NovelToon NovelToon
DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Robot AI / Anak Yang Berpenyakit / Kultivasi Modern
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: REUNI BERDARAH & EKSEKUSI MATI

Baskara berdiri di tengah lautan mayat yang mengering.

Lima puluh bandit. Lima puluh nyawa. Semuanya kini tak lebih dari sekam kosong—kulit keriput yang membalut tulang, wajah terdistorsi dalam jeritan abadi.

Energi mereka telah menjadi miliknya. Bukan untuk meningkatkan kultivasi—wadahnya sudah terlalu penuh di Bintang 8—tapi untuk memulihkan stamina hingga titik puncak.

Ia membungkuk, melucuti jubah hitam dari mayat sang pemimpin bandit. Jubah itu berbahan sutra tebal berkualitas tinggi, jelas hasil rampokan dari pedagang kaya.

Sret.

Baskara mengenakannya. Mengencangkan ikat pinggang kulit. Menarik tudung kepala hingga menutupi separuh wajahnya.

Sempurna.

Ia menatap tangannya sendiri yang terbalut kain hitam. Lalu meraba dadanya.

Di balik jubah itu, tubuh kurus kering yang dulu menjadi bahan tertawaan telah lenyap. Digantikan oleh otot-otot padat laksana kawat baja, dipahat oleh siksaan jurang dan energi naga.

"Aku terlahir kembali," gumamnya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.

[Tuan, mayat-mayat ini akan menarik perhatian. Kondisi 'kering' seperti ini adalah ciri khas teknik aliran sesat. Sekte Ortodoks atau Aliansi Pemburu akan menyelidikinya jika dibiarkan.]

"Kalau begitu..."

Baskara mengangkat tangan kanannya.

Prana merah-hitam bergejolak, memadat menjadi bola api seukuran kepala manusia. Namun ini bukan api biasa. Ada aura naga yang tercampur di dalamnya—panas, buas, dan lapar.

"Kita hapus jejaknya."

Ia menjentikkan jarinya. Bola api itu melayang jatuh ke tengah tumpukan mayat.

WHOOOOSH!

Bukan terbakar perlahan, api itu melahap.

Dalam hitungan detik, api merah menjilat tinggi ke langit malam, mengubah daging kering dan tulang menjadi abu. Bau daging terbakar memenuhi udara, bercampur dengan aroma hutan malam.

Baskara berdiri diam, menatap lidah api yang menari di pupil matanya. Wajahnya yang separuh tertutup bayangan tudung terlihat dingin. Datar. Tanpa rasa bersalah.

"Saatnya pergi," bisiknya.

Ia berbalik, melangkah menjauh dari api penyucian itu. Di pinggangnya kini tergantung kantong kulit berat berisi koin emas dan Batu Roh hasil jarahan.

Namun, baru lima langkah ia berjalan...

Instingnya berteriak.

AURA.

Dua titik kehidupan bergerak mendekat dari arah selatan.

Satu aura terasa lemah, pengecut, dan menjijikkan. Sangat familiar.

Satu lagi... aura tajam, dingin, dan penuh darah. Aura seorang pembunuh bayaran.

Baskara berhenti. Senyum di wajahnya melebar hingga menampakkan gigi-giginya yang putih. Di bawah cahaya bulan dan api, senyum itu terlihat seperti seringai serigala yang menemukan domba tersesat.

"Jarwo," desisnya pelan. "Dan... Aditya."

Takdir memang punya selera humor yang kejam. Orang-orang yang paling ingin ia bunuh, justru mengantarkan nyawa mereka tepat ke hadapannya.

"Malam ini..." Baskara meremas gagang pedang rampasan di tangannya. "...akan jadi pesta yang sangat menyenangkan."

Aditya berhenti mendadak.

Jarwo yang berjalan tertatih di belakangnya hampir menabrak punggung kekar sang mercenary. Kotak kayu berat di punggung Jarwo bergeser, membuatnya mengaduh pelan.

"Ada apa?" tanya Jarwo dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi wajah gemuknya. "Kenapa berhenti lagi? Kita harus cepat—"

"Diam."

Satu kata. Datar. Tapi mengandung tekanan yang membuat mulut Jarwo terkatup rapat.

Aditya menatap ke depan. Matanya menyipit tajam.

Di kejauhan, di sela-sela pepohonan rapat, ia melihat cahaya oranye berkedip-kedip. Asap hitam membumbung menutupi bintang.

"Kebakaran hutan?" bisik Jarwo.

