Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: KEHENINGAN RUMAH YANG MEREKAM PENDERITAAN AYAH
Malam Sunyi di Pulau
Bara bersandar di bawah rimbunnya Pohon Cemara Laut. Malam itu terasa menusuk dingin, jauh lebih parah daripada malam-malam yang ia lalui sejak terdampar. Setelah pengalaman sujudnya di Cadas Sunyi yang mencapai titik nol keikhlasan, diikuti oleh penampakan mata bercahaya yang misterius, Bara merasa energinya terkuras habis, bukan hanya secara fisik, tetapi secara psikologis.
Ia mencoba memejamkan mata, memaksakan tidur yang sangat dibutuhkan tubuhnya yang krisis. Namun, ia tidak bisa. Krisis fisik bercampur dengan gangguan psikologis yang halus namun kejam.
Setiap kali ia mencoba memasuki alam tidur, tubuhnya menegang, dan pikirannya menayangkan adegan yang sama berulang kali. Kilasan air laut badai yang memisahkan dirinya dari kapal yang ia tumpangi. Ia melihat wajah Yanto, rekannya yang hilang. Ia merasakan dinginnya air yang menampar wajahnya dan mendengar suara puing yang pecah.
Bukan hanya ingatan, melainkan sensasi fisik nyata. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek dan tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi punggungnya meskipun suhu udara di pantai sangat rendah. Ini adalah manifestasi awal dari ketakutan mendalam, sebuah trauma yang kini dipicu oleh kesendirian dan kelemahan fisik. Ia mengalami Gangguan Tidur yang parah.
Ia bangkit, memeluk lututnya erat-erat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang.
“Tenang, Bara. Kau selamat. Kau sudah ikhlas.”
Namun, logikanya tidak mampu menenangkan instingnya. Laut adalah pencuri segalanya, dan kini laut kembali dalam mimpi buruknya, mengancam untuk menenggelamkan kewarasannya. Bara hanya bisa duduk bersandar, memeluk lututnya, dan meraih satu-satunya benda yang memberinya kekuatan: Buku Doa Musafirnya.
Di bawah cahaya rembulan yang redup, Bara membuka halaman-halaman yang sudah basah dan lusuh itu. Ia membaca ulang doa-doa yang pernah ia tulis, mencari kalimat yang bisa ia jadikan jangkar. Ia mencari doa panjang yang pernah ia tulis, yang didedikasikan untuk Mala.
“Ya Allah, jangan biarkan Nirmala merasa sendirian. Izinkan ia tahu, ia adalah prioritas di tengah badai ini.”
Ia membaca setiap kata dengan suara pelan, seperti membisikkan mantera ke telinganya sendiri. Setiap kata adalah janji. Setiap janji adalah jangkar yang menahannya agar tidak terseret kembali ke dalam pusaran trauma. Setelah beberapa saat, Bara merasakan sedikit kelegaan, tetapi tidur tetap menjauh. Ia memutuskan untuk tetap terjaga, membiarkan tubuhnya melawan kelelahan dengan harapan fajar segera tiba. Penderitaan fisiknya kini berubah menjadi penderitaan spiritual yang direkam oleh alam semesta.
“Aku harus kuat. Aku harus kuat demi mereka,” bisiknya, merasakan sakit yang tajam di sekujur tubuhnya, sebuah rekaman penderitaan yang melintasi dimensi.
Rumah yang Merekam Kesakitan
Di rumah yang tenang dan terawat, ribuan kilometer jauhnya, keheningan malam terasa berat bagi Rina. Setelah menghadapi ultimatum Bunda Ida, Rina akhirnya berhasil tertidur paksa setelah menerima semacam sentuhan dingin yang aneh, menenangkan tubuhnya yang krisis.
Namun, tidur itu tidak nyenyak. Ia merasa seperti tidur di atas permukaan air yang goyah, selalu siaga.
Di kamar sebelah, Arka, putranya, terbangun.
Biasanya Arka tidur pulas dan sulit dibangunkan. Malam ini, ia gelisah. Ia bangkit dari matrasnya, kakinya menjejak lantai kayu kamar Bara dan Rina—tempat ia tidur sementara.
Ia tidak menangis atau rewel. Ia hanya mondar-mandar di sudut ruangan, di samping lemari pakaian Bara yang kosong. Gerakannya aneh, terpotong-potong, seolah ia sedang mencoba membantu seseorang yang terperangkap di sudut yang gelap dan dingin. Arka, sebagai penerima Divine Echo yang paling sensitif, secara naluriah merasakan kegelisahan Bara, Gangguan Tidur, dan kilasan PTSD Bara di pulau yang sunyi.
