Sepuluh tahun lalu, Sekar kenanga atmaja dan Alex Mahendra prakasa terlibat dalam sebuah perjodohan dingin tanpa cinta. Di usianya yang masih belia, Sekar hanya memusatkan pikirannya pada impian yang ingi diraihnya. Dengan segala cara dia ingin membatalkan perjodohan itu. Namun sebuah tradisi dalam keluarganya sulit sekali untuk dilanggar. Pendapatnya sama sekali tidak di dengar oleh keluarganya. Sampai pada hari pertunangannya dengan Alex tiba. Sekar dengan berani menolak putra dari keluarga Prakasa tersebut. Gadis 18 tahun itu pergi meninggalkan acara dan Alex dengan luka samar, karena ditolak dengan kasar di hadapan banyak orang.
Kini takdir kembali mempertemukan mereka dalam ikatan bisnis. Sekar yang kini menjadi model terkenal dan di kenal dengan nama 'Skye' akan menjadi wajah utama untuk ATEEA group. Sebuah perusahaan fashion ternama yang ternyata dipimpin oleh Alex Mahendra prakasa, sang mantan calon suaminya.
Akankah bisnis ini batal seperti perjodohan mereka? simak disini ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 #BATAS KESABARAN
Kantor ATEEA, Dua Hari Kemudian
Setelah konfrontasi sengit di ruangan Alex, Sekar kembali ke rutinitas kerjanya dengan emosi yang jauh lebih terbuka, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya. Alex telah berhasil menghancurkan dinding kepatuhan Sekar, dan kini wanita itu kembali ke mode agresif dan waspada.
Namun, Sekar menjadi semakin membatasi diri. Ia menghindari tatapan Alex, berbicara hanya dengan nada ketus, dan menjauh setiap kali Alex mencoba mendekat, seolah-olah Alex adalah racun yang harus dihindari. Rasa malu karena rahasia yayasannya diketahui Alex, bercampur dengan kemarahan atas pelanggaran privasi, membuatnya sulit bernapas di bawah atap ATEEA yang sama.
Alex, meskipun telah mencapai tujuannya, tidak merasa puas. Sekar memang kembali agresif, tetapi ia juga menghindar. Alex merasa frustrasi karena ia tidak bisa lagi memprovokasi Sekar.
Di tengah kekacauan emosionalnya, Sekar tiba-tiba menyadari hal yang sangat mengganggu: ia malah merasa rindu pada pria itu.
Rindu pada pertengkaran mereka, rindu pada ketegangan di antara mereka, bahkan rindu pada sentuhan kasual Alex saat pemotretan. Frustrasi atas perasaannya sendiri bercampur dengan tekanan deadline kerja.
Pada saat yang sama, berita mulai beredar di kalangan staf ATEEA. Mila, yang mendengar bisik-bisik dari Dandi (atau mungkin sengaja disebarkan Miranda), membawa kabar itu kepada Sekar.
"Nona Skye! Dengar ini, Tuan Alex dan Miranda... mereka akan segera mengumumkan pertunangan mereka. Mungkin setelah peluncuran ATEEA," lapor Mila, wajahnya penuh simpati.
Sekar mendengarnya, dan amarah yang mendalam langsung membakar dirinya.
Untuk apa aku diperlakukan seperti ini jika Alex sendiri bisa berhubungan dengan wanita lain dan bahkan bertunangan?
Sekar tidak bisa menahan diri lagi. Ia telah menahan cemburu, kemarahan, dan bahkan kerinduan. Ia telah membiarkan Alex memegang kendali penuh. Sekarang, dia telah mencapai batasnya.
Sekar bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menuju ruangan Alex, mengabaikan panggilan cemas dari Mila.
Sekar mendobrak pintu ruangan Alex. Pria itu sedang berbicara di telepon, tetapi segera mengakhiri panggilan saat melihat Sekar berdiri di ambang pintu, matanya dipenuhi api.
"Keluar! Aku sedang bekerja!" perintah Alex.
"Aku tidak peduli!" balas Sekar, berjalan mendekat. "Aku ingin tahu! Mengapa? Mengapa Anda melakukan ini?"
Alex bersandar di kursinya, memasang ekspresi tenang, meskipun di dalam hatinya ia merasakan kemenangan yang manis.
"Melakukan apa, Skye? Melindungi proyekku dari spekulasi konyol?" tanya Alex.
"Jangan berpura-pura! Aku mematuhi klausul non-dating bodoh Anda! Aku menjauhi Rino! Aku menghapus semua yang bisa mengundang skandal!" Sekar berbicara dengan suara tercekat karena emosi. "Tapi mengapa Anda sendiri boleh bertunangan dengan wanita lain? Mengapa Anda boleh membawa Miranda ke Gala dan membiarkan Ibu Anda mendesak pernikahan? Untuk apa saya diperlakukan seperti ini jika Anda sendiri bisa berhubungan dengan wanita lain, Tuan Alex?"
Alex Mahendra tersenyum tipis, senyum yang dingin, percaya diri, dan penuh pemahaman. Ia berdiri, berjalan mengitari mejanya, dan berhenti tepat di depan Sekar. Jarak di antara mereka kini sangat minim, dipenuhi oleh emosi yang meluap-luap.
"Ah, jadi akhirnya kita sampai di sini," ujar Alex pelan, nadanya mengandung nada kemenangan. "Terima kasih, Skye. Kau baru saja memberikan jawabannya."
