Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTANYAAN LAMA
Kabut malam Eldridge menelan mereka begitu kaki meninggalkan perpustakaan. Pintu samping tertutup kembali dengan bunyi berderit panjang, seolah bangunan itu menghela napas lega—atau justru menahan sesuatu di dalamnya.
Udara luar tidak lebih ramah. Kabut begitu tebal hingga lampu jalan tampak seperti bola cahaya redup yang melayang di udara. Batu-batu di jalan basah, memantulkan langkah mereka yang cepat dan gugup.
Lisa menarik napas panjang, tapi rasanya dada tetap sesak. Jurnal kulit cokelat itu masih menempel di tangannya, berat seperti beban yang tak terlihat. Simbol di telapaknya berdenyut samar, tiap detik mengingatkan bahwa apa pun yang baru saja terjadi, belum selesai.
Sara berjalan di sisinya, wajahnya masih pucat, rambut cokelat gelapnya berantakan. Tangannya meremas lengan jaket Lisa erat-erat. “Aku nggak percaya kita barusan—” suaranya tercekat. Ia mengguncang kepala. “Astaga, Lis, kau hampir mati di sana. Kita semua hampir mati!”
Lisa membuka mulut, tapi Ethan mendahului. Pria tinggi dengan kacamata tipis itu melangkah di depan mereka, wajahnya serius meski cahaya lampu redup membuat matanya terlihat lebih dalam dari biasanya.
“Kalau kita kabur tanpa mengerti apa itu, kita justru lebih berbahaya. Bayangan itu tidak akan berhenti hanya karena kita meninggalkan gedung.”
Sara mendengus keras. “Oh, bagus sekali. Jadi rencanamu apa? Kita undang dia ke rumah, bikin teh, lalu tanya sopan-sopan kenapa dia mau mencekik kita?”
Ethan menoleh singkat, rahangnya menegang. “Sar, aku serius.”
“Dan aku juga serius, Ethan! Aku lihat sendiri makhluk itu melilitku! Kalau bukan karena Lis, aku mungkin sudah jadi kabut juga sekarang!”
Lisa menunduk, jari-jarinya masih menekan sampul jurnal. “Sudah cukup,” katanya pelan. “Aku juga takut. Tapi apa pun ini, aku tidak bisa pura-pura tidak terjadi.”
Mereka berhenti di tikungan jalan, tepat di bawah menara jam tua. Jarumnya menunjuk hampir pukul sebelas, tapi kota sepi seperti kuburan. Hanya kabut yang bergerak, menutup jalan di depan.
Ethan mengusap wajahnya, lalu menatap keduanya. “Aku harus jujur. Ini bukan pertama kali aku merasakan hal seperti tadi.”
Lisa menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Sara menyipitkan mata. “Jangan bilang kau sudah tahu sejak awal.”
Ethan menarik napas panjang. “Ayahku. Sebelum dia menghilang… dia terobsesi dengan Eldridge. Dengan legenda kabut. Dia bilang kota ini bukan hanya kota tua yang penuh cerita hantu. Ada sesuatu yang nyata di balik semua itu. Dia sering menulis catatan, menyimpan dokumen di perpustakaan.”
Lisa terdiam. Ia pernah mendengar kabar samar soal ayah Ethan, tapi selama ini Ethan jarang bicara tentangnya.
“Aku ingat,” lanjut Ethan, suaranya lebih pelan, “dia pernah menyebut nama Cormac. Katanya pria itu mencari pintu. Pintu yang menghubungkan dunia kita dengan sesuatu yang lain.”
Sara melipat tangan di dada. “Dan kau baru bilang sekarang? Setelah hampir setan kabut itu bunuh kita?”
“Karena aku tidak punya bukti,” Ethan membalas cepat. “Sampai buku itu muncul lagi.”
Lisa mengusap telapak tangannya yang masih berdenyut. Simbol hitam samar tetap ada, meski ia berusaha menggosoknya. “Cormac… pintu… bayangan… semua itu tertulis di buku ini.”
Mereka melanjutkan langkah, kali ini lebih lambat. Jalan menuju apartemen Lisa masih dua blok lagi, tapi kabut membuatnya terasa jauh.
Lisa menatap ke kiri-kanan. Kabut tampak lebih pekat di sudut tertentu, membentuk gumpalan gelap yang seolah mengikuti mereka. Ia menelan ludah, lalu berkata, “Aku ingat… waktu kecil. Kalian masih ingat kita main petak umpet di hutan belakang Eldridge?”
Sara mengernyit. “Yang aku ingat cuma kau bikin bayangan di dinding pohon sampai aku ketakutan setengah mati.”
Lisa tersenyum samar, tapi cepat pudar. “Aku juga ingat sesuatu. Ada suara. Aku pikir waktu itu cuma imajinasi… tapi suaranya mirip. Memanggilku. Sama seperti tadi.”
