Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Aiden mengatur sebuah "kencan" akhir pekan di klub golf eksklusif. Ini bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi sebuah pertunjukan yang telah diatur dengan cermat.
Pagi itu, sebuah Mercedes berwarna putih datang menjemput Helena di kediaman Nelson.
Helena membuka pintu mobil dan mendapati Aiden duduk di kursi pengemudi.
Wajahnya terlihat tenang dan tak terbaca, sebuah kontras tajam dengan tema kepergian mereka hari ini.
Aiden menatap cincin berlian yang kini melingkar di jari Helena. Cincin itu berkilauan, tak lebih dari rantai emas yang disamarkan.
Helena duduk, senyumnya melengkung tipis saat menyadari tatapan Aiden pada jari manisnya.
"Kau tahu, cincin ini sangat berat," bisiknya.
"Bukan karena berliannya, tapi karena apa yang diwakilinya."
Helena mengangkat tangannya, sengaja membiarkan cincin pertunangan itu menangkap kilau cahaya pagi.
"Cincin ini adalah simbol bahwa aku tunangan Aiden Aliston, tunanganmu, Kak," ucapnya menggoda, mengedipkan sebelah mata seolah sedang menantang.
Aiden memajukan sedikit dagunya, mengakui permainan itu. "Tentu."
"Itu artinya kau harus menjaga dan melindungiku," tambah Helena, nadanya kini lebih mendalam, setengah bercanda, setengah menuntut.
"Tentu," jawab Aiden lagi, senyum tipis merekah di wajahnya, dan dia segera melajukan mobil.
Senyum itu bukan karena dia terhibur, melainkan karena dia menghargai tuntutan tersirat itu.
Di tengah perjalanan, Helena memecah keheningan dengan analisis tulus.
"Paman Henhard sungguh mengagumkan, Kak," pujinya.
"Hal sepele seperti kehadiran kita di acara amal kemarin membawa dampak positif pada penguatan pasar Nelson dan Aliston."
Aiden tersenyum mengangguk. "Itulah alasan mengapa Aliston dapat dia miliki."
Helena terus berbicara, mengisi keheningan dengan detail-detail ringan, dari gosip di Helios hingga strategi manajemen di kebunnya.
Untuk pertama kalinya, Aiden menyadari bahwa kencan yang direkayasa ini terasa menyenangkan.
Dia tidak perlu berperang, dia hanya perlu mendengarkan seorang gadis yang memandang dunia dengan cara yang sama kompleksnya dengannya.
Mereka akhirnya tiba di lapangan golf, mengenakan pakaian serasi yang didesain khusus agar terlihat santai namun tetap elegan.
Aiden mengambil tongkat golfnya. Hanya dengan memegang tongkat, dia sudah terlihat sempurna, seperti lukisan yang dibuat dengan detail luar biasa.
Dia memukul bola, dan bola itu meluncur lurus, menghilang di cakrawala. Aiden menoleh ke arah Helena, senyumnya yang sempurna terpancar.
"Kau harus memukulnya dengan kuat," bisiknya.
"Tapi jangan sampai kehilangan kendali."
Helena mengangguk. Dia mengambil tongkatnya, dia memukul bola dengan anggun dan teliti. Bola itu meluncur lurus, tidak sejauh pukulan Aiden, tetapi cukup mengesankan.
Di antara pukulan, mereka berbicara. Namun, percakapan mereka bukan tentang golf, melainkan tentang permainan yang lebih besar.
"Mereka belum selesai," bisik Helena, matanya menatap kesal ke arah paparazzi yang bersembunyi di balik pohon.
"Berapa banyak foto yang sebenarnya ingin mereka ambil?"
"Kau akan tahu saat berita kencan kita rilis," jawab Aiden.
"Hubungan ini benar-benar menguntungkan, Helena."
Helena mengangguk setuju dengan senang.
Dia sudah mengikuti berita tentang Nelson Corporation dan melihat betapa mudahnya beberapa kerja sama besar berhasil didapatkan oleh ayahnya dalam waktu singkat.
Pertunjukan ini, meskipun melelahkan, memberikan keuntungan besar.
Beberapa jam kemudian, berita tentang kencan mereka meledak. Media sosial dibanjiri foto-foto mereka, mulai dari saat mereka tiba hingga saat mereka memukul bola.
Komentar-komentar membanjiri setiap platform, menunjukkan betapa besarnya dampak mereka.
"Perpaduan sempurna antara kecantikan dan kekayaan."
"Aiden Aliston wajah itu ya tuhan, Mereka benar-benar serasi. Ini seperti drama TV, tapi nyata!"
"Takdir mereka benar-benar sempurna, wajah yang rupawan, pendidikan, latar keluarga, Tuhan memang tidak adil."
"Aku sekarang lebih suka mencari berita tentang mereka dari pada selebriti."
Helena dan Aiden, yang duduk di ruangan masing-masing, melihat komentar-komentar itu.
Mereka tahu, di balik semua pujian dan romantisme itu.
Mereka adalah boneka yang menari di atas panggung yang luas, dan mereka harus terus menari jika ingin bertahan.
Karena seperti itulah dunia bekerja.
***
Akhir pekan berikutnya, tidak ada jadwal pertunjukan atau kencan. Namun, Helena memutuskan untuk pergi menemui Aiden di kediaman Aliston. Ada hal yang ingin dia tanyakan.
Sejak berinteraksi lebih sering dengan Aiden, Helena semakin terkagum dengan kecerdasan dan analisis tajam pewaris Aliston itu.
