NovelToon NovelToon
Cinta Di Atas Abu

Cinta Di Atas Abu

Status: sedang berlangsung
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaAube

Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter : 6

“In-ini… bi-bisa tidak tolong ambilkan handuk di kamar saya? Kamar saya yang depan, yang pintunya ada gantungan kerangnya. Handuknya ada di atas kursi, di depan meja,” ucap Nara terbata-bata dari balik pintu kamar mandi.

Beberapa detik berlalu, tak ada suara dari luar. Nara menarik napas resah. Mungkin pria itu enggan membantu. Tapi tak lama kemudian, suara berat khas Zean terdengar dari balik pintu.

“Ini handukmu.” Suaranya datar, dingin, namun jelas. Ia mengulurkan handuk itu tanpa banyak bicara.

Nara menarik napas lega. Ia sempat mengira Zean terlalu angkuh untuk sekadar membantunya. Ia menyodorkan tangannya sedikit membuka pintu, dan mengambil handuk kecil itu.

“Terima kasih. Tapi…” nada suaranya sedikit naik, kesal bercampur malu, “Bisakah anda keluar dulu dan tunggu di depan rumah? Ini hanya handuk kecil, biasanya aku pakai untuk rambut.”

Zean tidak menjawab. Tapi langkah kakinya terdengar menjauh. Nara menggigit bibirnya kesal, malu, dan putus asa dalam satu waktu. Ia membalut tubuhnya dengan handuk kecil itu sekenanya. Handuk itu bahkan hanya menutupi setengah pahanya.

Dengan langkah hati-hati, Nara mengendap keluar dari kamar mandi, berharap Zean sudah benar-benar di luar. Tapi saat ia hampir tiba di depan kamar tidurnya, pintu depan kembali terbuka.

Zean masuk. Dan tanpa sengaja… mata mereka bertemu.

Mata Zean menatap tubuh Nara yang hanya terbalut handuk kecil. Matanya spontan menyapu tubuh gadis itu sekejap, sebelum dengan cepat beralih memandang ke arah lain.

Nara yang terkejut hanya bisa membeku. lalu langsung lari kembali ke kamar.

“Ya ampun… kenapa apes banget hidupku!” gumamnya panik, memukul ringan kepalanya sendiri sambil berganti pakaian secepat mungkin.

Tak lama kemudian, ia keluar dengan dress sederhana dan rambut terurai. Jepit rambut kupu-kupu terpasang rapi di bagian belakang. Penampilannya biasa saja, tapi manis. Namun bagi Zean, gadis itu terlihat seperti anak kecil, bukan tipenya sama sekali.

“Ayo,” ucap Zean dingin dari sofa.

Nara hanya mengangguk dan mengikuti dari belakang. Begitu di mobil, ia langsung duduk di kursi belakang, tanpa pikir panjang.

Zean menoleh lewat kaca spion. “Aku bukan sopirmu.”

Nara menatap heran.

“Tempatmu di depan. Bukan di belakang,” katanya dingin, tapi mulai terdengar jengkel.

“Oh…” Nara buru-buru pindah ke kursi depan. Wajah polosnya menunjukkan ia memang benar-benar tidak paham.

Mobil pun melaju menuju rumah orang tua Zean. Namun sebelum pergi, nara sudah mengirim pesan berpamitan pada pak riyo dengan alasan dirinya dijemput oleh teman, ada pekerjaan mendadak di toko yang harus segera diselesaikan.

Sepanjang jalan, mereka hanya diam. Tak ada percakapan. Tak ada senyum.

Setelah dua jam perjalanan, mobil akhirnya memasuki gerbang megah sebuah rumah besar. Lebih mirip istana, pikir Nara. Lampu-lampu taman menyinari jalan batu, menambah aura kemewahan tempat itu.

Nara terdiam, matanya terpaku menatap bangunan megah di hadapannya. Ia jadi gugup. Bagaimana kalau mereka tidak menerimanya?

“Turun,” perintah Zean dingin.

“Ah… iya, maaf.” Nara buru-buru turun.

Begitu masuk ke dalam rumah, beberapa pelayan langsung membungkukkan badan menyambut mereka. Nara ternganga. Seperti di drama yang sering sekali ia nonton, pikirnya.

“Selamat malam, Ma, Pa,” ucap Zean, memeluk kedua orang tuanya secara bergantian. Kemudian ia menoleh ke Nara yang berdiri kaku.