Ethan berhenti melangkah, menatapnya serius. “Kalau benar begitu, berarti ini bukan kebetulan. Lis… mungkin sejak dulu kau sudah ditandai.”
Sara mendesah keras, frustrasi. “Jangan mulai lagi dengan ramalan aneh itu. Kita bisa cari penjelasan logis. Ada gas beracun di kabut, atau… atau kita semua halusinasi massal.”
Lisa menatapnya dengan iba. “Sar, kau dengar sendiri suaranya. Kau merasakan lilitannya. Itu bukan halusinasi.”
Sara menggigit bibir, matanya berkilat marah—tapi juga takut. Ia akhirnya menoleh, menendang kerikil kecil ke kabut. “Aku benci ini.”
Mereka menyeberangi jembatan besi tua. Suara deritnya menggaung ke sungai yang tertutup kabut pekat. Lisa merasa seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah sana, tapi saat ia mencondongkan kepala, hanya kabut yang berputar.
Ethan melangkah lebih dulu, tangannya meremas saku mantelnya. Lisa memperhatikan—dan baru sadar sesuatu.
“Ethan. Kau bilang tadi… kau taruh buku itu kembali. Tapi bagaimana bisa aku menemukannya seolah jatuh dari rak?”
Ethan terdiam.
Sara segera menoleh tajam. “Tunggu. Jangan bilang kau sengaja menaruhnya di situ.”
“Aku tidak sengaja,” Ethan buru-buru menjawab, tapi wajahnya menegang.
Lisa berhenti, menatapnya curiga. “Ethan… kau sudah tahu buku itu berbahaya, kan? Tapi kau tetap membawanya keluar siang tadi.”
Sara menyalak. “Jadi semua ini salahmu?! Kau yang memanggil makhluk itu!”
Ethan mendesah keras. “Aku hanya—aku ingin memverifikasi. Ada catatan di arsip yang menyebut jurnal Cormac. Aku tidak tahu kalau reaksinya akan sekuat itu!”
Lisa menatapnya lama. Ada getaran marah sekaligus takut di dadanya. “Kau seharusnya bilang padaku. Bukan diam-diam menyimpannya.”
Kesunyian meregang. Hanya bunyi menara jam yang berdetak pelan di kejauhan.
Sara akhirnya berkata, nada sinis. “Lihat, Lis. Aku sudah bilang sejak dulu, Ethan terlalu suka main rahasia.”
Ethan membalas cepat, “Kalau aku tidak menyelidiki, kita bahkan tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.”
“Kalau kau tidak menyelidiki, mungkin kita masih hidup normal!” Sara melawan.
Lisa menutup mata, kepalanya berdenyut. Suara samar muncul lagi di kepalanya: bisikan kabut, tumpang tindih, mengulang namanya. Ia hampir tidak bisa membedakan mana suara nyata, mana hanya pikirannya.
“Berhenti!” teriaknya tiba-tiba.
Ethan dan Sara terdiam, menatapnya.
Lisa memegang pelipisnya, nafasnya terengah. “Kalian berdua… aku tidak bisa dengar apa-apa lagi kalau kalian terus bertengkar. Ada suara lain di kepalaku… dan aku tidak tahu apakah itu nyata atau tidak.”
Sara mendekat, wajahnya melunak. “Lis…”
Ethan ikut mendekat, tapi Lisa mengangkat tangan, menahan. “Aku tidak tahu siapa yang harus kupercaya sekarang. Kalian berdua temanku. Tapi ada sesuatu… sesuatu yang disembunyikan. Entah oleh Cormac, atau ayahmu, Ethan. Atau mungkin bahkan oleh kota ini sendiri.”
Kabut di sekeliling makin tebal, menutup jalan di depan. Lampu jalan padam satu per satu, seolah ada tangan tak terlihat yang mematikannya.
Mereka bertiga saling pandang.
Ethan menelan ludah. “Kita harus segera pulang.”
Tapi suara langkah lain terdengar, berat dan lambat, menghantam batu dengan gema aneh.
Sara menggenggam lengan Lisa. “Oh tidak. Lagi?”
Lisa merasakan simbol di telapak tangannya berdenyut lebih kuat, panas kali ini, bukan dingin. Ia menatap Ethan. “Apa pun yang terjadi… aku tidak bisa lagi berpura-pura ini tidak nyata.”
Bayangan panjang meluncur di tanah, bergerak mendekat dari arah kabut.
Mereka bertiga berdiri mematung, hanya bisa mendengar detak jantung masing-masing.
“Lari,” bisik Ethan.
Dan tanpa menunggu jawaban, mereka bertiga berlari menembus kabut Eldridge, sementara bayangan di belakang memanjang, mengejar, menelan jalanan malam itu.