NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DEBAT BAYANGAN DAN PENGUJIAN PESONA

Pesan dari Bapak Surya (S.) itu terasa dingin di tanganku, kontras dengan alarm di kepalaku. Dia tidak hanya mengetahui pergerakanku; dia bermain dengan waktu. Misi Seri 2, yang seharusnya berpuncak pada kekalahan Rendra di Debat Final, kini terasa terdesak oleh ancaman Target 4 yang baru muncul. Aku harus menyelesaikan Rendra dengan cepat dan elegan sebelum melangkah ke kandang harimau korporat.

Aku bertemu Rendra dua hari kemudian di ruang rapat BEM yang sepi, di bawah patung pendiri universitas yang matanya tampak menilai. Kami tidak lagi berbicara tentang utang judi Amara atau IPK 0.9. Kami berbicara tentang data, reformasi, dan pengkhianatan yang diperlukan untuk mencapai keduanya.

“Pak Arka benar,” kata Rendra, menyebar dokumen anggaran BEM di meja. Matanya tampak lelah, garis hitam di bawahnya menunjukkan kurang tidur. “Kita harus bermain kotor. Aku menemukan setidaknya tiga proyek BEM yang pendanaannya disalurkan langsung dari dana Yayasan Surya, yang anehnya, tidak pernah melewati pengawasan Rektorat. Ini adalah dana hitam.”

Aku menatap angka-angka itu. Angka-angka ini adalah tulang punggung kekuasaan Rendra, namun juga penjara baginya. “Kau sudah mengkonfirmasi ini adalah dana yang seharusnya digunakan untuk mempromosikan citra kampus, tapi sebenarnya untuk menyaring mahasiswa yang patuh?”

“Tepat. Dana itu digunakan untuk membiayai seminar 'Kepemimpinan Etis' yang isinya hanya memuji kepemimpinan Bapak Surya. Aku telah menjalankan sistem ini selama dua tahun, Kinara. Aku tahu cara kerjanya,” Rendra mengakui, nadanya penuh penyesalan. “Pertanyaannya sekarang, bagaimana kau akan menggunakannya di Debat Final?”

Aku menyandarkan diri. Inilah saatnya menguji batas antara strategi intelektual dan manipulasi emosional. Aku tahu skill 'Daya Tarik Sosial Absolut' aktif setiap kali aku berinteraksi dengan Target Pria. Aku harus menggunakannya seminimal mungkin, hanya untuk memastikan loyalitasnya, bukan keputusannya.

“Debat ini bukan tentang siapa yang lebih baik berargumen, Rendra,” kataku, mencondongkan tubuh ke depan. Aku memastikan pandangan mataku fokus sepenuhnya padanya. Aku merasakan sedikit getaran energi di udara, sensasi yang kurasa ketika skill itu mulai bekerja—seolah-olah kata-kataku membawa bobot yang tidak seharusnya.

“Ini adalah tentang kredibilitas. Kau adalah Ketua BEM, simbol otoritas mahasiswa. Aku adalah Amara, simbol mahasiswa terbuang. Jika aku hanya menyerangmu dengan data, publik akan melihatku sebagai perusak. Tapi jika kau yang menyediakan data itu, bahkan dalam bentuk argumen yang tampaknya menentangku, kita membalikkan narasi.”

Rendra menelan ludah. Aku melihat pupil matanya sedikit melebar, seolah dia tiba-tiba melihatku dengan kejelasan yang mengganggu, bukan hanya sebagai lawan, tapi sebagai entitas yang sangat meyakinkan.

“Maksudmu, aku harus kalah dengan cara yang memuliakanmu?” tanyanya, suaranya sedikit serak.

“Tidak, Rendra. Aku memintamu untuk menang dengan cara yang membebaskanmu,” balasku, menjaga nada bicaraku tetap lembut namun tegas. “Di babak terakhir, kau harus mengakui bahwa kau memiliki keraguan etis terhadap sumber dana BEM. Kau tidak perlu menyebut Surya. Cukup akui bahwa sistem yang kau jaga memiliki celah korporat yang harus ditambal. Itu akan membuatmu terlihat berprinsip, tapi tetap menempatkanmu di sisi reformasi.”

Rendra mengusap wajahnya. “Itu sama saja bunuh diri politik. Aku akan dipecat dari BEM. Aku akan dicap sebagai pengkhianat oleh semua petinggi yang selama ini aku layani. Mereka akan menghancurkan reputasiku, Kinara.”

“Dan bagaimana dengan reputasimu saat ini?” tanyaku, sedikit menaikkan intensitas ‘Daya Tarik Absolut’. Bukan untuk memaksanya setuju, tetapi untuk menembus dinding pertahanannya. “Kau dikenal efisien, iya. Tapi juga otoriter, dingin, dan boneka elit. Apakah itu warisan yang kau inginkan? Kau ingin reformasi, Rendra. Kau ingin memimpin kampus yang bersih. Untuk itu, kau harus membakar kapal lamamu.”

