Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Bisikan dalam Gelap
Malam di Akademi Aeryndor biasanya sunyi, hanya diwarnai suara serangga dan desiran angin dari hutan sekeliling. Namun malam itu berbeda. Kael terbangun karena mimpi yang begitu nyata.
Ia berada di sebuah dataran tandus, langit kelam tanpa bintang. Di tengah kehampaan itu, berdiri gerbang raksasa dari bayangan, menjulang tinggi seolah menantang langit. Gerbang itu berdenyut seperti jantung, memancarkan aura dingin yang menusuk tulang.
Dari balik celahnya terdengar suara-suara ribuan bisikan—sedih, marah, lapar, semuanya bercampur. Dan di antara bisikan itu, satu suara paling jelas:
“Kau adalah kunci. Bukalah kami.”
Kael terbangun dengan teriakan tertahan, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia menatap sekeliling kamarnya yang gelap. Tapi saat matanya turun ke lantai, ia membeku.
Bayangannya bergerak… meski ia tidak bergerak.
Bayangan itu menoleh, memperlihatkan wajah samar yang menyerupai dirinya. Mulut sosok itu bergerak tanpa suara, tapi Kael bisa mendengarnya jelas di kepalanya.
“Aku akan menunjukkan padamu… kekuatan sejati Umbra.”
---
Keesokan harinya, kelas mereka adalah Latihan Elemen Dasar di arena terbuka. Murid-murid diminta mendemonstrasikan penguasaan sederhana sesuai tingkat mereka. Api kecil, angin putaran, atau perisai air.
Lyra tampil pertama, menciptakan bunga es indah yang mekar lalu hancur jadi butiran salju. Murid lain bertepuk tangan kagum.
Eryndor tampil berikutnya. Dengan senyum percaya diri, ia menyalurkan sihir petir. Kilatan listrik melompat di udara, membentuk tombak cahaya yang menghantam target batu hingga hancur berkeping. Sorak kagum bergema di seluruh arena.
Lalu giliran Kael.
Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Aku harus menahan bayangan ini. Jangan biarkan ia lepas. Ia mengangkat tangan, berniat menyalakan api kecil seperti murid lain.
Namun seketika, hawa dingin menyelimuti arena. Bayangan Kael merayap keluar dari tanah, meluas seperti tinta tumpah. Murid-murid bersorak kaget, beberapa melangkah mundur.
Bayangan itu berubah menjadi tombak hitam pekat, menusuk target batu—dan target itu lenyap, bukan hancur, tapi seolah ditelan ke dalam kehampaan.
Keheningan menyelimuti arena.
“Ap… apa yang barusan terjadi?” bisik salah satu murid.
“Batu itu… menghilang!”
Master Orlan segera menghentikan latihan, wajahnya menegang. “Cukup, Kael. Kendalikan dirimu.”
Kael terhuyung, napasnya berat. Bayangannya perlahan kembali normal, tapi bisikan itu tetap berdengung di kepalanya: “Lepaskan aku sepenuhnya… dan tak ada yang bisa mengalahkanmu.”
Lyra berlari mendekat, matanya penuh kekhawatiran. “Kael, kau baik-baik saja?”
Kael hanya bisa mengangguk, meski hatinya kacau. Ia merasa seperti sedang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
---
Malam itu, Kael duduk di perpustakaan asrama, sendirian. Ia membuka kembali buku Umbra, mencari jawaban.
Salah satu halaman berisi sebuah lukisan kuno: seorang pria berjubah hitam berdiri di depan gerbang bayangan yang sama dengan yang Kael lihat dalam mimpinya. Teks di bawahnya berbunyi:
“Gerbang itu adalah asal dan akhir. Hanya pembawa Umbra yang bisa membukanya. Tapi setiap pintu menuntut harga… darah, jiwa, atau kebebasan.”
Kael menggigil. Apakah mimpinya tadi malam adalah peringatan? Atau undangan?
Saat ia masih merenung, suara langkah mendekat. Kael buru-buru menutup buku itu. Tapi terlalu terlambat—Eryndor sudah berdiri di ambang pintu, menyeringai.
“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Ardyn.” Suaranya pelan tapi menusuk. “Bayangan itu… kekuatanmu… bukan sihir biasa. Kau pikir aku tidak mengenalnya?”
Kael menegang. “Apa maksudmu?”
Eryndor mendekat, menatap matanya. “Umbra. Aku pernah mendengar legenda itu dari keluargaku. Dan sekarang aku melihatnya dengan mataku sendiri. Kau berbahaya, Ardyn. Cepat atau lambat, semua orang di akademi ini akan tahu siapa kau sebenarnya.”
Kael menggenggam erat meja, mencoba menahan amarah sekaligus rasa takut. “Aku tidak memilih ini.”
Eryndor tersenyum miring. “Tidak ada yang peduli apakah kau memilihnya atau tidak. Yang orang lihat hanya satu hal: apakah kau ancaman, atau bukan.”
Dengan itu, Eryndor berbalik dan pergi, meninggalkan Kael dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sebelumnya.
---
Di menara tinggi, Master Orlan berdiri bersama seorang wanita berjubah putih—Master Selene, pengawas akademi. Mereka membicarakan apa yang terjadi di arena siang tadi.
“Umbra telah menunjukkan dirinya,” kata Selene dengan nada serius. “Anak itu… bisa menjadi harapan, atau bencana.”
Orlan menatap ke arah asrama murid. “Aku percaya dia bisa memilih jalan yang benar. Tapi kita harus bersiap. Jika gerbang itu benar-benar ada, dunia Eldoria akan menghadapi malam yang lebih panjang dari yang pernah kita bayangkan.”
---