Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ketahuan
"Ah, tidak Tuan, saya tidak sengaja!" Emelia menyangkal dengan cepat, wajahnya semakin memerah karena rasa malu yang luar biasa. Dia mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Saya hanya... hanya jalan-jalan saja. Mencari udara segar di koridor malam."
Duke Gideon melipat kedua tangannya di depan dada, ekspresinya tetap datar dan mengintimidasi. "Jalan-jalan?" ulangnya, suaranya dipenuhi keraguan. "Sampai menempelkan telinga di pintu ruanganku?"
Emelia menggigit bibir bawahnya, kehabisan kata-kata. Kebohongannya terbongkar dalam sekejap. Matanya melirik ke arah obor yang berkelap-kelip, mencoba menghindari tatapan tajam Duke. Dalam kepanikannya dan entah apa yang merasuki benaknya, Emelia tiba-tiba mengeluarkan kalimat yang jujur namun sangat tidak tepat waktu.
"Iya... hari ini Tuan ganteng sekali," ucapnya lirih, namun cukup jelas terdengar di keheningan koridor.
Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, Emelia ingin sekali menampar dirinya sendiri. Duke Gideon terdiam sejenak, keterkejutan terlihat jelas di matanya yang sebelumnya dingin. Kilatan geli di matanya kini terlihat lebih jelas.
"Oh?" gumamnya, langkahnya maju satu langkah mendekati Emelia yang langsung tersentak mundur karena refleks. Jarak di antara mereka kembali menipis, membuat Emelia semakin gugup.
"Jadi, karena 'Tuan ganteng sekali', kau merasa berhak menguping dan menciumku?" tanyanya dengan nada menggoda yang tipis, seringai kecil muncul di sudut bibirnya.
Emelia semakin panik, "Bukan begitu, Tuan! Maksud saya—"
Duke Gideon mengangkat tangannya, menghentikan Emelia yang sedang gagap. "Cukup," katanya, suaranya kembali ke nada seriusnya yang biasa. "Kembali ke kamarmu, Emelia. Dan lain kali, jika kau penasaran, ketuk pintunya. Jangan bertingkah seperti tikus."
Emelia menunduk dalam, malu luar biasa. "Baik, Tuan." Dia berbalik dengan cepat dan berjalan menjauh, langkahnya tergesa-gesa.
Sesampainya di kamar, Emelia langsung menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur besar itu, membenamkan wajahnya ke bantal sutra. Dia merutuki dirinya sendiri habis-habisan.
"Bodoh! Bodoh sekali, Emelia!" rutuknya sambil memukul bantal pelan. Bagaimana bisa dia mengeluarkan kata-kata konyol seperti itu di depan Duke yang menakutkan? Menguping sudah memalukan, ditambah lagi insiden ciuman yang tidak disengaja, dan puncaknya, memuji ketampanan pria itu!
Wajahnya terasa panas lagi hanya dengan mengingat seringai tipis di bibir Duke. Pria itu pasti menertawakannya sekarang. Semua harga dirinya sebagai Emelia Grace, si gadis desa pemberani, hancur lebur dalam satu malam. Dia merasa ingin menghilang dari muka bumi.
Malam itu, Emelia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus berputar pada kejadian memalukan di koridor.
Pagi pun tiba. Cahaya matahari menembus jendela kamar Emelia, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya yang gelisah. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan.
"Masuk," kata Emelia dengan suara serak.
Gerya masuk dengan membawa nampan berisi sarapan lezat—roti panggang, telur orak-arik, dan secangkir teh hangat. Wajah pelayan setia itu terlihat cerah.
"Selamat pagi, Nona," sapa Gerya riang, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur. "Wah, Nona terlihat segar pagi ini!"
Emelia hanya tersenyum tipis, masih teringat kejadian semalam.
"Nona, kau sudah tahu?" tanya Gerya penuh semangat. "Hari ini Nona ingin diajak Tuan pergi!"
Emelia tersentak kaget, matanya membulat. "Pergi? Pergi ke mana?"
"Tuan tidak memberitahuku secara spesifik, Nona, tapi dia meminta Nona bersiap dengan pakaian bepergian yang nyaman. Katanya mereka akan menunggu Nona di kereta kuda dalam satu jam," jelas Gerya.
Emelia mengerutkan keningnya, bingung. Setelah kejadian canggung semalam, Duke Gideon malah mengajaknya pergi? Ini pasti bagian dari rencana rahasia Duke untuk membuatnya semakin bingung.
"Baiklah, Gerya. Bantu aku bersiap," putus Emelia, rasa penasarannya kembali muncul mengalahkan rasa malunya. Petualangan baru sepertinya sudah menanti.
Sesampainya di kamar, Emelia langsung menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur besar itu, membenamkan wajahnya ke bantal sutra. Dia merutuki dirinya sendiri habis-habisan.
"Bodoh! Bodoh sekali, Emelia!" rutuknya sambil memukul bantal pelan. Bagaimana bisa dia mengeluarkan kata-kata konyol seperti itu di depan Duke yang menakutkan? Menguping sudah memalukan, ditambah lagi insiden ciuman yang tidak disengaja, dan puncaknya, memuji ketampanan pria itu!
Wajahnya terasa panas lagi hanya dengan mengingat seringai tipis di bibir Duke. Pria itu pasti menertawakannya sekarang. Semua harga dirinya sebagai Emelia Grace, si gadis desa pemberani, hancur lebur dalam satu malam. Dia merasa ingin menghilang dari muka bumi.
Malam itu, Emelia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus berputar pada kejadian memalukan di koridor.
Pagi pun tiba. Cahaya matahari menembus jendela kamar Emelia, membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya yang gelisah. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan.
"Masuk," kata Emelia dengan suara serak.
Gerya masuk dengan membawa nampan berisi sarapan lezat—roti panggang, telur orak-arik, dan secangkir teh hangat. Wajah pelayan setia itu terlihat cerah.
"Selamat pagi, Nona," sapa Gerya riang, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur. "Wah, Nona terlihat segar pagi ini!"
Emelia hanya tersenyum tipis, masih teringat kejadian semalam.
"Nona, kau sudah tahu?" tanya Gerya penuh semangat. "Hari ini Nona ingin diajak Tuan pergi!"
Emelia tersentak kaget, matanya membulat. "Pergi? Pergi ke mana?"
"Tuan tidak memberitahuku secara spesifik, Nona, tapi dia meminta Nona bersiap dengan pakaian bepergian yang nyaman. Katanya mereka akan menunggu Nona di kereta kuda dalam satu jam," jelas Gerya.