NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hubungan yang retak

“Loh, sudah makan, Lif?” tanya Anna tiba-tiba.

“Sudah. Tadi bareng anak-anak,” jawabku santai. “Kenapa? Kamu lapar? Masih ada tuh di meja kalau mau.”

Tak kusangka, Anna benar-benar berjalan ke dapur tanpa banyak protes. Ia langsung mengambil piring dan mulai memakan nasi goreng buatanku sore tadi.

Aku menghela napas kecil.

“Doa dulu, An. Kamu kayak anak kecil. Anakmu aja lebih pintar.”

Anna melirikku sebal, lalu berhenti makan sejenak.

“Sorry, lupa,” ucapnya ringan.

Ia mengangkat kedua tangan dan membaca doa makan dengan suara cukup keras. Jelas itu sindiran buatku.

Aku hanya tersenyum tipis. Gini-gini, keluarga kami memang diajari agama sejak kecil—nggak alim-alim banget, tapi tahu batas.

Aku bersandar di meja, menopang kedua sikuku, memperhatikannya makan. Sepupuku yang satu ini memang tak pernah anggun. Duduk bersila di atas kursi, makan dengan lahap tanpa peduli penampilan.

“Kenapa lo liatin gue, Lif?” katanya sambil mengunyah. “Mau nyesel makanan lo kasih ke gue? Tapi udah telanjur, hampir habis. Masak lagi aja. Kalau nggak ada beras, telepon Ayah Ahsan sana, minta beras.”

Aku terkekeh. “Ngawur.”

Ada-ada saja. Masa iya aku harus minta beras ke paman kami yang tinggal jauh di Parepare.

“Nggak,” ucapku akhirnya sambil menguap. “Gue mau tidur. Capek.”

Aku meninggalkannya makan sendirian di dapur, lalu melangkah menuju kamar tamu di lantai bawah—dekat ruang tamu. Tubuhku lelah, tapi pikiranku masih penuh oleh satu nama yang terus berputar di kepala.

Anna…

Setelah kenyang, Anna mencuci piringnya sendiri. Ia mengeringkannya satu per satu, lalu menyusunnya rapi ke dalam rak. Setelah dapur kembali bersih, Anna melangkah keluar dan menaiki tangga.

Namun ia tidak langsung menuju kamar utama.

Langkahnya berhenti di depan pintu kamar anak sulungnya.

Anna membuka pintu perlahan. Abian Naren Alfalaq, putra tampannya, sudah tertidur pulas—tanpa selimut. Wajahnya tenang, begitu mirip dengan laki-laki yang dulu ia percaya sepenuh hati. Laki-laki yang kini justru meninggalkan luka paling dalam di hatinya.

Anna menahan napas.

Ia membuka lemari, mengambil selimut, lalu menghampiri ranjang dengan langkah setenang mungkin. Perlahan ia menyelimuti tubuh Abian, membenarkan posisi selimut hingga menutup dada anak itu.

“Kamu harus selalu baik-baik saja, Nak,” bisiknya lirih.

Setelah memastikan Abian nyaman, Anna melangkah mundur dan menutup pintu kamar dengan hati-hati.

Pintu berikutnya berada tepat berhadapan—kamar putra bungsunya.

Anna membukanya perlahan.

Ayyan Ayyub Alfalah sudah tertidur, memeluk erat mobil-mobilan kesayangannya. Anna tersenyum tipis. Ia tahu betul itu pasti pemberian sepupunya.

Dengan hati-hati, Anna melepaskan mainan itu dari pelukan kecil putranya, lalu meletakkannya ke dalam lemari. Ia membenarkan selimut Ayyan, memastikan tubuh mungil itu hangat.

Anna lalu menunduk dan mengecup pipi putra bungsunya dengan lembut.

“Sayang… maafin Mama ya, Nak,” bisiknya dengan suara hampir tak terdengar.

“Mungkin nanti… kita bakal hidup bertiga saja. Mama, Abang, dan Adek.”

Ia menahan napas, menelan perih di dadanya.

“Nggak apa-apa, kan, Nak…?”

Setelah memastikan semuanya rapi dan anak-anak terlelap, Anna menutup pintu kamar dengan hati-hati. Langkahnya kemudian berbelok menuju ruang gym kecil di dekat rooftop—tempat yang jarang ia datangi, kecuali saat pikirannya benar-benar penuh.

Begitu pintu tertutup, ia berdiri di depan samsak yang menggantung. Tangannya mengepal.

Dan tanpa aba-aba—

Buk! Buk! Buk!

Pukulannya menghantam keras. Bertubi-tubi. Tak ada teknik rapi, tak ada irama. Hanya luapan emosi yang selama ini ia pendam rapat-rapat.

Napasnya memburu. Rahangnya mengeras. Setiap pukulan seolah mewakili kata-kata yang tak pernah terucap, amarah yang tak pernah diberi ruang.

Ia memukul lagi.

Lebih keras.

Lebih brutal.

“Kenapa, Mas?” teriak Anna di sela napasnya yang terengah.

“Kamu mengkhianati aku… aku salah apa?”

Pukulannya kembali menghantam samsak.

“Aku sudah mengorbankan masa mudaku buat jadi istrimu!” suaranya pecah.

“Kenapa? Kenapa harus begini?”

Bayangan itu kembali menghantam pikirannya.

Rian—suaminya—tampak begitu perhatian. Tapi bukan padanya.

Ia masih ingat jelas hari itu. Sebulan lalu. Saat tanpa sengaja Anna melihat mobil Rian berbelok ke arah yang berlawanan. Karena curiga, ia mengikutinya dari belakang. Jantungnya berdegup tak karuan ketika mobil itu berhenti di depan sebuah apartemen.

Apartemen sahabatnya sendiri.

Anna memarkir mobil agak jauh—cukup untuk melihat semuanya dengan jelas. Dari kejauhan, ia melihat Rian turun, lalu mengusap perut Mesya dengan penuh kasih.

deg,,,,,....

ada hubungan apa suaminya dengan sahabatnya.

Dunia Anna runtuh seketika.

Saat itu, amarahnya membuncah. Tangannya gemetar. Ia ingin keluar dari mobil, menghajar mereka berdua saat itu juga. Tapi logikanya menahan. Ia tidak mau bertindak tanpa bukti.

Anna memilih diam.

Dan mulai mencari kebenaran.

Ia menyewa seorang detektif swasta.

Dan hasilnya… menghancurkan.

Kecurigaannya terbukti benar. Suaminya bermain api—bukan dengan orang asing, tapi dengan sahabatnya sendiri. Pria yang selalu berdalih sibuk ke luar kota itu ternyata sibuk berselingkuh.

Mengkhianatinya.

Pukulan terakhir Anna menghantam samsak dengan keras. Tubuhnya melemah. Ia berhenti, bersandar, napasnya tersengal.

Saya akan memberimu pelajaran mas, ???

1
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!