Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Alan Chasteo Abram
Di balik langit kota J yang berwarna abu-abu, menara kaca The Chasteo Hotel berdiri gagah, menembus awan dengan kemegahan yang membuat siapa pun yang memandangnya takjub.
Enam tahun terakhir, nama Alan Chasteo Abram menjadi legenda dalam dunia bisnis perhotelan.
Bukan hanya karena Chasteo adalah jaringan hotel bintang lima dengan standar internasional, tapi karena pemiliknya, pria muda berusia 28 tahun menjalankannya dengan ketenangan yang nyaris menakutkan.
Alan bukan sekadar kaya. Ia teratur, teliti, dan dingin. Senyumnya tipis, suaranya tenang, tapi tatapan matanya seperti menguliti siapa pun yang berani berbohong di hadapannya.
Karyawan di Chasteo mengenalnya sebagai pemimpin yang tak pernah marah, karena ia tak perlu.
Satu kalimat darinya saja cukup membuat siapa pun merasa bersalah.
Namun, sedikit orang tahu, bahwa di balik jas hitam mahal dan wibawa tanpa cela itu, tersimpan seorang pria yang dulu… pernah tertawa dengan bebas.
Enam tahun lalu, Alan bukan seperti ini. Ia adalah pria hangat, penuh canda, selalu bisa membuat siapa pun tersenyum.
Ia mencintai musik, suka mempelajari banyak hal, dan paling suka menggodai saudara kembarnya, Chesna, juga Lili, adik mereka, hanya untuk melihat kedua gadis itu marah lalu tersenyum lagi.
Dan tentu saja, ia mencintai seseorang bernama Shenia Ardelia.
Hubungan mereka sederhana tapi manis.
Mahasiswa arsitektur dan mahasiswi pariwisata yang sering menghabiskan waktu belajar bersama di kafe kampus, bertukar ide, dan bermimpi tentang masa depan yang saling melengkapi.
Sampai malam itu.
Malam di mana semua batas antara cinta dan dosa menjadi kabur. Hujan turun deras, sangat lama dan di kamar besar hotel miliknya itu, mereka berdua terjebak dalam kehangatan yang seharusnya tak terjadi.
Tidak ada niat buruk, hanya dua hati yang terlalu lemah melawan rasa. Dan ketika pagi datang,
Shenia pergi.
Tanpa pamit.
Tanpa pesan.
Tanpa jejak.
Shenia yang sejak awal mengejarnya setengah mati, berhasil membuat Alan jatuh hati dan memiliki rasa cinta yang sangat besar, pagi itu pergi entah kemana.
Yang tersisa hanya perasaan bersalah, selimut dingin, dan tubuh Alan yang gemetar menatap ruang kosong di sebelahnya.
Sejak saat itu, sesuatu dalam dirinya patah.
Ia berhenti tertawa.
Berhenti percaya pada cinta.
Ia sangat benci pada dirinya sendiri atas apa yang sudah terjadi, tapi terlebih benci pada kekasihnya yang pergi tanpa kata.
Kini, setiap pagi Alan berdiri di balkon penthouse lantai 52 miliknya, tempat yang seharusnya memberi pemandangan paling indah di kota. Namun baginya, semua pemandangan sama saja, abu-abu.
Ia memandangi dunia di bawah sana, sibuk, berisik, penuh warna, sesuatu yang terasa asing baginya sekarang.
Ponselnya bergetar.
Pesan masuk dari Chesna.
“Kau jadi pulang, kan? Kudengar tadi pagi mama memasak makanan kesukaanmu.”
Alan membalas singkat.
“Aku akan pulang sore ini.”
Ia menaruh ponsel, lalu menatap pantulan dirinya di kaca jendela.
Garis wajahnya tegas, rahangnya kaku, matanya dingin, terlalu dewasa untuk usianya.
Semua yang ia miliki kini adalah hasil kerja keras, tapi tidak satu pun bisa menghapus satu kenyataan, bahwa di suatu tempat, ada perempuan yang membawa separuh jiwanya pergi, dan tak pernah kembali.
Alan menyentuh kaca jendela, menatap bayangan samar dirinya yang bertumpuk dengan langit gelap di luar sana.
“Shenia…” gumamnya pelan, “andai waktu bisa diulang, aku tetap tak tahu harus berkata apa. Aku hanya ingin pagi itu tak pernah datang.”
Begitulah Alan Abram. Pria yang punya segalanya tapi kehilangan satu hal yang paling manusiawi, rasa damai terhadap dirinya sendiri.
___
Kota Seoul, KorSel.
Pagi di Seoul selalu terasa sibuk.
