Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemotretan, pelukan, dan pandangan yang gak lagi sama
Pagi ini, dari jam 6 subuh, rumah udah kayak studio dadakan.
Tim fotografer, make-up artist, stylist, bahkan yang ngurus lighting udah wara-wiri kayak semut di sarang madu. Gue? Duduk di depan cermin, lagi di-make up kayak mau kawinan.
“Warna bibirnya nude aja, ya, Kak Nayla. Biar natural. Tema hari ini ‘Keluarga Harmonis & Elegan’,” kata si MUA sambil nempelin bulu mata palsu ke kelopak gue.
Gue cuma senyum tipis. Natural, katanya. Padahal hatiku penuh ketidakalamian.
Dari cermin, gue liat Rayyan keluar dari kamar mandi.
Jas abu muda. Kemeja putih. Rambut disisir rapi. Parfum yang biasa gue cium tiap dia lewat—hari ini rasanya nempel di dada.
“Siap, istri pura-pura?” bisiknya pas duduk di samping gue.
Gue nyeletuk pelan, “Lo terlalu ganteng buat pura-pura, Ray.”
Dia cuma senyum kecil. Tapi mata kami sempat saling pandang… dan untuk sepersekian detik, dunia kayak berhenti.
Gue bahkan lupa bulu mata gue belum kering.
Sesi foto dimulai.
Pose pertama: duduk berdampingan di sofa.
Pose kedua: berdiri berhadap-hadapan, saling pegang tangan.
Pose ketiga: pelukan dari belakang, gue nyender ke dadanya, dia nyenderin dagu ke bahu gue.
Awalnya semua terasa canggung. Tapi lama-lama… entah kenapa pelukannya jadi lembut. Hangat. Gak sekadar akting.
Gue bisa denger detak jantungnya. Napasnya. Bahkan denyut nadinya di pergelangan tangan yang nempel di pinggang gue.
“Nayla…” bisiknya lirih, “Lo gak usah terlalu tegang.”
Gue jawab pelan. “Gue bukan tegang karena kamera, Ray.”
Dia ngelirik. “Terus?”
“Karena… ini semua terlalu nyaman buat sesuatu yang katanya cuma ‘kontrak’.”
Rayyan gak jawab.
Cuma pelukannya yang makin erat.
Sesi foto selesai.
Tapi yang gak selesai? Getaran aneh yang ngendap di hati gue. Gue ngelirik dia waktu dia ngobrol sama fotografer, dan gue sadar… ada sesuatu di cara dia mandang gue sekarang.
Bukan tatapan dingin kayak dulu.
Bukan juga pandangan “kontrak doang”.
Lebih... dalem. Lebih rumit.
Dan itu bikin hati gue mulai gak karuan.
Sehari setelah sesi pemotretan, gue baru aja bangun tidur, belum gosok gigi, belum cuci muka, dan HP gue udah rame.
Notif Instagram? Gila. Seratus lebih.
Gue buka satu-satu. Dan...
Tadaaa.
Salah satu akun gosip ngepost foto candid gue sama Rayyan dari pemotretan kemarin. Bukan yang resmi. Tapi yang diambil dari samping, pas kita lagi saling pandang.
Caption-nya:
“Bukan akting? Tatapan ini gak bisa bohong. Netizen: vibes-nya real banget!”
Gue langsung bengong.
Gue zoom-in fotonya.
Dan ya ampun… itu tatapan Rayyan waktu dia ngeliat gue…
Bukan tatapan biasa. Bukan tatapan dingin ala CEO nyebelin.
Itu... tatapan yang bikin dada gue anget. Yang bikin gue sendiri nanya, “Itu tadi beneran Rayyan?”
Siangnya, Rayyan pulang lebih awal dari kantor.
Dia buka pintu, masih pake jas, dasi setengah longgar, rambut agak acak karena seharian rapat.
“Lo liat foto yang viral itu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Gue angguk pelan. “Liat.”
“Komentarnya parah. Semua orang percaya kalau kita beneran pasangan yang lagi jatuh cinta.”
Gue nyengir kecut. “Karena kita terlalu jago akting?”
Dia diem sebentar. Terus jalan ke arah gue, duduk di samping sofa. Mata kita ketemu lagi.
“Gue gak suka pura-pura terus, Nay.”
“Lo mau ngaku ke media kalau ini pernikahan kontrak?”
Nada suara gue agak naik. Panik, jujur aja.
“Enggak,” jawabnya pelan. “Gue mau kita... coba gak pura-pura.”
Deg.
Gue melongo. “Maksud lo?”
“Coba... buka sedikit hati. Jalani ini kayak pasangan beneran. Bukan karena media, bukan karena Adit, bukan karena bokap gue. Tapi karena... gue gak pengen lo jadi orang asing di samping gue.”
Gue diem.
Kepala gue penuh tanda tanya.
Tapi hati gue... aneh. Bahagia tapi takut.
“Nayla,” katanya pelan. “Gue tahu ini awalnya cuma kontrak. Tapi boleh gak... kalau mulai sekarang, kita stop hitung-hitungan?”
“Dan...?”
“Dan mulai jadi dua orang yang saling belajar... jatuh cinta.”
Gue gak bisa jawab.
Bibir gue bungkam, tapi mata gue... iya.