Rendra menatapku lama sekali. Aku bisa melihat pergulatan di matanya—antara hasratnya akan kekuasaan yang bersih dan ketakutannya akan kehancuran sosial.

“Kenapa kau sangat yakin aku akan berpihak padamu?” Rendra bertanya, nada suaranya kini mengandung campuran rasa ingin tahu dan kekaguman yang nyaris tidak disembunyikan. “Mungkin aku hanya ingin menggunakan data ini untuk kepentingan BEM-ku sendiri.”

Aku tersenyum tipis. Senyum itu terasa dipandu oleh Sistem, sebuah manifestasi pesona yang sempurna. “Karena kau adalah Target 2. Kau adalah pilar kekuasaan. Dan jika pilar itu mulai bergetar, seluruh sistem akan runtuh. Kau tidak ingin melihat sistem ini runtuh begitu saja, Rendra. Kau ingin membangun yang baru. Dan aku bisa melihat idealisme itu di balik semua kelelahan dan ketakutanmu.”

Rendra menghela napas panjang. “Kau benar. Aku muak. Aku muak harus membela kebijakan kampus yang jelas-jelas merugikan mahasiswa hanya karena ‘itu bagus untuk citra korporat’. Aku ingin menghentikannya. Tapi aku takut kehilangan segalanya. Aku membangun ini dari nol.”

“Membangun kembali akan lebih mudah jika kau memiliki sekutu,” kataku. “Aku memiliki Pak Arka, yang akan memberimu legitimasi akademis. Aku akan segera memiliki Dimas, yang akan memberimu platform media. Dan begitu kita membongkar Surya, kita akan memiliki semua yang kita butuhkan untuk membersihkan BEM.”

“Aku akan melakukannya,” kata Rendra, suaranya kini kembali tegas, otoritas lamanya mulai muncul, namun kali ini diarahkan pada tujuan yang berbeda. “Aku akan menggunakan bagian kedua dari argumenku di Debat Final untuk mempertanyakan etika pendanaan BEM. Aku akan melakukannya dengan sangat hati-hati, seolah-olah aku sedang melakukan evaluasi internal. Tapi intinya akan sampai: BEM kotor.”

“Bagus,” kataku, merasakan beban etika sedikit berkurang karena dia mengambil keputusan itu atas kehendaknya sendiri, meskipun dipengaruhi oleh pesonaku.

Rendra kemudian mengubah topik, menatapku dengan ekspresi yang lebih personal. “Tentang Gala Bapak Surya. Kau tahu kau akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari debat, bukan? Surya tidak akan menggunakan retorika, dia akan menggunakan uang dan janji. Dia akan menawarkan masa depan yang kau inginkan tanpa harus berjuang.”

“Aku tahu. Dan aku akan siap,” jawabku.

“Kau punya keberanian yang gila. Amara yang dulu akan menjual jiwanya hanya untuk diakui di acara itu. Kau, Kinara, akan menghancurkan acara itu dari dalam,” Rendra tersenyum samar. “Jika kau membutuhkan pengalih perhatian sebelum Gala, aku akan mengurusnya. Tapi kau harus kembali hidup-hidup. Kampus ini membutuhkanmu, Amara yang baru.”

Aku berjanji, dan Rendra bergegas pergi untuk mempersiapkan rencananya yang berisiko. Ruangan itu kembali sepi. Aku merasa lega, Target 2 kini 100% terkunci sebagai sekutu, bahkan jika itu harus mengorbankan karier politiknya.

Malam sebelum Debat Final, aku menerima panggilan dari Dimas (Target 3). Jurnalis idealistik itu masih skeptis, tetapi rasa ingin tahunya menang.

“Amara, aku sudah menonton rekaman debatmu sebelumnya,” kata Dimas di ujung telepon, suaranya bersemangat. “Itu luar biasa. Tapi aku masih tidak mengerti. Bagaimana seorang mahasiswa yang dikenal karena skandal judi bisa tiba-tiba menjadi sosiolog kritis yang tajam? Aku sedang menulis artikel tentang transformasimu, dan aku butuh kebenaran. Apakah kau dibayar untuk ini?”

“Aku dibayar dengan kesempatan hidup kedua, Dimas,” kataku, memilih kata-kata yang jujur secara emosional tanpa mengungkapkan Sistem. Aku tidak mengaktifkan 'Daya Tarik Absolut' pada Dimas; aku ingin dia percaya padaku berdasarkan idealisme, bukan pesona.

“Dengarkan aku. Besok, di Debat Final, kau akan mendengar sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang akan mengkonfirmasi semua kecurigaanmu tentang BEM dan pendanaan korporat. Fokus pada Rendra. Ketika dia berbicara, perhatikan dengan cermat. Itu akan menjadi kisah nyata yang layak kau tulis, jauh lebih penting daripada transformasiku.”

“Rendra? Ketua BEM itu?” Dimas terdengar kaget. “Dia adalah boneka emas universitas! Dia tidak mungkin mengungkapkan apapun!”