Tapi di lantai lima sebuah apartemen sederhana di kawasan Mapo, pagi dimulai dengan aroma sup ayam hangat dan suara lembut seorang perempuan yang sedang meniup sendok kecil.
“Pelan-pelan, sayang. Mama tahu kamu suka banget sup ayam, tapi lidahmu belum sekuat lidah Iron Man, kan?”
Suara itu milik Shenia Ardelia, 28 tahun, perempuan dengan senyum teduh dan mata yang menyimpan banyak cerita.
Rambutnya digulung seadanya, wajahnya tanpa riasan, tapi ada aura ketegaran yang membuatnya tampak jauh lebih berharga daripada apa pun yang berkilau.
Di depannya, duduk seorang anak laki-laki berusia lima tahun, dengan pipi tembam dan mata yang jernih seperti embun pagi.
Aaron.
Sumber semangat, sekaligus alasan ia masih berdiri sampai hari ini.
“Tapi Mama, Iron Man kan gak pernah sakit,” ujar Aaron dengan nada manja sambil meniup sendoknya sendiri.
“Aaron juga mau kayak Iron Man. Biar Mama gak sedih lagi.”
Seketika senyum di wajah Shenia membeku.
Ia menatap anak itu, hatinya seperti diremas.
Dalam tubuh mungil itu, hidup penyakit yang tak terlihat, kelainan pada sum-sum tulang belakangnya.
Dokter bilang, Aaron harus segera mendapat donor sum-sum tulang belakang. Dan parahnya lagi, donor yang dimaksud harus dari saudara kandung yang cocok.
Tapi Aaron tidak punya saudara kandung.
Dan Shenia… tak tahu harus mulai dari mana.
Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca.
“Aaron itu kuat, kok. Mama percaya,” katanya pelan, suaranya bergetar lembut.
“Dan Iron Man juga kan punya jantung buatan? Tapi dia tetap hebat. Jadi Aaron juga boleh kok, jadi pahlawan kecil Mama.”
Aaron tersenyum, senyum polos yang menampar semua rasa takut di dada Shenia.
Anak itu lalu mengulurkan tangannya, menyentuh pipi ibunya.
“Kalau Aaron sembuh nanti, Mama mau minta apa?”
“Hmm…” Shenia pura-pura berpikir sambil mengusap rambutnya.
“Mama mau… liburan sama Aaron, ke pantai yang banyak pasir putihnya. Aaron main pasir, Mama duduk sambil minum jus semangka.”
“Terus Mama gak kerja?”
“Enggak. Mama cuma liatin Aaron ketawa.”
Anak itu tertawa kecil, memperlihatkan giginya yang mulai lengkap.
“Janji ya, Ma. Nanti kita ke pantai.”
“Janji,” bisik Shenia sambil mencium keningnya.
Beberapa jam kemudian, Shenia sudah berganti pakaian rapi.
Setelan blazer krem dan kemeja putih, gaya khas event planner profesional.
Di atas meja makan, laptopnya terbuka menampilkan desain konsep gala dinner untuk salah satu resort di Busan.
Ia bekerja dari rumah, mengatur acara besar untuk hotel-hotel ternama.
Upahnya lumayan, tapi tagihan rumah sakit, obat-obatan Aaron, dan kebutuhan hidup membuat semua terasa pas-pasan.
Namun, tak sekalipun ia mengeluh.
Teleponnya bergetar.
Nomor dari klinik.
Wajah Shenia menegang, lalu ia mengangkatnya dengan suara bergetar.
“Halo, ini Shenia.”
“Ibu Shenia, kami baru dapat hasil kecocokan pendonor. Sayangnya belum ada yang cocok untuk Aaron. Tapi kami akan terus berusaha, ya.”
Shenia menatap langit-langit, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
“Baik, terima kasih, Dok. Tolong… jangan berhenti mencari, ya.”
Begitu panggilan terputus, ia menatap foto di meja kerja foto kecil dirinya bersama Aaron di taman bunga.
Anaknya tersenyum lebar, seolah tidak tahu betapa berat dunia yang sedang dihadapi ibunya.
“Kau tahu, Nak…” gumamnya lirih.
“Mama akan cari cara, apa pun caranya. Sekalipun harus menggali masa lalu yang Mama coba lupakan…”
Shenia menutup laptopnya perlahan.
Di luar jendela, matahari sore mulai turun perlahan, memantulkan cahaya ke kaca apartemennya.
Dan entah kenapa, di pantulan itu, Shenia melihat bayangan seseorang, seseorang dari masa lalu, yang hingga kini masih meninggalkan jejak di hatinya.
“Alan…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Mungkin… ini waktunya.”
___
Bersambung...
Yuk di like dulu yeee
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??