"Jawaban apa?" Sekar menantang, nafasnya terengah-engah.
Alex mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapannya mengunci mata Sekar. "Kau bertanya, untuk apa aku memperlakukanmu seperti ini, padahal aku bebas berhubungan dengan Miranda? Jawabannya sederhana."
"Kau sudah masuk ke dalam perangkapku," bisik Alex, suaranya mengandung nada kejam yang tersembunyi. "Aku membuat aturan itu bukan untuk melindungi ATEEA, Sekar. Aku membuat aturan itu agar aku tahu bahwa kau masih peduli. Bahwa kau masih cemburu. Dan kau baru saja membuktikannya. Kau tidak peduli aku bersama Miranda. Kau hanya marah karena kau tidak bisa bersama siapa-siapa."
Sekar terdiam, menyadari ia baru saja menyerahkan semua kartunya. Ia mengakui cemburu dan rasa rindunya secara tidak langsung.
"Permainan ini sudah berakhir, Sekar," tambah Alex, senyumnya kini semakin lebar, kemenangan yang penuh keangkuhan. "Dan aku yang menang."
Sekar terdiam, menyadari ia baru saja menyerahkan semua kartunya.
"Permainan ini sudah berakhir, Sekar," tambah Alex, senyumnya kini semakin lebar. "Dan aku yang menang."
Alex mengira Sekar terdiam karena mengakui cemburu. Namun, Sekar segera menarik dirinya kembali, meskipun emosinya terbuka.
Sekar tersentak, tetapi ia dengan cepat menolak interpretasi Alex. "Anda salah besar, Alex."
"Salah?" Alex tertawa kecil. "Lalu kenapa kau mendobrak ruanganku seperti ini?"
Sekar menegakkan tubuh, mendongak. Ia menggunakan kata-kata yang paling ia benci untuk diucapkan, tetapi ia harus membalikkan interpretasi Alex.
"Aku marah bukan karena cemburu, Alex," kata Sekar, suaranya kembali dingin tetapi penuh kejujuran pahit. "Aku marah karena ini adalah pelecehan kontrak! Aku merasa dirugikan secara profesional. Anda menuntut kesetiaan mutlak dan kontrol penuh pada saya, dengan ancaman pembatalan kontrak yang vital, sementara Anda sendiri dengan bebas melangkah ke pertunangan."
Sekar melanjutkan, dengan nada yang penuh ejekan yang menusuk Alex tepat di egonya. "Anda tahu fakta tentang yayasan saya. Anda tahu saya terdesak. Dan Anda menggunakan semua itu hanya untuk memuaskan ego Anda yang kekanak-kanakan. Saya tidak peduli Anda mau menikah dengan siapa. Saya tidak tertarik pada Anda, Alex. Sama sekali. Saya hanya ingin pekerjaan ini selesai. Perasaan Anda terhadap saya, Tuan Alex, sudah tidak relevan dan memuakkan."
Ucapan Sekar, penolakan frontal dan pernyataan bahwa tidak ada ketertarikan pada Alex, langsung menghantam ego Alex seperti godam. Alex yang mengharapkan pengakuan cemburu, justru mendapat penolakan yang paling memalukan. Senyum kemenangannya langsung memudar.
Alex merasa marah, tetapi juga terluka. Ia secara naluriah mengambil langkah maju, memangkas jarak di antara mereka yang sudah minim.
"Kau berbohong," desis Alex, menolak kata-kata Sekar, karena tubuhnya sendiri bereaksi terhadap keberadaan Sekar.
"Saya bicara jujur," balas Sekar, kepalanya mendongak menantang.
Alex tidak bisa menahan diri lagi. Dorongan untuk membuktikan bahwa Sekar berbohong jauh lebih kuat daripada kendali dirinya.
Tangan Alex bergerak cepat, mencengkeram rahang Sekar lembut namun tegas. Ia memaksa Sekar untuk tidak bergerak. Mata mereka terkunci. Mata Alex penuh amarah, keraguan, dan gairah yang lama terpendam. Mata Sekar penuh tantangan, ketakutan, dan rindu yang tersembunyi.
"Jika kau tidak tertarik padaku," bisik Alex, suaranya parau, "maka kau tidak akan menolak ini."
Tanpa menunggu jawaban, Alex membungkuk dan menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang mendesak dan penuh amarah. Ciuman itu adalah luapan semua emosi yang telah mereka tahan selama sepuluh tahun. dendam, kerinduan, cemburu, dan obsesi yang tidak sehat.
Sekar terkejut, tetapi tubuhnya bereaksi secara otomatis. Meskipun pikirannya berteriak "Hentikan!", tangannya tanpa sadar naik dan mencengkeram bahu Alex. Bukan dorongan untuk menolak, melainkan genggaman untuk menahan diri.
Ciuman itu intens, mematikan, dan romantis dalam cara yang paling merusak. Itu adalah pengakuan yang lebih jujur daripada kata-kata.
Alex akhirnya menarik diri, napasnya tersengal. Ia menatap wajah Sekar, yang kini merah padam karena keterkejutan dan emosi.
"Itu," Alex berbisik, suaranya serak. "Adalah reaksi dari seseorang yang tidak tertarik?"
Sekar tidak mampu menjawab. Ia hanya bisa menatap Alex, hatinya berdebar tak karuan. Alex telah menang, bukan dengan ancaman kontrak, melainkan dengan serangan fisik yang meruntuhkan benteng terakhir mereka.