Aditya menggeleng pelan. Hidungnya yang terlatih mencium aroma yang terbawa angin.

Bukan hanya kayu terbakar.

Tapi bau zat besi. Bau tembaga.

Darah.

"Bandit Darah Malam..." gumam Aditya, tangannya perlahan turun ke sabuk pinggangnya. "Mereka seharusnya menunggu kita di titik ini untuk estafet pengawalan."

Jarwo membelalak. "Kau pikir mereka... diserang?"

Aditya tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan kewaspadaan penuh. Prana tipis mulai menyelimuti tubuhnya. Setiap indranya terbuka lebar—mendengar gesekan daun, merasakan perubahan suhu.

Hutan itu terlalu sunyi.

Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada burung malam.

Kesunyian yang hanya terjadi jika ada predator puncak di sekitar.

"Kita memutar," putus Aditya tiba-tiba. "Jalur ini bau kematian."

"Apa?!" Jarwo panik. "Tapi ini jalan tercepat! Kalau kita memutar, kita akan terlambat dua hari! Tuan Patriark akan membunuhku!"

"Lebih baik terlambat daripada ma—"

SYUUT!

Suara angin terbelah.

Sebuah pedang melesat dari kegelapan hutan dengan kecepatan mengerikan—lebih cepat dari panah!

JLEB!

"AAAAAHHH!"

Jarwo menjerit histeris. Pedang itu menancap tepat di punggung kakinya, menembus daging, tulang, sepatu, dan tertanam kuat ke tanah!

Ia jatuh tersungkur. Kotak kayu berharga di punggungnya terlempar.

"KAKIKU! KAKIKU!"

Hampir bersamaan, pedang kedua melesat ke arah leher Aditya!

Tapi Aditya adalah veteran.

Tangannya bergerak blur.

CLANG!

Benang baja tipis melesat dari lengan bajunya, menangkis pedang itu di udara hingga terpelanting.

Aditya melompat mundur, memasang kuda-kuda. Sepuluh jarinya kini terhubung dengan benang-benang baja yang berkilau samar, membentuk jaring pertahanan mematikan.

"KELUAR!" bentaknya ke arah kegelapan. "TUNJUKKAN DIRIMU, PENGECUT!"

“Ha... ha... ha..”.

Tawa rendah bergema. Bukan tawa gila, tapi tawa santai yang meremehkan.

Dari bayang-bayang pohon besar, sesosok tubuh berjubah hitam melangkah keluar. Langkahnya tenang, seolah sedang berjalan-jalan di taman bunga, bukan di medan pembantaian.

Cahaya api di kejauhan menyinari separuh wajahnya saat ia menurunkan tudung kepalanya.

Jarwo, yang masih berguling kesakitan, mendongak. Matanya melotot hingga hampir keluar dari rongganya.

"Ba... Bas... Baskara?!"

Suaranya tercekat. Otaknya menolak percaya.

Menantu sampah itu? Yang dilempar ke Jurang Larangan? Yang seharusnya sudah jadi kotoran monster?

Baskara menatap mereka berdua. Mata hitamnya menyala dengan kilatan merah samar.

"Lama tidak jumpa, Jarwo," sapanya ramah—terlalu ramah. "Dan kau... Aditya. Si Anjing Penjaga."

Aditya menatap tajam. Ingatannya berputar kembali ke satu tahun lalu. Pria lemah yang menangis di lumpur saat diseret pulang.

Tapi pria di depannya ini...

Posturnya tegap. Ototnya padat. Dan aura yang menguar darinya...

Itu bukan aura manusia. Itu aura binatang buas.

"Bagaimana kau—" Jarwo gemetar hebat. "Kau seharusnya mati! JURANG LARANGAN! TIDAK ADA YANG SELAMAT DARI SANA!"

Baskara tertawa kecil.

"Neraka tidak sudi menelanku, Jarwo. Mereka memuntahkanku kembali... khusus untuk menjemputmu."

Jarwo merangkak mundur, wajahnya pucat pasi. "Aditya! ADITYA! BUNUH DIA! DIA CUMA SAMPAH! DIA CUMA TINGKAT RENDAH BINTANG 1! BUNUH DIA SEKARANG!"

Aditya tidak sebodoh Jarwo. Ia bisa merasakan bahaya.

"Apa yang kau lakukan pada Bandit Darah Malam?" tanyanya dingin.

Baskara menunjuk ke arah api unggun raksasa di belakangnya dengan dagu.

"Sedang dihangatkan. Kalian mau bergabung?"

Darah Aditya berdesir. Lima puluh bandit... habis? Oleh satu orang?

"Jarwo," perintah Aditya tanpa menoleh. "Ambil kotak itu. Lari."

"T-tapi kakiku—"

"LARI ATAU KUBUNUH KAU SENDIRI!"

Jarwo melolong, mencabut pedang di kakinya dengan paksa—darah menyembur—lalu merangkak mengambil kotak kayu dan berlari terpincang-pincang menjauh.

Baskara hanya diam. Membiarkan tikus itu lari.

Karena permainan kucing dan tikus baru seru kalau tikusnya diberi harapan.

"Kau terlalu percaya diri, Bocah," Aditya mendengus. Prana merah mulai mengaliri benang-benangnya. "Kau pikir karena selamat dari jurang dan belajar sedikit trik, kau bisa mengalahkanku? Aku Mercenary Pengumpul Prana Bintang 7 Puncak!"

"Benang Pembunuh Merah," Baskara menyebut nama teknik itu. "Aku ingat rasanya saat benang itu menyayat kulitku setahun lalu. Sakit sekali."

Ia melangkah maju. Tangan kosong. Dada terbuka.

"Malam ini... aku ingin tahu. Apakah benangmu masih cukup tajam untuk melukaiku?"

"MATI KAU!"

Aditya tidak menahan diri. Sepuluh jarinya menari.

SYUUT! SYUUT! SYUUT!

Puluhan benang baja melesat dari segala arah—atas, bawah, samping—membentuk jaring kematian yang tak bisa dihindari. Pohon-pohon di sekitar Baskara terpotong-potong menjadi serbuk gergaji hanya karena tergores benang itu.

Tapi Baskara... tersenyum.

CLASH!

Benang pertama menghantam leher Baskara.

Tapi tidak ada kepala yang menggelinding.

Hanya bunyi DANG! seperti logam beradu logam.

Prana hitam-merah melapisi kulit Baskara, membentuk armor tak kasat mata.

Mata Aditya membelalak. "Kulit Besi?!"

Baskara melompat.

Bukan menghindar. Ia menerjang lurus menembus jaring benang!

Benang-benang itu menyayat jubahnya, menggores kulitnya—darah menetes—tapi Baskara tidak peduli. Ia seperti badak yang menerobos semak duri.

"GILA!" Aditya panik. Ia menarik kedua tangannya, memusatkan semua benang menjadi satu serangan terpusat. "PEMENGGAL KEPALA!"

Ratusan benang menyatu, membentuk gergaji raksasa yang melesat ke arah leher Baskara.

Baskara mengangkat tangan kanannya.

Dan MENANGKAP gergaji benang itu dengan tangan telanjang!

SRET!

Darah muncrat.

Benang-benang tajam itu mengiris telapak tangan Baskara, memotong daging, menembus tulang, hingga...

Putus.

Empat jari tangan kanan Baskara terpotong jatuh ke tanah.

Darah segar membasahi rumput.

Aditya tertawa histeris. "HAHAHA! BODOH! KAU PIKIR TANGANMU TERBUAT DARI APA?! SEKARANG KAU CACAT!"

Jarwo yang mengintip dari kejauhan ikut berteriak girang. "MAMPUS KAU! POTONG LEHERNYA, ADITYA!"

Tapi tawa mereka terhenti.

Karena Baskara... tidak berteriak.

Ia malah mengangkat potongan tangannya ke depan wajah Aditya.

"Lihat baik-baik," bisik Baskara.

Dan di depan mata Aditya yang terbelalak ngeri...

Daging bergerak.

Urat-urat merah menjulur keluar dari luka buntung itu seperti cacing, saling membelit, menarik tulang baru untuk tumbuh.

Darah berhenti menetes. Kulit menutup.

Dalam lima detik.

Tangan itu tumbuh kembali.

Utuh. Sempurna. Tanpa cacat.

[BATTLE REGENERATION: ACTIVE]

"A-Apa..." Aditya mundur selangkah. Kakinya lemas. "Kau... kau bukan manusia..."

Baskara meremas tangan barunya. Bunyi krek dari buku-buku jari terdengar nyaring di hutan sunyi.

"Benar," jawab Baskara dingin. "Aku adalah mimpi burukmu."

[SILENT FLASH]!

Blur.

Baskara menghilang.

Sebelum Aditya sempat berkedip, Baskara sudah ada di depan wajahnya.

Tangan kanan Baskara—yang baru tumbuh—meluncur lurus.

Dua jari teracung.

STAB!

Menusuk langsung ke kedua bola mata Aditya.

"AAAAAARRRGHHH!!!"

Jeritan Aditya memecahkan gendang telinga.

Dunia menjadi gelap baginya. Selamanya.

Aditya jatuh berlutut, menutupi wajahnya yang hancur. Benang-benangnya jatuh tak berdaya ke tanah.

Baskara dengan tenang memungut benang-benang itu.

"Kau suka mengikat orang, kan?"

Dengan gerakan cepat, Baskara melilit tubuh Aditya dengan benangnya sendiri. Mengikatnya dalam posisi sujud yang menyakitkan. Semakin Aditya bergerak, semakin benang itu mengiris dagingnya sendiri.

"Nikmati waktumu," bisik Baskara di telinga Aditya yang masih menjerit. "Aku ada urusan dengan teman lamaku."

Ia berdiri, menatap ke arah Jarwo yang sudah lari terbirit-birit.

Senyum Baskara melebar.

"Lari, tikus kecil. Lari."

Jarwo berlari sekuat tenaga. Kakinya yang berlubang meninggalkan jejak darah panjang. Paru-parunya terasa mau meledak.

'Harus lapor... harus lapor Patriark... Monster... Baskara jadi monster...'

Hutan di depannya gelap gulita.

Tiba-tiba, sesuatu melilit kakinya yang tersisa.

Dingin. Tajam.

Benang baja.

"TIDAK—"

SRET!

Hanya satu tarikan.

Kedua kaki Jarwo terpotong di bagian lutut. Bersih.

"GYAAAAAAHHHHHH!!!"

Tubuhnya jatuh berguling. Darah menyembur deras dari potongan kakinya. Ia mencoba merangkak dengan tangan, menyeret tubuh buntungnya di tanah, menangis, meraung.

Tap. Tap. Tap.

Langkah kaki mendekat.

Baskara berdiri di hadapannya. Memainkan benang baja yang berlumuran darah di tangannya.

"Sakit, Jarwo?" tanyanya lembut.

Jarwo berbalik, wajahnya penuh ingus dan air mata. Ia menyembah-nyembah.

"AMPUN! BASKARA! TUAN MUDA! AMPUN! SAYA CUMA DISURUH! SAYA PUNYA ANAK ISTRI! SAYA—"

"Ssttt." Baskara menempelkan jari di bibir. "Kau berisik."

Dengan satu sentakan benang, Baskara menyeret tubuh Jarwo dan mengikatnya ke batang pohon besar dalam posisi berdiri—meski kakinya sudah tidak ada.

Baskara mengambil kotak kayu yang dijatuhkan Jarwo. Membukanya.

Di dalamnya, tersimpan kotak kecil berlapis emas.

Pil Inti Emas.

Harta karun yang bisa membuat satu kota saling bunuh.

"Hadiah untuk Adipati?" Baskara tertawa. "Sayang sekali. Sekarang ini milikku."

Ia menyimpan kotak itu ke dalam jubahnya.

Lalu ia memungut tiga bilah pedang milik bandit yang berserakan.

Ia berjalan mendekati Jarwo. Tatapannya kosong.

"Tiga tahun, Jarwo," bisiknya. "Kau membuat hidupku seperti neraka."

Baskara mengangkat pedang pertama.

"Pedang pertama..."

JLEB!

Ia menusukkannya ke bahu kiri Jarwo, memaku tubuhnya ke pohon.

"Untuk Kang Joko. Orang tua yang kau fitnah hingga dihukum mati."

"ARGHHH! AMPUN!"

Baskara mengangkat pedang kedua.

"Pedang kedua..."

JLEB!

Menusuk paha kanan Jarwo.

"Untuk Larasati. Untuk setiap air mata yang jatuh karena mulut kotormu."

"BUNUH AKU SAJA! KUMOHON BUNUH AKU!"

Baskara mengangkat pedang ketiga. Menatap tepat di mata Jarwo.

"Dan pedang ketiga..."

Ia menusukkannya pelan-pelan ke perut Jarwo. Tidak fatal. Tapi sangat, sangat sakit.

"...untukku."

Baskara mundur selangkah. Menikmati karya seninya.

Jarwo tergantung di pohon, berdarah, buntung, dan tertusuk tiga pedang. Masih hidup. Masih sadar.

"Aku ingin bermain lebih lama," kata Baskara. "Tapi aku tidak ada waktu."

Ia menarik napas dalam-dalam.

Prana di tenggorokannya bergetar.

[SKILL: BEAST CALL (AUMAN RAJA)]

ROOOAAARRRR!!!

Auman itu bukan suara manusia. Itu suara predator alpha.

Suara yang memanggil bawahan untuk pesta makan.

Hutan bergetar.

Sesaat kemudian...

Sepasang mata merah muncul di kegelapan semak-semak.

Lalu dua pasang. Lima pasang. Sepuluh pasang.

Serigala hutan. Babi hutan bertaring. Harimau.

Monster-monster hutan berdatangan, terpanggil oleh aura Baskara. Mereka menunduk hormat pada Raja baru mereka.

Lalu menatap lapar pada daging segar yang tergantung di pohon.

Wajah Jarwo memutih total.

"TI-TIDAK! JANGAN! BASKARA! KITA KELUARGA! BASKARA!!!"

Baskara melompat naik ke dahan pohon tinggi. Duduk santai sambil mengayunkan kaki.

Ia menatap ke bawah. Memberi isyarat tangan kecil pada hewan-hewan itu.

"Makanlah."

Monster-monster itu menerjang.

Jeritan Jarwo malam itu... berlangsung sangat lama.

Sangat, sangat lama.

Dan di atas pohon, di bawah sinar bulan, Baskara mendengarkannya seperti mendengarkan melodi yang indah.

Sementara itu, jauh dari tempat pembantain berdarah, di tempat yang nyaman dan mewah.

Kediaman Keluarga Cakrawala.

Kamar Utama.

Patriark Dharma terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi piama sutranya.

Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan. Rasa gelisah yang luar biasa mencengkeram dadanya.

"Ada apa, Suamiku?" Nyonya Ratih terbangun, menatapnya cemas.

"Aku... aku tidak tahu," gumam Dharma, memegang dadanya. "Perasaanku tidak enak. Sangat tidak enak."

Ia berjalan ke jendela, menatap ke arah hutan utara yang gelap.

Ke arah di mana Jarwo dan Aditya seharusnya berada.

"Kenapa aku merasa... seperti ada bencana yang sedang berjalan menuju rumah kita?"

Angin malam berhembus masuk. Dingin. Membawa bau samar yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Bau darah.

Di jalan setapak menuju Kota Batu Karang.

Sosok berjubah hitam berjalan tegap.

Langkah kakinya mantap.

Di dalam jubahnya, ada harta yang tak ternilai.

Di dalam hatinya, ada api yang tak terpadamkan.

Kota Batu Karang terlihat di kejauhan. Lampu-lampunya berkelap-kelip.

Rumah.

Tempat di mana orang-orang yang menghinanya tidur nyenyak.

Baskara tersenyum.

"Tidur yang nyenyak malam ini," bisiknya pada angin.

"Karena besok... aku pulang."

[QUEST SELESAI: KELUAR DARI JURANG LARANGAN]

[QUEST BARU DIMULAI: RUNTUHKAN LANGIT KELUARGA CAKRAWALA]

[BERSAMBUNG KE BAB 14]

1
Meliana Azalia
Hahahaha 🤣
Ronny
Alamak ngerinyoo, lanjut thor🔥
Heavenly Demon
anjayy manteb manteb keren ni Baskara
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Ren
mantab saya suke saya suke /Drool/
Ren
kedelai tidak jatuh di lubang yang sama dua kali👍
Ren
nasib orang lemah dimana mana selalu diremehin 😭
apang
toorrrrr si wibawa harus dimatiin ya
Ronny
Nekat si mc nekat banget
Heavenly Demon
suka banget pembalasan dendamnya, mntabss
Heavenly Demon
pembalasan dendam yang satisfying
Heavenly Demon
mantab dari cupu jadi suhu
Abdul Aziz
anjay seru banget figtnya ga cuma ngandelin otot tapi otak juga, brutal parah 😭 jangan sampe berhenti di tengah jalan thor, harus sampe tamat ya!!!
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe
Abdul Aziz
gila gila bener bener brutal! mantab👍
Abdul Aziz
hoho balas dendam pertama
Abdul Aziz
lanjut lanjut thor gila fightnya brutal banget keren👍👍👍
Abdul Aziz
anjai modyar kan lo hampir aja
Abdul Aziz
kena batunya lo bas, keras kepala si lo
Abdul Aziz
huahahaa🤣 otaknya uda sengklek
Abdul Aziz
blak blakan banget ini mesin 🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!