Arka menggerakkan tangannya ke udara, ke sudut kamar yang kosong, seolah ada jaring tak kasat mata yang harus ia singkirkan. Ia memukul pelan lemari Bara. Kemudian ia merangkak, mendekati lemari, dan bersandar di sana. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan napas, lalu melepaskannya dengan desahan panjang. Gerakan dan desahan ini persis menirukan upaya Bara menenangkan diri di pulau.
Gerakan dan desahan itu membangunkan Rina. Rina bangkit dengan kepala masih terasa berat. Ia melihat Arka yang kini berdiri di sudut, menatap lemari itu.
“Arka, sayang. Kenapa? Ada apa?” Rina bertanya lembut. Ia melihat jam dinding. Sudah pukul 03.30, waktu yang sama saat ia sering terbangun karena Gema.
Arka tidak menoleh. Ia hanya menunjuk ke sudut kamar Bara, tempat bayangan malam berkumpul.
“Tidak ada apa-apa di sana, Sayang. Hanya bayangan.” Rina mencoba menenangkan, tetapi Arka menggeleng kuat.
Arka mendongak, matanya yang besar dan coklat menatap Rina. Dalam tatapannya, ada campuran kebingungan dan kesedihan yang asing. Ia seperti sedang melihat penderitaan yang tak terlihat. Rina merasa merinding. Ia tahu ini bukan sekadar anak yang bangun tengah malam. Ia merasa rumahnya, kamarnya, sedang merekam kesakitan spiritual yang Bara alami di pulau nun jauh di sana.
“Dia merasakan ketidaktenangan Ayahnya. Dia merasakan Gangguan Tidur itu,” bisik Rina pada dirinya sendiri.
Rina memeluk Arka, dan kali ini, Arka tidak menolak. Ia membenamkan wajahnya di bahu Rina, tetapi tangannya tetap terentang ke sudut kamar yang kosong, seolah memeluk bayangan yang tak terlihat. Keheningan rumah itu terasa berat, dipenuhi oleh beban trauma yang tidak bisa mereka lihat, beban yang kini direspon oleh anak yang paling sensitif.
Rina membawa Arka kembali ke tempat tidur. Ia memeluknya erat, tetapi ia bisa merasakan ketegangan yang merambat dari tubuh Arka.
“Ayah sedang berjuang, ya Nak? Ayah sedang kesakitan,” bisik Rina.
Arka menoleh, menatap mata Rina, dan mengangguk.
Keajaiban Bulu Merak
Rina tidak bisa tidur lagi. Saat fajar menyingsing, ia memutuskan untuk menjalankan ikhtiar logisnya sebelum Bunda Ida kembali dan mengambil alih semuanya. Ia mulai membersihkan rumah, fokus pada ruang tengah yang sering dijadikan tempat Arka bermain dan Mala membaca.
Ia menyapu karpet tebal, membersihkan remah-remah dan debu yang menumpuk. Sapunya menyentuh sesuatu yang lembut dan aneh, sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Rina membungkuk, mengira itu hanya sisa benang atau sampah kertas.
Namun, yang ia temukan membuatnya terdiam dan jantungnya berdebar kencang.
Itu adalah sehelai bulu burung merak yang indah. Bulu itu panjang, dengan warna hijau gelap kusam di bagian bawah, tetapi bagian ujungnya memiliki corak mata iridescent yang bersinar meskipun hanya terkena cahaya pagi yang redup.
Rina memungutnya. Ia memegang bulu itu, bingung total. Mereka tinggal di tengah kota yang padat, dikelilingi perumahan, bukan habitat alami burung merak. Tidak ada satupun burung merak di lingkungan mereka.
“Bagaimana ini bisa ada di sini?” Monolog internal Rina mengencang.
Bulu itu terasa aneh, sangat indah, tetapi memiliki warna yang mengingatkan Rina pada suasana gelap dan suram, mirip dengan gambaran hutan yang muncul saat Bara menulis doa di buku. Bulu itu adalah Karomah, sebuah Divine Echo yang muncul secara fisik, simbol keindahan yang lahir dari penderitaan. Bulu itu muncul tepat setelah Bara mengalami titik terendah penderitaan fisik dan spiritualnya di pulau.
Rina membalik bulu itu dengan hati-hati. Ada noda samar di pangkalnya, noda kecil berwarna cokelat kemerahan yang kering. Ia tidak yakin apa itu, tetapi ia merasakan kehangatan yang tiba-tiba mengalir melalui tangannya saat memegang bulu itu.
“Ini dari Ayah. Pasti,” bisiknya, matanya berkaca-kaca. Bulu ini adalah konfirmasi visual kedua, setelah gambar sorban Arka.
Ia berjalan ke dapur, hatinya dipenuhi campuran rasa takut, takjub, dan harapan. Ini adalah bukti non-verbal baru, sebuah keajaiban mikro yang muncul di tengah krisis kelelahan dan ultimatum logis dari Bunda Ida.
“Aku harus tunjukkan ini pada Mala,” pikir Rina. “Mungkin ini bisa membuatnya percaya lagi.”
Luka yang Menjauhkan
Rina menemukan Nirmala di kamarnya. Gadis kecil itu sedang duduk di tepi ranjang, membaca buku pelajaran sekolah. Sejak Bara hilang, Mala semakin menyendiri dan merasa tidak penting, karena perhatian Rina tercurah pada Arka yang membutuhkan perhatian khusus. Luka sunyi Mala semakin dalam.
“Mala, Sayang,” panggil Rina, duduk di tepi ranjang. Ia mengeluarkan bulu merak itu dan menunjukkannya. “Lihat ini. Ibu menemukannya di ruang tengah. Indah sekali, kan?”
Mala menoleh sekilas ke arah bulu itu, tetapi tidak menunjukkan reaksi. Ia kembali fokus pada bukunya, berpura-pura sangat sibuk.
“Ibu yakin ini adalah hadiah. Hadiah dari suatu tempat yang jauh, Sayang. Ibu yakin ini ada hubungannya dengan Ayah,” Rina mencoba menjelaskan dengan antusias. “Di kota kita tidak ada burung merak. Ini pasti dibawa oleh… oleh angin yang baik.”
Mala menutup bukunya dengan suara keras yang mengejutkan Rina. Ia berbalik badan, menatap Rina dengan mata dingin dan terluka.
“Pasti hadiah dari Ayah untuk Arka lagi,” kata Mala dingin.
Rina terdiam. Kata-kata Mala menusuk. “Kenapa kamu bilang begitu, Nak?”
“Karena Arka yang spesial. Arka yang sakit. Arka yang selalu mendapat perhatian. Arka yang bisa merasakan Ayah. Sementara aku, aku hanya anak yang sehat. Anak yang harusnya bisa mandiri. Anak yang tidak penting,” ucap Mala, suaranya mengandung semua kepahitan dan rasa diabaikan yang selama ini ia pendam.
“Mala, jangan bicara seperti itu! Ayah sangat mencintaimu!” Rina memeluk Mala, tetapi Mala menolak, tubuhnya kaku dan dingin.
“Kalau Ayah mencintaiku, kenapa dia tidak menulis surat untukku? Kenapa aku tidak merasakan apa-apa?”
“Ayah menulis doa untukmu, Sayang. Di buku itu. Doa yang sangat panjang.”
“Doa,” Mala mengulanginya dengan nada skeptis. “Hanya doa.” Mala menjauhkan diri dari pelukan Rina, semakin mengasingkan diri, memperparah luka intinya (Luka Sunyi).
Rina menyadari krisis finansial dan spiritualnya kini juga menjadi krisis emosional yang mengancam keutuhan keluarga. Ancaman nyata bukan hanya Bunda Ida yang mengambil alih rumah, tetapi juga Mala yang mulai menarik diri dari cinta dan keyakinan. Ia memegang bulu merak itu, yang kini terasa berat. Simbol keajaiban Itu terasa sia-sia di mata putrinya.
“Aku harus menemukan cara untuk membuktikan padanya,” batin Rina. “Aku harus membuktikan bahwa ia tidak sendirian, dan Ayahnya berjuang keras untuknya.”
Ketegangan di Ruang Baca
Mala menarik diri ke ruang bacanya yang kecil. Rina mengikuti, membawa bulu merak itu. Rina tahu, ia tidak bisa membiarkan luka Mala semakin bernanah. Luka yang berasal dari rasa diabaikan ini lebih berbahaya daripada krisis finansial.
