Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Dewa dan Dewi Asmaraloka
Sekarang Romeo duduk di tepi tempat tidurnya yang besar berhias dengan emas, sedangkan Tina gadis itu mondar-mandir. Mereka sangat bingung bagaimana caranya mereka sampai disini?
Padahal tadi mereka menuju pintu keluar dari museum. "Lo gak capek apa?"
"Capek banget, buat mikir bantuin kek." jawab Tina kesal.
Belum sempat Romeo dan Tina—atau siapa pun mereka kini—memahami apa yang sedang terjadi, suara langkah cepat menggema di lorong luar. Seorang prajurit berpakaian zirah perak dan membawa tombak emas masuk terburu-buru, berlutut dengan satu tangan di dada.
"Yang Mulia! Yang Mulia!" serunya, napasnya terengah. "Mohon maaf atas kedatangan hamba tanpa izin... tapi kami diserang! Pasukan iblis dari lembah kelam telah menembus gerbang barat!"
Tina menoleh pada Romeo, bingung. "Yang Mulia?"
Romeo tampak bingung juga, tapi prajurit itu memandang mereka dengan penuh hormat dan harap. "Dewa Asmara dan Dewi Cinta... negeri ini menantikan perintah kalian."
Seketika itu juga, angin berembus kencang dari jendela. Sebuah pusaran cahaya muncul di langit-langit ruangan, memperlihatkan bayangan pasukan kegelapan yang menyerbu desa-desa dewa. Makhluk-makhluk bertanduk dengan mata merah menyala, membawa senjata aneh dan menyebarkan kabut gelap.
Tina memegang lengan Romeo. "Rom kita beneran ada di dunia lain. Dan orang-orang ini nganggep kita dewa dan dewi."
Romeo perlahan berdiri tegak. Entah mengapa, tubuhnya terasa dipenuhi kekuatan yang berbeda dari sebelumnya—seolah darah para dewa memang mengalir dalam dirinya sekarang.
"Aku... bukan 'Yang mulia'," katanya pelan, namun tegas. "Aku... Dewa Asmara?"
Tina menarik napas dalam. "Dan aku Dewi Cinta, Kamaratih?"
Prajurit itu mengangguk, dengan kepala tertunduk. "Kita membutuhkan kekuatan cinta kalian untuk membangkitkan pelindung kerajaan. Tanpa kalian, perisai langit tidak akan bangkit dan Asmaraloka akan jatuh ke tangan iblis."
Prajurit itu pergi meninggalkan mereka berdua di dalam kamarnya, mungkin bagi Tina itu aneh dan kamar itu sangat mewah sekali, ia tak tau itu adalah emas.
Di luar, genderang perang mulai berdentum. Perjalanan mereka baru saja dimulai.
"Romeo, ini salah gak sih?" bisik Tina yang menahan Romeo agar tidak keluar kamar itu karena Tina takut.
"Kita disini bukan Tina atau Romeo, kita dewa asmara katanya," bisik juga Romeo.
"Terus nama gue siapa?" tanya Tina tidak tenang.
"Ah Lo, rugi banget dia ajak ke museum. Gue Kamanjaya sedangkan Lo Kamaratih." jawab Romeo pada gadis itu.
Tina—atau kini dipanggil Kamaratih—masih memandangi pantulan dirinya di cermin besar berbingkai emas yang menjulang di depan tempat tidur. Gaun panjang berwarna merah muda dengan benang-benang emas menghiasi tubuhnya, rambutnya ditata rumit dengan perhiasan batu permata yang berkilauan. Tapi semua itu justru membuat dadanya sesak.
"Kamara...tih?" gumamnya. "Gue bahkan nggak tahu cara jalan pakai baju beginian."
Romeo—Kamanjaya—tersenyum kecut sambil merapikan kain panjang yang menjuntai dari sabuk emasnya. "Tenang aja, gue juga nggak ngerti kenapa sekarang bisa jago bahasa formal dan tahu tata letak istana."
Tina memandangnya, setengah kesal, setengah panik. "Tapi kalau ini beneran dunia dewa, dan kita punya peran penting, terus kalau kita salah ambil keputusan? Gimana?"
Belum sempat Romeo menjawab, pelayan yang tadi datang kembali menunduk dengan sopan.
"Yang Mulia, para dewa sudah berkumpul di aula suci. Dewa Petir bahkan mulai menunjukkan ketidaksabaran. Mereka membicarakan senjata suci yang bisa membalikkan keadaan perang. Dan... mereka tak bisa memutuskan tanpa restu cinta dari kalian."
Romeo dan Tina saling berpandangan. Hati mereka sama-sama berdebar, tapi entah kenapa, di balik semua kebingungan dan ketakutan... ada sesuatu yang mengikat mereka lebih kuat di tempat ini. Seolah cinta mereka memang punya kekuatan, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi untuk dunia yang lebih besar.
"Baik," kata Romeo akhirnya, mengambil napas panjang. "Antar kami ke aula."
