Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Rasa tanggung jawab!
"Dari mana aja lo?" suara Rajata terdengar dingin begitu pintu kamar terbuka. Tatapannya tajam menyorot Tessa yang baru saja masuk.
Sejak pukul tujuh tadi dia sudah pulang, tapi tak mendapati keberadaan Tessa-istrinya di rumah. Bahkan saat makan malam pun Tessa absen, membuat Reza terus mencecarnya dengan pertanyaan.
"Lo nggak lihat sekarang jam berapa?" Nada Rajata meninggi sedikit, menyiratkan kekesalan yang ia tahan sejak tadi.
Tessa melepas sepatu pelan-pelan, matanya tampak lelah. "Lihat... jam sembilan kurang," jawabnya singkat, suaranya datar. Ia langsung mengambil handuk dari lemari, berniat menuju kamar mandi.
"Gara-gara lo gue jadi dimarahi papa!" sentak Rajata tajam. Suaranya membuat langkah Tessa yang hendak ke kamar mandi langsung terhenti.
Ia berdiri kaku di tempat, masih membelakangi Rajata. Jemarinya meremas handuk yang ia genggam, berusaha menahan napas yang tiba-tiba terasa sesak. Setelah dari kafe bersama Raisa, Diana, dan Putri, ia memang sempat mampir ke rumah lamanya. Di sana, rasa yang sejak pagi dipendam akhirnya pecah menjadi tangis panjang. Ia menangis hingga tubuhnya kelelahan dan tak sadar tertidur di sofa sampai larut malam.
Tapi buat apa dia menjelaskan semua itu pada Rajata? Untuk apa dia membuka diri, kalau laki-laki itu pasti tidak peduli? Baginya, Tessa mungkin hanya sekadar beban yang harus ditanggung demi memenuhi janji pada almarhum ayahnya.
Tessa menarik napas panjang. Alih-alih menjawab, ia justru melangkah tenang menuju kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rajata.
Brak! Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat dada Rajata makin panas. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
****
Siang itu, karena hari libur, Tessa sengaja bangun agak siang. Udara di kamar masih terasa dingin, dan ruangan itu pun sunyi. Rajata entah ke mana; sejak ia membuka mata, sosok laki-laki itu tak terlihat sama sekali.
Bukan apa-apa, tapi Tessa masih merasa asing di rumah ini. Setiap sudutnya seperti memandanginya dengan dingin, sama seperti tatapan-tatapan yang ia dapatkan dari beberapa penghuninya.
Tok tok tok.
Tessa tersentak saat suara ketukan di pintu kamarnya memecah keheningan. Dengan cepat ia merapikan rambut dan kaos longgar yang dikenakannya, lalu berjalan membuka pintu.
Di hadapannya berdiri Renata—ibu mertuanya. Meski usia Renata sudah cukup matang, kerutan di wajahnya hampir tak terlihat. Kulitnya masih kencang, tubuhnya ramping, dan penampilannya selalu rapi, membuatnya tampak jauh lebih muda dari usianya. Tatapan Renata tajam namun terselimuti senyum tipis yang sulit ditebak.
"Kamu hari ini libur, kan?" suara Renata terdengar lembut, tapi ada kesan otoriter yang tak bisa dihindari. "Sore nanti ikut saya belanja bulanan, ya?"
Tessa sempat terdiam, berusaha mencerna permintaan itu. Ada yang terasa janggal—entah kenapa, setiap kali bertemu Renata, ia selalu merasa ada maksud tersembunyi di balik setiap kata-katanya.
Renata sendiri punya niat lain. Ia sengaja mengajak Tessa keluar. Di pikirannya sudah tersusun rencana matang untuk membuat menantu ini tidak betah tinggal di rumah mereka.
"Kalau dia pergi dengan sendirinya, semua akan lebih mudah... " batin Renata sambil tersenyum samar.
Atas permintaan Renata kini merka sudah berada di supermarket, Tessa berjalan di belakang Renata sambil menenteng beberapa kantong belanjaan. Sejak awal, ia hanya mengikuti tanpa banyak bicara. Renata tampak sibuk memilih berbagai kebutuhan, sementara Tessa hanya membantu membereskan dan membawa keranjang.
"Letakkan di sini saja," perintah Renata singkat, saat mereka sampai di kasir. Tessa mengangguk dan mulai menyusun barang-barang di konveyor kasir.
Saat giliran mereka hampir tiba, Renata memegang keningnya, pura-pura meringis. "Tessa... kepala Mama agak pusing. Mama tunggu di mobil saja, ya? Kamu yang bayar dan bawa barang-barang ini."
Sebelum Tessa sempat menjawab, Renata sudah melangkah cepat keluar supermarket. Dengan hati yang sedikit berat, Tessa menghela napas. Ia tak terbiasa membawa belanjaan sebanyak ini, namun tetap berusaha. Ia tahu diri—statusnya di rumah itu terlalu rapuh untuk menolak.
Beberapa menit kemudian, setelah semua kantong plastik berhasil ia rapikan, Tessa menyeret troli berisi belanjaan ke area parkir. Pandangannya menyapu ke setiap sudut mencari mobil Renata. Tapi... tak ada. Ia berkeliling dua kali, bahkan sampai ke ujung parkiran, namun mobil itu tetap tidak terlihat.
Tessa menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Jadi... ini alasannya Mama Renata ngajak aku belanja?" bisiknya pada diri sendiri. Hatinya tercekat, perasaan sakit merambat pelan ke seluruh dadanya. Ia baru benar-benar sadar, Renata sengaja meninggalkannya.
