut di matanya. Keyakinan, prinsip, juga belas kasih yang dibalut keteguhan.
Ariana memandang putrinya dengan hati yang terasa penuh. Selama ini, rumah besar itu selalu terasa kurang satu napas setiap kali Serena pergi, cahaya terang yang biasa menenangkan Mansion Montgomery ikut menghilang bersamanya.
Sejak lulus sekolah menengah, Serena tidak pernah menjadi gadis yang dibentuk untuk pesta, gelar bangsawan, atau kekayaan keluarga Montgomery. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu melampaui batas kemegahan dan aturan aristokrat. Keinginannya sederhana; melayani.
Saat sebagian orang mengejar ambisi, Serena memilih jalan yang berbeda, jalan yang ditinggalkan banyak orang karena terlalu berat dan beresiko. Ia mendalami dunia pelayanan sambil melanjutkan pendidikan kedokterannya di Papua. Keputusan yang membuat Ariana dan Sean terjebak dalam konflik batin terbesar sebagai orangtua, yaitu melepaskan putri yang paling lembut ke tempat yang paling keras.
Namun Serena tidak menyerah karena satu penolakan. Ia menemui Florence, wanita tertua dalam garis Montgomery, penjaga tradisi, pemegang standar yang tak pernah lunak. Keluarga besar mengira Florence akan menolak mentah-mentah. Namun ketika Serena berbicara padanya tentang anak-anak yang sakit, ibu-ibu yang kehilangan harapan, dan dunia di luar sana yang tidak memiliki cukup tangan untuk menolong jiwa, wanita tua itu hanya memandang lama.
Lalu Florence berkata,
"Kalau begitu pergilah… Seperti nama yang terlah kuberikan padamu, Serena Charlotte Montgomery. Bawalah damai itu ke tempat yang paling membutuhkannya. Bebaslah, seperti arti namamu."
Itu hari paling berat, Ariana menangis sepanjang hari karena restu dari Florence berarti hanya satu: kepergian Serena tidak akan bisa dicegah.
Satu tahun terakhir, medan yang lebih kejam memanggil Serena. Universitas tempat ia menempuh pendidikan mengutusnya dalam program bantuan kemanusiaan ke wilayah konflik di Afrika bagian Utara, di mana perang saudara, kelaparan, dan wabah penyakit berjalan beriringan.
Setiap pagi ia bekerja dengan bau obat, darah, dan debu mesiu. Setiap malam ia menutup mata dengan doa, berharap suara tembakan berhenti walau sejenak saja. Ia mengobati luka yang tidak selalu bisa disembuhkan. Ia menggendong anak-anak yang terlalu ringan untuk disebut manusia. Ia merawat ibu-ibu yang kehilangan rumahnya, suaminya, bahkan masa depannya.
Serena kembali dengan tubuh lebih kurus, kulit lebih gelap, rambut tidak terawat seperti dulu saat ia tinggal dalam kemewahan. Tetapi mata itu tetap jernih bahkan lebih hidup. Karena dalam dirinya, apa yang ia lakukan adalah pelayanan bukan pengorbanan.
Serena pulang ke Tanah Air karena mendengar kabar bahwa kakaknya, Ethan Solomon Montgomery, pewaris generasi ini akan menikah. Dan bagi Serena, keluarga selalu menjadi hal yang tidak perlu ditawar. Ia pergi meski Sebagian hatinya masih tinggal di sana bersama orang-orang terlantar.
Serena menoleh ke sekeliling. “Di mana semua orang, Mama?” tanyanya lembut.
Ariana mengusap lengan putrinya penuh kasih sayang. “Grandma sedang beristirahat di kamar. Kakakmu belum pulang dari kantor, dan Papamu ada di ruang kerjanya.”
Serena menghela napas, “Kakak akan menikah dalam dua hari, namun pekerjaannya tetap jadi prioritas utama. Menyedihkan sekali kehidupan Kak Celine nanti jika menikah dengan pria sedingin itu.” Ia menggeleng pelan, “Kak Ethan tidak pernah berubah.”
Ariana tertawa kecil. “Dia beruntung memiliki Celine yang begitu setia mencintainya sejak kecil. Gadis itu mengetahui semua hal tentang kakakmu yang bahkan Mama tidak tahu.”
Serena mengangguk pelan, senyum hangat muncul di bibirnya.
“Ya, Mama. Aku senang Kak Ethan memilih Kak Celine. Dulu aku sempat mengira Kakak tidak menyukainya tapi ternyata aku yang keliru. Malah tak lama lagi Kakak akan menikahinya.”
“Celine akan menjadi istri yang baik untuknya.” jawab Ariana yakin. Ia mengelus tangan Serena. “Pergilah menemui Papamu. Dia pasti terkejut melihat putri kesayangannya sudah kembali.”
Serena mengangguk kecil, ia juga sangat merindukan Papanya.
Ariana meraih tas ransel Serena. “Sini Mama rapikan di kamarmu.”
Serena buru-buru menahan dengan sopan. “Tidak perlu, Mama. Aku bisa sendiri…”
Ariana memelotot kesal dengan kemandirian putrinya yang sering melewati batas.
“Serena,” ujarnya lembut namun tegas. “Biarkan Mama.”
Serena akhirnya menyerah, melepaskan tasnya.
“Baiklah…”
Ariana tersenyum bangga. “Sekarang pergilah,” katanya. “Papamu menunggumu tanpa tahu bahwa reuni kecil ini akhirnya terjadi.”
Serena mengangguk, “Aku akan menyusul Mama ke kamar setelah menemui Papa.” Katanya lalu melangkah naik ke tangga besar Mansion Montgomery.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk