Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Satu minggu telah berlalu sejak Senja menjadi istri Damar. Rumah kecil itu kini terasa seperti pelabuhan. Ia tidak lagi bangun dengan rasa takut, melainkan dengan aroma roti panggang dan kopi.
Pagi itu, Senja sedang membereskan meja setelah sarapan. Ia sudah mulai terbiasa membantu Damar, tidak karena paksaan, tetapi karena keinginan tulus.
"Telur dadarmu pagi ini sempurna, Senja," puji Damar sambil merapikan dasinya, siap berangkat kerja. "Sudah ada kemajuan besar dari seminggu yang lalu."
Senja tersenyum kecil. "Minggu lalu aku hampir membakar dapur karena tegang."
"Itu hanya masa adaptasi," kata Damar, memegang pipi Senja sebentar. "Ingat, di sini tidak ada tuntutan kesempurnaan."
"Aku tahu. Aku hanya merasa, setidaknya aku harus berguna. Bukan beban."
"Kau bukan beban, kau adalah teman hidupku," tegas Damar. "Nah, aku berangkat. Hari ini aku ingin kau mulai mencari informasi tentang pendaftaran kursus atau pekerjaan. Cari yang kau suka. Uang bukan masalah, tapi Ibu ingin kau punya kegiatan."
"Baik, aku akan lihat-lihat pendaftaran kuliah lagi."
Tepat pukul sepuluh pagi, saat Senja sedang asyik membuka website pendaftaran kuliah, ponsel rumah berdering. Senja ragu. Sejak menikah, Damar berpesan agar ia tidak menjawab telepon dari nomor tak dikenal. Namun, panggilan itu terus berdering.
Akhirnya, ia mengangkat.
"Halo?"
"Senja. Akhirnya kau mengangkat teleponku." Suara itu dingin, tajam, dan langsung menusuk. Jantung Senja mencelos. Itu adalah suara Paramita sang ibu.
Napas Senja tercekat. "Ibu..."
"Jangan berani-berani memanggilku Ibu setelah kau mempermalukanku di depan keluarga rendahan itu," hardik Paramita. "Kau pikir kau bisa lari? Kau salah besar, Senja. Kau pikir suamimu yang miskin itu bisa membelikanmu kebebasan? Baskara ayahmu yang bebal itu meninggalkan utang! Kau pikir kau bisa lolos tanpa membereskan utangnya dulu?!"
Senja berdiri, tangannya mencengkeram ponsel hingga buku-buku jarinya memutih. "Utang apa?"
"Utang yang kau sebabkan! Kau adalah sumber malapetaka! Sekarang, kembalikan uang yang sudah kugunakan untuk membesarkanmu, atau suruh suamimu yang sok pahlawan itu meneleponku. Katakan padanya: Jika ia tidak bisa melunasi utang Baskara yang seharusnya jadi tanggung jawabmu, kau harus kembali ke sini, atau aku akan pastikan hidupnya hancur!"
Sumpah serapah Paramita, meskipun kini melalui telepon, sama mengerikannya. Senja merasa ketakutan lama kembali. Keringat dingin membanjiri pelipisnya. Ia tidak mampu berbicara.
Damar, yang kebetulan pulang sebentar untuk mengambil dokumen yang tertinggal, mendengar suara Senja yang panik. Ia segera mendekat dan meraih telepon dari tangan Senja.
"Siapa ini?" tanya Damar tegas.
"Siapa kau? Ini urusan keluarga kami!" bentak Paramita dari ujung telepon.
"Saya Damar Saputra, suami Senja. Dan sekarang, urusan Senja adalah urusan saya."
"Oh, Tuan Pahlawan. Kau tahu, istrimu itu adalah sumber utang? Baskara meninggalkan utang besar yang harus dilunasi putrinya. Kau harus membayarnya!" tuntut Paramita.
Damar menarik napas dalam-dalam, suaranya tetap tenang dan realistis, tidak terpancing emosi. "Nyonya Paramita. Utang mendiang Baskara Hadi tidak ada hubungannya dengan istri saya, secara hukum. Jika ada surat resmi dari bank atau kreditur, silakan kirimkan ke pengacara saya. Bukan ke saya. Dan satu lagi: Mulai hari ini, jangan pernah hubungi Senja lagi. Nomor ini akan saya blokir. Jika Anda punya keluhan, silakan hubungi pengacara saya. Ganggu istri saya sekali lagi, dan saya akan memastikan Anda yang berurusan dengan hukum."
Damar memutus telepon itu dengan bunyi klik yang keras. Ia kemudian mematikan fitur panggilan masuk dari nomor yang tidak ada di kontak.
senja berdiri mematung. Air matanya mengalir deras, namun ada rasa lega yang luar biasa. Ia tidak pernah melihat seseorang berbicara balik pada Paramita dengan ketenangan seperti itu.
"Damar..."
Damar memeluknya erat. "Tidak apa-apa. Itu hanya ancaman kosong untuk membuatmu takut. Ayahmu tidak meninggalkan utang yang tidak bisa ia urus. Itu hanya cara Ibumu mendapatkan kendali kembali."
"Aku takut..."
"Aku tahu," bisik Damar. "Tapi lihat, kau tidak sendiri lagi. Telepon itu sudah ku blokir. Dia tidak bisa lagi menjangkaumu. Sekarang, mari kita lihat apa yang kita pelajari hari ini: Ibumu hanya bisa menyakiti saat kau pasif."
Damar memegang bahu Senja. "Kita harus bergerak. Aku ingin kau fokus pada kemandirianmu. Mulai besok, kita akan serius mencari tempat kursus dan pekerjaan. Itu akan menjadi perlindungan mental terkuatmu, Senja. Janji padaku, kau akan fokus pada masa depanmu."
Senja menyeka air matanya, menatap Damar. "Aku janji. Aku akan melakukannya. Aku tidak mau lagi menjadi pengecut."
Damar mencium kening Senja. Ia mengambil dokumen yang dicari, lalu menoleh di ambang pintu. "Aku akan segera pulang. Kita akan mencari lowongan pekerjaan bersama."
Senja kembali ke laptopnya, tetapi kini dengan tekad baru yang didorong oleh ancaman Paramita dan perlindungan dari Damar.