“Mala, dengarkan Ibu sebentar,” Rina mencoba meraih tangan Mala.
Mala menarik tangannya. “Aku harus belajar, Bu. Aku ada ujian. Aku tidak punya waktu untuk cerita-cerita tentang burung aneh yang muncul tiba-tiba.”
Rina meletakkan bulu merak itu di meja, di samping buku pelajaran Mala. Ia menatap putrinya, mencoba melihat celah di balik perisai emosi yang dingin itu.
“Kenapa kamu sangat marah, Sayang? Ibu tahu kamu merasa terabaikan sejak Ayah hilang. Tapi itu tidak benar,” kata Rina, berusaha menjaga suaranya tetap lembut. “Semua perhatian Ibu tercurah pada Arka karena dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi kamu, Mala, kamu adalah kekuatanku. Kamu adalah gadis yang kuat.”
“Aku tidak mau menjadi kuat, Bu. Aku mau menjadi anak kecil yang dicintai. Aku mau menjadi anak yang dirindukan,” balas Mala, matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia menolak air mata itu keluar.
“Ayah merindukanmu setiap detik, Sayang.”
“Bagaimana Ibu tahu?” tantang Mala. “Ayah hanya meninggalkan buku doa. Dia tidak meninggalkan surat. Dia tidak meninggalkan pesan. Dia hanya meninggalkan ‘doa untuk Nirmala’ di buku yang penuh dengan doa-doa yang lain.”
Rina menghela napas panjang. “Ayahmu tidak seperti Ayah yang lain, Mala. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Dia meninggalkan iman. Dia meninggalkan jejak spiritual. Buku doa itu, buku itu adalah surat cintanya yang paling tulus.”
“Aku tidak butuh surat cinta spiritual, Bu!” teriak Mala, kali ini air mata yang ia tahan pecah. “Aku butuh Ayah di sini! Aku butuh Ayah yang bisa aku peluk! Aku butuh uang untuk terapi Arka! Bukan bulu burung merak yang entah datang dari mana!”
Mala menunjuk ke bulu itu dengan jijik. “Bahkan bulu itu pun, aku yakin Ayah hanya peduli pada Arka. Mungkin bulu itu muncul karena Arka yang semalam rewel. Mungkin bulu itu obat untuk penyakit Arka. Aku tidak penting, Bu. Aku tidak pernah penting di tengah semua masalah besar ini.”
Rina tertegun. Ia menyadari kedalaman luka Mala. Luka itu adalah hasil dari interpretasi Mala terhadap semua Divine Echo yang selama ini hanya direspons oleh Arka dan Rina. Ia tidak bisa menyalahkan Mala. Rina mendekat dan memeluk Mala, kali ini lebih erat, dan Mala tidak melawan.
“Dengarkan Ibu,” bisik Rina di telinga Mala. “Ayahmu mencintaimu, Nak. Tapi dia tahu, kamu adalah yang paling kuat di antara kita. Kamu tidak rapuh seperti Arka, dan kamu tidak lelah sepertiku. Ayah percaya, kamu bisa bertahan. Dan Ayah akan memberikan bukti. Bukti yang kamu inginkan.”
Pelarian ke Sudut Sunyi
Di pulau sunyi, Bara tidak bisa lagi menahan dingin dan kelelahan. Setelah gagal tidur dan dihantui kilasan PTSD, ia memutuskan untuk mencari tempat berlindung. Ia meninggalkan Cadas Sunyi yang terbuka, mengambil sisa air minumnya, dan berjalan ke dalam hutan bakau yang gelap di mana ia melihat mata bercahaya tadi malam.
Ia berjalan hati-hati, mengikuti suara gemericik air tawar yang samar. Ia menemukan sebuah sudut kecil di antara Akar Bakau Gergasi, sebuah tempat tersembunyi yang ditutupi oleh rimbunnya daun. Tempat itu terasa lebih hangat dan terlindungi dari angin laut.
Ia menjatuhkan tubuhnya di tanah yang kering, bersandar di akar yang tebal. Ia merasa sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kelaparan dan dehidrasi mulai menggerogoti. Sujud ikhlas yang ia lakukan malam tadi telah menguras seluruh sisa energi fisiknya.
Aku tidak bisa mati di sini.
Perasaan itu bukan lagi sekadar harapan palsu, tetapi perintah bertahan hidup. Ia memaksakan dirinya untuk makan dua buah berry liar yang ia simpan. Rasanya asam dan menyakitkan di perut kosongnya, tetapi ia harus melakukannya.
Dalam keheningan itu, Bara mengambil Buku Doa Musafirnya. Ia membuka halaman doa untuk Arka. Doa yang berisi permohonan agar Arka bisa merasakan ketenangan dan bisa berkomunikasi.
“Ya Allah, jika ini adalah akhirku, izinkan aku mengirimkan ketenangan terakhir untuk anakku. Izinkan ia bisa memanggilku sekali saja. Walaupun hanya dalam mimpinya.”
Bara membaca doa itu berulang kali. Setiap kata adalah tetesan terakhir kekuatan spiritualnya. Ia memeluk buku itu erat-erat ke dadanya yang cekung. Perlahan, kelelahan fisiknya menang. Ia terlelap, tetapi tidurnya tetap gelisah, penuh dengan kilasan laut dan dingin yang menusuk.
Sinkronisasi Trauma dan Bukti
Di rumah Rina, Mala akhirnya tertidur setelah sesi menangis yang panjang. Rina beranjak, kembali ke ruang tengah. Bulu merak itu masih ada di meja.
Rina memungutnya lagi, memerhatikannya lebih dekat. Ia berjalan ke arah sudut kamar tempat Arka gelisah semalam. Sudut itu terasa dingin.
“Kau merasakan Ayahmu, Nak,” bisik Rina pada dirinya sendiri. “Kau merasakan trauma yang baru Ayah alami.”
Rina merasakan dorongan aneh, sebuah intuisi kuat yang sering muncul saat Bara berada di puncak krisis. Ia harus bertindak. Ia mengambil Buku Doa Musafir Bara, yang sudah ia jaga di bawah bantal.
Ia membuka halaman doa untuk Arka—halaman yang persis sama dengan yang Bara baca di pulau.
Rina mulai membaca doa itu dengan suara yang pelan dan bergetar. Doa itu adalah permohonan Bara agar Arka diberi kemampuan untuk berkomunikasi. Rina membaca, membayangkan Bara di pulau, memohon yang sama. Ia memegang bulu merak itu di tangan kirinya, dan Buku Doa di tangan kanannya.
Saat Rina membaca baris terakhir, sebuah karomah mikro terjadi.
Arka, yang tidur di kamar sebelah, tiba-tiba bergerak. Ia batuk. Kemudian, ia bergumam. Bukan gumaman yang tidak jelas, bukan desahan biasa.
“A-yah…”
Rina membeku. Ia menjatuhkan buku itu. Suara itu jelas. Arka tidak pernah mengucapkan kata yang jelas seperti itu sejak dia didiagnosis.
Rina segera berlari ke kamar. Arka kembali tidur. Tapi di wajahnya, ada senyum yang sangat damai. Bukan senyum ketenangan, melainkan senyum kelegaan.
Rina kembali ke ruang tengah, tubuhnya gemetar. Ia mengambil bulu merak itu. Noda cokelat kemerahan di pangkal bulu itu, yang tadi ia anggap sebagai kotoran, kini tampak lebih jelas. Rina menyadari noda itu tidak lain adalah darah yang kering—darah Bara, mungkin dari luka goresan yang ia alami di pulau, darah yang menjadi media bagi bulu Karomah itu untuk menempuh jarak ribuan kilometer.
Rina menangis, tetapi kali ini, air matanya bukan air mata keputusasaan, melainkan air mata syukur yang tak terduga. Mukjizat telah terjadi.
Mala, yang terbangun karena suara Rina, berjalan ke ruang tengah.
“Ada apa, Bu?” tanya Mala, suaranya masih serak.
Rina tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke bulu merak itu, lalu ke kamar Arka. “Ayah mengirimkan bukti. Ayah mengirimkan keajaiban yang nyata.”
Mala menatap bulu itu, lalu ke Rina yang tersenyum di tengah air mata. Ia masih skeptis, tetapi ada sesuatu dalam ekspresi ibunya yang membuatnya diam.
Rina memeluk Mala erat-erat. “Ayahmu berjuang sangat keras, Nak. Sangat keras. Dan dia mengabulkan permintaanmu, bukti bahwa kamu penting.”
Mala membalas pelukan ibunya. Dalam keheningan rumah itu, untuk pertama kalinya sejak Bara hilang, Nirmala merasa bahwa ia mungkin masih menjadi bagian dari rencana Tuhan yang besar.