“Selamat malam tante… om,” sapa Nara dengan suara pelan.

Melisa, ibu Zean, menatap gadis itu penuh minat. Wajahnya teduh, senyum tipis tersungging. Entah mengapa, ia langsung merasa ada ketenangan dalam diri Nara. Nalurinya sebagai ibu langsung menyukai gadis ini.

“Malam sayang!” ucap Melisa ramah, mengejutkan semua orang. Ia langsung merangkul Nara dan membawanya duduk di sofa.

Zean dan Hendrik terdiam. Mereka sama-sama tahu Melisa bukan tipe yang cepat akrab dengan orang asing. Tapi kini, ia seperti sudah kenal Nara sejak lama.

“Hei, kalian nunggu apa? Duduk!” seru Melisa, membuat dua pria itu duduk patuh.

Melisa terus menatap Nara. Ia suka ketenangannya, sikap sopannya, dan sorot matanya yang penuh kesedihan namun tetap kuat.

Nara jadi makin gugup. Tapi Melisa menenangkan.

“Jangan malu, nak. Cantik banget loh kamu kalau senyum.” Ia mengangkat dagu Nara lembut.

“Iya, Ma. Cantik sekali,” timpal Hendrik sambil tersenyum tipis ke arah istrinya.

Nara tersipu malu, tapi masih belum bisa sepenuhnya tenang. Ia merasa seperti masuk ke dunia yang terlalu tinggi untuk dijangkaunya.

“Namamu siapa, sayang?”

“Anara…”

“Jangan gugup ya. Kita semua akan jadi keluarga sebentar lagi. Oke, girl?” Melisa tersenyum hangat.

Nara mengangguk pelan. Senyum akhirnya muncul di wajahnya, dan Melisa langsung terkagum.

“Nah, gitu dong! Senyummu manis banget!”

Zean hanya melirik dari ujung mata. Ia malas menanggapi semua itu. Bukan karena Nara, tapi karena pikirannya masih terhambat pada seseorang lain… Lusi.

“Benar ya, kamu tinggal sendiri di pinggiran kota?” tanya Melisa pelan.

“Iya, tante.”

“Kamu luar biasa. Mandiri sekali,” puji Melisa sambil menepuk pelan bahu Nara.

Melisa lalu menunduk sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca. “Boleh tante tanya… orang tuamu?”

Nara tersenyum samar. “Mereka sudah tiada, tante. Meninggal dalam kecelakaan bus waktu saya masih 17 tahun. Sejak itu saya sendiri.”

Melisa menahan napas. Hatinya nyeri mendengarnya.

“Nggak punya saudara?”

“Tidak, tante. Ayah dan ibu saya sama-sama anak tunggal. Semua kakek-nenek juga sudah tiada. Namun sekarang saya punya keluarga yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri.” Tambahnya, tersenyum hangat.

Air mata jatuh di pipi Melisa. Ia langsung memeluk Nara erat.

“Maafkan Zean… maaf karena dia kamu harus menghadapi semua ini sendirian.”

Nara tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata dalam pelukan hangat itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti… punya keluarga lagi.

“Tapi kamu tenang saja nara, dia akan bertanggung jawab untuk semua ini. Karena kita tidak tahu mungkin sikecil itu sudah ada disini kan” sewot melisa sembari mengelus pelan perut rata nara. Hingga membuat nara malu.

Hendrik hanya menggelengkan kepalanya yang tak habis pikir dengan istrinya ini, ada aja gebrakannya.

Zean? Ia masih duduk diam, termenung. Ia tahu, hidupnya sedang berubah. Tapi hatinya belum siap menghadapinya.

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Hendrik akhirnya, mengangkat kepalanya menatap Zean.

Suasana jadi sunyi.

“Minggu depan, karena minggu ini kita akan menyebarkan undangan terlebih dahulu,” jawab Melisa dengan semangat.

“Mama, biarkan Zean yang menjawab. Ini seharusnya keputusan mereka sendiri,” sahut Hendrik sabar, menahan napas seperti biasa menghadapi istrinya yang sering bertindak tanpa filter.

“Loh, apa salahnya? Orang cuma jawab kok…” balas Melisa santai, tak merasa bersalah sedikit pun.

“Seperti yang Mama bilang saja, Pa. Lebih cepat lebih baik,” ucap Zean akhirnya, suaranya datar namun tegas.

Hendrik menoleh ke arah Nara. “Bagaimana denganmu, Nak?”

Nara menatap Hendrik sejenak, lalu menjawab pelan namun mantap, “Saya ikut keputusan bersama, Pak.”

Hendrik mengangguk, lalu memutuskan, “Baiklah. Kalau begitu, kita sepakat. Pernikahan kalian akan dilaksanakan minggu depan.”

Melisa langsung tersenyum cerah. Ia meraih pipi chubby Nara dan mengelusnya dengan lembut, membuat gadis itu kaget sekaligus terharu.

“Kita akan menjadi keluarga, sayang. Jadi jangan sungkan dengan Mama dan Papa, ya. Mulai sekarang, panggil kami begitu saja. Karena sebentar lagi kita memang akan jadi satu keluarga.”

Ada sesuatu dalam diri Melisa yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa sangat nyaman dan menyayangi Nara, bahkan sejak pertama melihat gadis itu.

Nara hanya mengangguk. Tak ada salahnya, pikirnya, memanggil mereka Mama dan Papa. Toh memang mereka akan menjadi mertuanya.

“Oh iya, sayang. Mama juga punya anak gadis, lho. Namanya Cika. Orangnya pendiam, tapi kalau sudah akrab bisa bikin kepala pusing!” ujar Melisa sambil terkikik geli.

“Benarkah? Di mana dia, Ma?” tanya Nara, hampir saja terpeleset menyebut “tante” sebelum segera membetulkan panggilannya.

“Dia di kamar. Tadi Mama suruh istirahat karena nggak baik kalau anak kecil ikut dengar obrolan orang dewasa.”

Nara mengangguk mengerti.

“Besok saja kalian ketemu, ya. Sekarang sudah tengah malam, dan Cika harus bangun pagi buat sekolah,” lanjut Melisa dengan lembut.

Nara tersenyum, merasa bersyukur bisa bertemu dengan calon ibu mertua yang begitu hangat dan ramah.

“Oh iya, malam ini kamu nginap di rumah Mama aja, ya. Nggak mungkin kamu pulang sekarang. Sudah larut dan rumahmu jauh,” tawar Melisa sambil menggenggam tangan Nara dengan hangat.

“Terima kasih, Ma. Tapi nggak usah repot. Saya bisa tidur di hotel saja malam ini,” tolak Nara dengan sopan.

“Heh! Kamu pikir rumah Mama nggak cukup buat nampung kamu seorang? Pilih aja mau kamar yang mana! Mau tidur sama calon suami juga boleh, lho. Kan kalian udah pernah… ehem-ehem…” celetuk Melisa seenaknya.

Zean yang mendengarnya langsung menatap ibunya tajam, ekspresinya seperti menahan napas dalam-dalam.

“Ma, Pa, aku pulang dulu. Biar dia nginap di sini,” ucap Zean dingin, bangkit dari sofa.

Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, suara Melisa menggema tajam di ruang tamu.

“Tidak ada yang pulang! Kalian berdua tidur di rumah Mama malam ini!”

Zean menahan napas. Wajahnya kesal, tapi dia tidak membantah. Ia hanya memutar badan, lalu berjalan menuju kamar lamanya dengan langkah berat.

Melisa tersenyum puas, lalu menoleh ke arah Nara.

“Ayo sayang, Mama antar ke kamar kamu malam ini.”

Kamar yang ditunjukkan Melisa membuat Nara terpaku.

“Ini kamar… atau istana?” pikirnya dalam hati. Tempat tidur besar dengan kelambu putih, karpet empuk, dan hiasan dinding mewah membuat Nara merasa seperti masuk ke dunia lain.

“Di sini bisa kan, Sayang?” tanya Melisa lembut.

Nara mengangguk sambil tersenyum. “Saya suka ma, Kamarnya… sempurna.”

“Ngomongnya jangan formal dong. Kamu sekarang udah bagian dari keluarga Mama,” tegur Melisa lembut.

“Iya, Ma… maaf,” jawab Nara gugup tapi senang.

“Bagus. Sekarang kamu istirahat ya. Selamat tidur, Sayang.” Melisa membelai pipi Nara sekali lagi sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan.

Nara memandangi ruangan itu sekali lagi. Rasanya tidak nyata. Hatinya masih dipenuhi tanda tanya, tapi juga… sedikit hangat. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia merasa diterima.

1
Bintang
Smgt 🌷
Etit Rostifah
lanjut ...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!