“Dia adalah manusia, Dimas. Manusia yang lelah dengan sistem kotor,” kataku. “Tuliskan setiap kata yang keluar dari mulutnya di segmen penutup. Dan bersiaplah. Karena begitu kau menulis artikel itu, kau akan menjadi target baru, sama sepertiku.”

Dimas terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan dia di perpustakaan, memegang pena, memikirkan idealisme jurnalistiknya.

“Jika kau benar,” kata Dimas pelan, “Jika Rendra benar-benar mengungkapkan sesuatu, aku akan mempublikasikannya. Aku akan membuat berita besar tentang hal ini. Aku akan mempertaruhkan reputasiku, Amara. Jangan kecewakan aku.”

“Aku tidak akan mengecewakan reformasi, Dimas. Itu janjiku.”

Keesokan harinya, panggung Debat Final Fakultas Sosiologi terasa berat dengan antisipasi. Rendra terlihat tenang, tetapi matanya mengkhianati kegelisahannya. Aku tahu, begitu ia berbicara, ia akan menghancurkan dunia yang ia bangun.

Debat berjalan sesuai dugaan. Rendra menyerangku dengan statistik BEM yang sempurna. Aku menyerangnya dengan kritik struktural tentang mengapa statistik itu tidak berarti bagi mahasiswa akar rumput. Kami imbang sampai segmen penutup, momen krusial Rendra.

Rendra berdiri di podium, memegang mikrofon. “Saudara-saudara mahasiswa, dan dewan juri. Saya harus mengakui, Amara benar dalam satu hal. Sistem ranking ini, dan BEM yang saya pimpin, mungkin telah melayani pihak yang salah. Kami fokus pada efisiensi dan citra, tetapi kami gagal fokus pada etika.”

Auditorium hening. Aku melihat Dimas mencatat dengan panik di barisan media.

“Saya telah mengawasi pendanaan internal kami. Dan saya menemukan adanya celah—celah yang menunjukkan bahwa tujuan utama BEM telah dibelokkan, bukan oleh niat jahat, tetapi oleh pengaruh keuangan yang sangat besar. Saya secara resmi menyerukan audit independen atas semua dana proyek BEM yang berasal dari Yayasan Korporat. Ini adalah pengakuan. Sistem yang saya bela, kini harus saya pertanyakan. Dan saya berjanji, jika ada korupsi, saya akan membongkarnya, bahkan jika itu berarti mengakhiri karier saya sebagai Ketua BEM.”

Pengakuan Rendra menciptakan gelombang kejut yang nyata. Rektorat di barisan depan pucat pasi. Kinara merasakan notifikasi Sistem muncul dengan ledakan kembang api digital.

[Misi Seri 2 (Target 2) Selesai: Rendra (Ketua BEM) Terkalahkan dan Terkonversi. Reputasi Amara (Kinara) di mata mahasiswa netral meningkat 90%.]

Saat para juri mulai berbisik-bisik, dan Rendra menatapku dengan tatapan penuh pembebasan dan ketakutan, aku merasakan sebuah notifikasi baru yang dingin muncul di sudut pandangku, berasal dari luar kampus.

[Peringatan Kritis: Deteksi Jaringan 'Penjaga Data Kelas S' (Serena). Pemantauan aktivitas di sekitar Target 4 (Bapak Surya) meningkat. Kinara, bersiap untuk Gala. Serena akan ada di sana, dan dia tahu kau adalah ancaman langsung.]

Kekalahan Rendra telah memberiku sekutu yang kuat, tetapi juga membuat musuh utama (Serena) mengalihkan perhatiannya sepenuhnya kepadaku. Panggung kampus sudah tidak cukup. Aku harus segera pindah ke panggung korporat.

Aku menatap Rendra, yang kini telah mengorbankan segalanya untuk aliansi kami. Senyum Kinara mengembang, senyum yang menjanjikan reformasi, tetapi juga membawa bahaya mematikan.

Malam itu, saat aku kembali ke kamar Amara untuk pertama kalinya sejak kemenangan debat, aku menemukan sebuah kotak hitam di meja belajarku. Kotak itu sangat elegan, dihiasi pita emas, dan tidak ada pengirim. Di dalamnya terdapat sebuah gaun malam mewah—sutera hitam murni, dengan catatan singkat:

"Untuk penampilan pertama yang pantas di panggung yang sebenarnya. Sampai jumpa di Gala."

S.

Bapak Surya. Target 4. Dia tidak hanya mengundangku. Dia sudah menyediakan kostum untuk pertarungan kami. Dia ingin aku memainkan peran 'wanita elegan yang bisa ia beli'.

Aku mengambil gaun itu. Rasanya dingin di tanganku. Aku melihat pantulan diriku di cermin. Kini, aku harus menjadi Amara yang diinginkan oleh para elit: mempesona, rapuh, dan aset yang menggoda.

Kinara tersenyum pada bayangannya sendiri, sebuah senyum yang kini mengandung sedikit bumbu manipulatif dari skill Sistem.

“Aku datang, Bapak Surya,” bisikku pada gaun itu. “Tapi aku tidak akan memakai topeng ini untuk waktu yang lama.”

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!