Tessa menyeret trolinya kembali ke dekat pintu masuk supermarket. Ia menjatuhkan tubuh ke kursi panjang di sana, pasrah. Ia bisa saja pulang dengan ojek online, tapi... ponselnya tertinggal di rumah. Tadi Renata menyuruhnya cepat-cepat, membuatnya tidak sempat mengambil apa pun. Renata bahkan sengaja memberinya uang pas sehingga tidak ada sisa untuk ongkos nya pulang.
Hening. Tessa menatap jalanan di depan supermarket dengan pandangan kosong. Matanya mulai panas, ada genangan air yang ia tahan mati-matian. Rasanya seperti orang asing yang ditinggalkan di dunia yang tidak pernah benar-benar menerima kehadirannya.
"Ayah... Bunda... Tessa kangen..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Sore perlahan merangkak menjadi malam. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu. Angin malam yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Namun, ia hanya duduk di bangku panjang dekat pintu masuk supermarket, memeluk kedua lututnya. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Tanpa ponsel, tanpa uang, ia bahkan tidak bisa memesan ojek untuk pulang. Seingat nya ini sangat jauh dari rumah Rajata tidak mungkin juga dia jalan kaki.
Sementara itu, di rumah...
Rajata baru saja pulang dari latihan basket. Tubuhnya masih berkeringat ketika ia melangkah ke kamar. Namun, keningnya langsung berkerut saat mendapati kamar itu kosong. Tidak ada Tessa.
Awalnya ia hanya menghela napas, bersiap memarahi Tessa begitu gadis itu pulang. Tapi ketika matanya menangkap tas, dompet, dan ponsel milik Tessa yang tertinggal di atas meja, perasaan tidak enak tiba-tiba menghantam dadanya. Kalau dia nggak bawa apa-apa... dia kemana?
Tanpa pikir panjang, Rajata turun ke lantai bawah dan mendapati ibunya sedang duduk santai di ruang tamu.
"Mama lihat Tessa nggak?" tanyanya cepat.
Renata mendongak, senyum tipis terulas di wajahnya. "Oh... Tessa? Tadi Mama ajak dia belanja ke supermarket di Kebayoran."
Rajata mengerutkan dahi nya "Kebayoran? Jauh banget ma.."
"Memang sengaja," sahut Renata ringan. "Mama ajak dia yang jauh sekalian, terus Mama tinggalin dia di sana."
Rajata menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya. "Mama... sengaja ninggalin dia? Sendirian?"
"Iya. Kenapa? Lagipula dia sudah besar. Masa gitu aja nggak bisa pulang?" jawab Renata enteng. "Bagus kan dengan begini dia mulai sadar diri sama posisinya di rumah ini? Siapa tahu dia jadi nggak betah, cepat-cepat angkat kaki, dan kamu juga bisa lepas dari pernikahan ini."
"Mama..." Rajata menahan emosi nya agar tidak meledak. Yaa dia memang ingin bebas dari pernikahan ini tapi bukan berarti dengan membuat Tessa sengsara..
"Kalau sampai dia kenapa-kenapa gimana? Kalau sampai Papa tahu gimana?" Tanya Rajata yang mulai frustasi
"Papamu nggak akan tahu soal ini," ucap Renata santai sambil menyandarkan diri di sofa. "Dia lagi sibuk urusan bisnis di Bandung. Makanya Mama bisa dengan leluasa melancarkan aksi Mama kali ini, Ja."
Tatapan Rajata menusuk tajam ke arah ibunya. Ada amarah yang ia tahan dengan susah payah.
"Ma... dia itu tanggung jawab aku!" ucapnya dengan suara yang ditekan. "Kalau Mama mau melakukan sesuatu, setidaknya izin dulu sama aku."
Renata menoleh cepat, kaget dengan respon putranya. "Ja, kenapa kamu jadi peduli begitu sama dia? Atau jangan-jangan... kamu sudah mulai ada rasa sama dia?" tanyanya dengan nada menyelidik.
"Ma, ini bukan soal rasa," jawab Rajata sedikit meninggikan suara. "Ini soal tanggung jawab. Tessa baru saja kehilangan orang tuanya. Dia nggak pantas diperlakukan seburuk itu, Ma."
Carissa yang hendak mengambil minum di dapur spontan menghentikan langkahnya. Gadis itu mengintip dari balik pintu, menahan napas saat melihat kakaknya bersitegang dengan Mama mereka di ruang tamu. Suasana mendadak terasa tegang dan berat.
Setelah adu mulut singkat dengan Renata, Rajata langsung melangkah cepat menuju kamarnya. Tangan besarnya meraih kunci mobil di atas meja kerja dengan gerakan tergesa. Dadanya sesak membayangkan Tessa sendirian di tempat asing tanpa ponsel, tanpa uang, tanpa siapa pun. Dia bahkan belum smepat ganti baju sepulang latihan.
"Ya Tuhan, semoga dia nggak kenapa-kenapa," gumamnya sambil menyambar jaket.
Renata yang masih berdiri di ruang tamu menatap punggung anaknya dengan kesal. "Rajata! Mau ke mana kamu malam-malam begini? Nggak usah lebay deh, dia kan udah besar, bisa jaga diri!" teriaknya.
Tapi Rajata tidak menggubris. Ia hanya melemparkan tatapan tajam penuh kekecewaan sebelum menutup pintu rumah dengan keras.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa