Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Rumah tua
Malam semakin larut dan hujan tak kunjung berhenti. Dingin menyelimuti tubuh mereka berdua.
"Saatnya melanjutkan perjalanan, tapi sebelumnya kita harus mencari tempat istirahat untuk sementara, karena malam semakin larut."
"Iyahh. Emm terimakasih untuk sebelumnya. Saya jujur tak menyangka akan lolos dari kejadian itu. Tak terbesit sedikitpun pikiran bahwa akan ada yang menolongku.." ucap wanita itu menggigil meskipun sudah diselimuti jaket dari Riski.
Mereka pun terus menelusuri gang sempit itu, dan terlihat sebuah rumah tua yang seolah telah ditelan waktu. Meski rasa takut menghiasi relung hati Riski, ia tetap menguatkan tekad untuk membawa dan menyelamatkan wanita asing itu. Mereka pun memilih untuk masuk ke dalam rumah itu karena memang hanya itulah satu-satunya tempat yang aman untuk mereka tempati. Untuk saat ini yah.
"Kita masuk dulu," ucap Riski sembari terus menopang tubuh wanita itu.
Derit pintu kayu yang nyaring saat didorong membuat suasana kelam itu seketika pecah, disertai petir dan hujan yang semakin membasahi langit kota Baubau ini. Dinding kayu yang terkelupas—serta kaca-kaca yang pecah—menambah atmosfer suram yang dipancarkan bangunan tua yang bergaya arsitektur Eropa. Derit lantai kayu yang dilewati langkah kaki pemuda itu menjadi musik sendu di malam hari.
"Kita cari kamar dulu di lantai dua. Semoga ada, untuk sementara kita istirahat. Sebenarnya saya ingin menghubungi temanku, tapi mungkin dia akan kerepotan jika aku minta dia menjemput kita saat malam ini," ucap Riski sembari terus waspada ketika melewati lantai yang basah akibat hujan yang merembes sedikit. Mereka sampai di lantai dua , di sebuah ruangan kamar yang berantakan—sebuah kamar yang ditutupi kain putih yang mencegah debu hinggap di atas ranjang tua itu.
"Istirahatlah dulu di atas ranjang ini."
Wanita di pelukannya menggigil, rambutnya yang basah menempel di pipi, dengan baju yang basah kuyup akibat hujan yang menerpa mereka. Aroma parfum wanita itu masih melekat.
"Halus sekali bau parfummu yah, mungkin merek dari Prancis atau Itali. Apakah kamu suka dengan hal seperti itu?" Riski mencoba memecahkan jarak di antara mereka yang seolah beku.
"Tolong menjauh..." Wanita itu nampak tidak nyaman karena Riski terlalu dekat. Seperti orang trauma atau dia menyimpan luka yang tak bisa dijelaskan.
"Hmmm, tidak masalah. Wajar, kita itu pria dan wanita. Kemudian memang bukan hal normal yahh karena kita ada di ruangan sempit." Riski menjaga jarak dari wanita itu. Meski dia telah menolong orang lain, dia tetap menjaga etika dan menghargai wanita itu.
"Maafkan saya, bukan berarti tidak percaya, cuma... emmm saya tidak bisa berucap apa-apa, hanya maaf."
Wanita itu masih menggigil, ibarat tikus yang basah diterpa air selokan.
"Saya Riski... salam kenal yah." Riski mengulur tangannya ke arah Wanita itu untuk menjabat tangan.
"Dinda," ucap wanita itu sembari menyambut hangat jabatan tangan Riski. Seolah mencegah kesalahpahaman yang mungkin terjadi di antara dua insan itu.
Tiba-tiba mata Riski menjadi awas. Seperti ada seorang yang mengintip dari balik pintu kayu. Sosok itu hanya seperti bayangan hitam dan mata merah menyala. Sosok itu entah kenapa seperti mengawasi mereka sedari tadi.
"Siapa di situ...!!!" teriak Riski sembari berlari ke arah matanya tertuju tadi. Rasa penasaran memuncak karena bisa jadi yang ia lihat itu adalah perampok—tapi yang bisa saja sesuatu yang lain, yang bisa mengantarkan mereka ke bahaya yang tersembunyi.