Tina menggenggam tangan Romeo erat-erat. "Kalau gue jatuh pas jalan, jangan diketawain ya."
Romeo tersenyum. "Kalau lo jatuh, gue ikut jatuh. Biar serasi."
Mereka pun melangkah keluar dari kamar, melewati lorong-lorong istana yang megah, menuju ke ruang suci tempat takdir mereka sedang ditunggu oleh para dewa dan dunia.
Mereka mengikuti pelayan itu,"Dia siapa?" bisik Tina pada Romeo. "Dia pelayan setia dewa Kamanjaya. Gue lupa namanya dia siapa."
Tina masih kesulitan dengan gaun ini, "Sumpah gue gak akan pernah ekspektasi kalau bakalan tiba-tiba disini." gumam Tina kesal.
Romeo melirik Tina yang berjalan setengah terseret dengan gaunnya yang menjuntai panjang, lalu menahan tawa. "Lo cantik banget sih, tapi gaya lo jalan kayak habis kena kram."
Tina mendelik tajam. "Lo enak, baju lo kayak pangeran dari cerita dongeng, sedangkan gue ngerasa kayak baju ini bakal makan gue hidup-hidup."
Pelayan di depan mereka mendengar gumaman itu tapi tetap berjalan lurus, sesekali menoleh untuk memastikan mereka mengikutinya.
"Yang Mulia Kamanjaya dan Kamaratih, aula suci sudah dekat. Mohon bersiap-siap dengan sikap agung kalian," katanya sopan.
"Agung...?" bisik Tina makin panik. "Gue harus jalan gimana? Kayak putri raja? Gak bisa, sumpah. Gue biasanya duduk di pojok kelas, main hp, sekarang disuruh kayak gini?"
Romeo menahan tawa lagi sambil mencoba bersikap tenang. "Tenang, kita pura-pura aja udah sering kayak gini. Lagian... bukannya lo suka drama? Anggap aja ini casting."
Tina meringis. "Casting apa yang masuk ke dunia dewa dan bisa bikin dunia kiamat kalau salah ngomong?"
Tiba-tiba mereka sampai di depan gerbang besar bertatahkan permata yang terbuka perlahan, menampakkan ruang aula suci—penuh cahaya, suara nyanyian halus, dan para dewa yang duduk di singgasana melingkar.
Aura ruangan itu langsung membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Yang Mulia Kamanjaya dan Kamaratih telah tiba!" seru pelayan itu lantang.
Tina menelan ludah. "Rom... kita bener-bener harus akting nih sekarang."
Romeo menegakkan tubuhnya dan mengangguk. "Tenang. Kita jalan berdua. Kalau jatuh...jatuh bareng."
Mereka pun melangkah masuk, perlahan, ke tengah-tengah takdir baru yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Begitu mereka tiba di tengah aula suci, seluruh dewa dan dewi berhenti berbicara. Semua mata tertuju pada pasangan yang baru saja datang—Kamanjaya dan Kamaratih—yang dikenal sebagai lambang cinta dan kesatuan di antara para dewa. Aura agung menyelimuti ruangan itu, namun di balik semua itu, Tina menahan napas dan mencoba agar tidak salah langkah.
Seorang dewa berjubah biru tua, bermata tajam dan bersuara berat berdiri dari singgasananya. "Yang Mulia Kamanjaya, kami menantikan keputusanmu. Apakah kau akan memimpin pasukan asmara untuk menjaga keharmonisan di antara para dewa dan manusia, atau... akan membiarkan kekacauan menguasai hati mereka saat para iblis menyebarkan racun kebencian dan ketamakan?"
Tina melirik Romeo penuh panik. "Gue gak ngerti apa-apa, Rom. Gak ngerti sumpah. Racun kebencian? Ini udah kayak film!" bisiknya pelan.
Romeo menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat tenang meski jantungnya serasa loncat dari dada. Ia melangkah setengah maju dan menjawab dengan suara sekuat mungkin:
"Sebagai Kamanjaya, aku tak akan membiarkan kekuatan kegelapan merusak cinta yang menjadi dasar semesta. Pasukan asmara akan bersiap. Namun aku memohon waktu—untuk memahami medan, musuh, dan kekuatan yang kini bangkit dari kegelapan."
Para dewa mengangguk perlahan, beberapa berbisik satu sama lain. Dewi cahaya yang duduk di sisi kiri aula menatap Tina dengan senyum lembut.
"Dan bagaimana dengan Kamaratih?" tanyanya lembut. "Apa kau siap berdiri bersama Kamanjaya seperti yang tertulis dalam takdir langit?"
Tina menoleh cepat ke Romeo. "Apa yang harus gue jawab, Ro? Sumpah gue gak ngerti peran gue disini!"
Romeo menoleh dan dengan senyum tipis menjawab pelan, "Bilang aja lo selalu percaya sama cinta, dan akan berdiri untuk itu."