Hal itu membuatnya tanpa sadar menjadikan Aiden seorang mentor.
Helena meminjam sebuah buku dari ayahnya, tapi ada beberapa bagian yang tidak dia mengerti. Dia bisa saja bertanya pada sang ayah, namun Fedrick selalu menjelaskan secara teoritis.
Berbeda dengan Aiden, yang penjelasannya lebih dari teori, seolah membuka mata Helena lebar-lebar pada cara berpikir yang baru.
Di kediaman Aliston, suasananya terasa begitu sepi, hanya beberapa pelayan yang menyambutnya.
Berkat pertunangan itu, Helena bebas masuk sesukanya. Dia menghampiri salah satu pelayan yang sedang membersihkan vas bunga.
"Selamat siang, Nona Helena," sapa pelayan itu dengan hormat.
"Selamat siang," jawab Helena, tersenyum ramah.
"Aku mencari Kak Aiden atau Reyhan. Apa kau tahu di mana mereka?"
Pelayan itu meletakkan lapnya.
"Tuan Reyhan sedang les di ruang perpustakaan, Nona. Sedangkan Tuan Aiden ada di paviliun belakang."
Pelayan itu tampak ragu untuk melanjutkan, dia menundukkan kepalanya sedikit takut.
"Tapi... Tuan Aiden tidak suka diganggu saat berada di sana."
Helena mengerti. Dia bukan orang yang usil.
Helena memutuskan untuk menunggu di taman di luar paviliun, membaca buku sambil menunggu Aiden keluar.
"Terima kasih informasinya. Aku akan menunggu di taman saja, kalau begitu," katanya, suaranya lembut.
Pelayan itu mengangguk lega. "Nona bisa memesan apa saja. Kami akan mengantarnya."
Helena menggeleng. "Tidak perlu. Aku hanya ingin menikmati suasana di sini," jawabnya, kemudian berjalan menuju taman.
Saat Helena asyik membaca di taman yang indah, Aiden keluar dari paviliun.
Wajahnya tenang seperti biasa, namun tangannya penuh dengan darah.
Helena terkejut melihat pemandangan itu. Aiden, yang juga melihat Helena di sana, tampak terkejut.
Tetesan darah dari tangan Aiden terus bercucuran, membasahi kelopak bunga yang mekar indah di taman itu.
Helena, yang panik, segera mendekat. Dia melihat luka itu lebih jelas, seperti Aiden baru saja memukul sesuatu yang tajam hingga tangannya terluka.
"Kak, kau terluka," ungkap Helena, suaranya bergetar. Dia dengan hati-hati menarik lengan Aiden.
"Duduk di sini, tunggu aku."
Helena berlari masuk ke dalam, dan saat dia kembali, dia sudah membawa kotak P3K yang lengkap.
Helena duduk di samping Aiden, memberikan obat antiseptik dan membalut luka di tangan pria itu dengan hati-hati.
Helena tidak menghiraukan tatapan Aiden yang tak berkedip, atau butiran keringat yang membasahi wajahnya. Helena benar-benar fokus pada perawatan luka itu.
Setelah balutan selesai, barulah Helena melihat ke arah wajah Aiden.
"Kak, apa masih sakit? Sepertinya lukanya dalam."
"Lebih baik kita ke rumah sakit sekarang," Usulnya panik.
Aiden melihat kepanikan di mata gadis itu.
Tindakan Helena tidak dilandasi perhitungan, agenda atau niat terselubung. Aksinya saat ini adalah ketulusan murni dari hatinya.
Aiden tersenyum. Itu bukan senyum yang dibuat-buat, tapi senyum yang tulus.
"Tidak, ini sudah cukup. Terima kasih," ucapnya lembut.
"Sungguh? Kau tidak apa-apa?" tanya Helena, mencoba memastikan.
Aiden mengangguk. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan tunanganmu. Aku baik-baik saja."
"Baiklah," ucap Helena, mengangguk mengerti.
Dia tidak berusaha membujuk Aiden lagi. Menyadari akan percuma saja.
"Tapi jika terjadi sesuatu, kau harus langsung ke rumah sakit, Kak," pintanya, nada suaranya masih dipenuhi kekhawatiran.
Aiden mengangguk dengan senyum tulusnya namun mata itu menatapnya dengan intens.
Seperti mencari sesuatu, tapi Helena mengerti tatapan itu. Mencari kepura-puraan dalam tindakan tulusnya membuat Helena kesal.
Seolah kepeduliannya adalah niat lain.
"Lagi pula," jelas Helena, suaranya pelan, "aku masih punya hati nurani."
Aiden terdiam. Kata-kata itu, diucapkan dengan begitu sederhana, terasa seperti pukulan.
Di dunia mereka, di mana segalanya diukur dengan keuntungan, hati nurani adalah sebuah kemewahan, bahkan mungkin kelemahan.
Aiden memandang Helena, matanya menelisik wajah gadis itu, mencari kebohongan, mencari agenda tersembunyi.
Namun, dia tidak menemukan apa pun selain ketulusan.
Helena, yang menyadari tatapan Aiden melembut, hanya tersenyum tipis. Dia tahu, dia telah menemukan celah pada seseorang yang susah terjangkau seperti Aiden
Momen di paviliun mengubah Hubungan Aiden dan Helena, yang semula didasari oleh kepentingan, kini bergeser menjadi sesuatu yang lebih personal.
Kehadiran Helena telah meretakkan benteng perhitungan Aiden.
Dia menatap balutan luka di tangannya, menyadari bahwa ketulusan di dunia ini ternyata memiliki bentuk yang nyata.