"Heiii, Riski... lebih baik kembalilah ke sini. Dia tidak berbahaya." Dinda terlihat mengetahui sesuatu tapi entah apa itu. "Hah? Maksudnya? Bisa tolong jelaskan apa dan siapa itu?" Riski mengerutkan dahinya karena dia merasa heran. Dia kembali ke dalam kamar itu dengan tenang yang palsu, kemudian dia duduk di kursi kayu yang berhadapan dengan jendela tua itu. Sambil mencari rokoknya, dia mencoba memecahkan rasa penasaran itu—rasa penasaran yang sedari tadi membuat hatinya tidak pernah tenang.
"Dia bukan manusia, dia penghuni rumah tua ini. Mungkin." Dinda menjelaskan kembali sesuatu yang ia lihat itu. Meksi secara nalar dan logika, tak ada apa-apa yang terlihat oleh Riski.
"Baiklah, jadi ceritanya kita dikejar perampok dan diintai makhluk halus? Begitu?" Tatapan Riski penuh rasa penasaran. Ia seolah-olah menerka-nerka apa yang terjadi saat ini. Jujur tak masuk di logika. "Yahh, bisa jadi seperti itu." Sambung Dinda.
Riski bangkit dari kursi dan mencoba mencari pakaian yang mungkin masih ada di lemari kamar itu. Hatinya tak sanggup melihat Dinda terus menggigil di malam hari. Akhirnya, ia menemukan sebuah pakaian, dan pakaian itu mirip pakaian gaya era victoria . Ia segera memberikan wanita itu pakaian.
"Ini pakaiannya, aku akan menunggu di luar. "
"Terima kasih, baiklah kalau begitu saya akan mengenakan." Dinda mengambil pakaian itu dari Riski. Tatapannya dalam, tapi entah kenapa Riski tak bisa menebak apa yang dipikirkan wanita itu.
Riski menunggu di luar sembari tetap waspada dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi dan siapa yang ada di sana. Ia menuruni tangga, kemudian ia menelusuri lorong rumah yang dimakan waktu. Dia pun sampai di ujung lorong yang membawa kilas balik pesona dunia lama.
"Foto?" Ia memperhatikan foto lama yang terpajang di ruang tamu rumah itu dan melihat siapa saja yang ada di dalam gambar tua itu. Tiba-tiba, sekelebat bayangan seperti mengantarkan dia untuk ke sebuah ruangan yang tidak terkunci di sudut ruangan keluarga itu.
Riski pun menuruti insting laparnya. Entah mengapa, dalam dadanya tak ada rasa takut. Hanya rasa penasaran yang memuncak. Seolah perasaan itu haus akan hal misterius yang tak bisa dijelaskan dengan logika manusia pada umumnya.
Pintu itu membuka dengan sendirinya—perlahan dan nyaris tanpa suara, seakan didorong oleh tangan yang tak kasatmata.
Rasa penasaran Riski semakin memuncak. Rasa ingin tahunya menggebu, mengaburkan rasa dingin yang sedari tadi menusuk masuk ke badannya. Entah apa yang ada di pikiran pria muda ini. Darahnya membara, haus akan petualangan yang belum pernah dijamah jari-jemari itu.
Riski melangkah masuk, tak tergesa. Setiap tapak langkahnya dipertimbangkan dengan cermat, seperti seorang ninja yang mengendap dalam rumah targetnya. Ruangan itu gelap, tapi tidak sepenuhnya. Ada celah kecil di jendela yang memungkinkan cahaya kilat dari luar sesekali menerobos masuk, menerangi ruangan itu sesekali. Seolah merestui rencana unik pria muda tersebut. Dia kembali lagi keluar ruangan itu, sembari mencari alat penerangan. Suara guntur, gemuruh hujan, dan kilatan petir menambah suasana dan atmosfer rumah tua ini. Angker dan misterius. Menyimpan banyak rahasia unik.
Langkah kakinya terhenti sejenak. Dan sekali lagi, dia membakar sepucuk rokoknya untuk menenangkan situasi yang dia rasakan. Kemudian ia menyadari ponselnya bisa digunakan.