Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESEMPATAN?
Kemeja putih sederhana itu ia setrika semalaman. Jeans terbaik yang ia punya—masih agak belel tapi bersih. Rambut dikuncir rapi, wajah dipulas sedikit bedak tipis.
Maya berdiri di depan gedung megah dengan kaca tinggi dan logo perak bertuliskan:
LESMANA & PARTNERS.
Tangannya menggenggam tas lusuh berisi berkas sidang, satu botol minum, dan sekotak kecil bekal untuk Nayla yang ia titipkan ke tetangga tadi pagi.
Ia menarik napas panjang. Lalu masuk.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” sapa resepsionis dengan senyum profesional.
“Saya Maya Larasati. Saya sudah mengirim email dan kemarin malam menelepon. Saya… ingin bertemu Pak Adrian. Katanya bisa menunggu di lobi kalau ada waktu senggang.”
Resepsionis mengecek layar komputer.
“Satu momen ya, Bu…”
Beberapa detik, lalu anggukan kecil.
“Maaf, Bu Maya. Hari ini Bapak Adrian sedang meeting dengan klien penting, dan langsung lanjut ke rapat internal. Tidak bisa ditemui.”
Maya menelan ludah.
“Kalau saya tunggu sampai siang?”
Wanita itu tersenyum simpul, kaku.
“Itu hak Ibu. Tapi tidak ada jaminan beliau bisa bertemu. Apalagi hari ini hari Senin, biasanya sangat padat.”
Maya mengangguk pelan.
“Baik. Saya tunggu saja.”
Ia duduk di sofa lobi, menatap kosong ke arah dinding marmer dan tanaman hias yang semuanya tampak terlalu mewah. Tangannya berkeringat. Ia sesekali melirik layar ponsel—tidak ada notifikasi.
Jam berjalan.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga jam.
Resepsionis sudah berganti shift.
Maya merasa semakin kecil di tempat itu.
Ketika akhirnya ia berdiri, memutuskan untuk menyerah… suara langkah sepatu kulit terdengar dari arah pintu putar.
Dan di sanalah dia—Reza.
“Maya?”
Langkah Maya langsung terhenti. Tubuhnya menegang seperti ditusuk listrik.
Reza mendekat, mengenakan jas mahal dan senyum sinis.
“Apa kamu ngikutin aku ke sini?” tanyanya dengan suara rendah namun tajam.
“Aku… aku nggak tahu kamu bakal ke sini,” balas Maya gugup, berusaha menenangkan napasnya.
Reza tertawa pendek, penuh ejekan.
“Lucu ya. Kau datang ke kantor Adrian Lesmana? Siapa yang kau kira kau hadapi, May? Ini bukan pengacara murahan yang bisa dibayar dengan air mata.”
Maya mencengkeram tasnya lebih erat.
“Aku berhak mencari bantuan.”
“Bantuan? Kamu pikir Adrian Lesmana mau bantu kamu? Apa kamu bakal bayar pakai apa? Uangmu? Jual cincin kawin?”
Reza mendekat, suaranya makin pelan tapi menusuk.
“Atau… kamu tawarkan sesuatu yang lain?”
Maya menggeleng pelan. “Diam, Reza.”
“Lucu, kamu masih berpikir kamu bisa menang dariku. Lihat diri kamu. Duduk berjam-jam di lobi orang yang bahkan nggak mau keluar menemui mu. Itu posisi kamu sekarang.”
Matanya dingin.
“Dan Nayla akan lebih baik di tempatku.”
Kalimat itu seperti pukulan. Maya menggertakkan gigi, tapi tak mampu berkata apa-apa.
“Bagus,” gumam Reza, lalu berbalik.
Maya tetap berdiri. Lututnya lemas. Wajahnya panas. Tapi ia menahan air mata sekuat tenaga. Ia melangkah keluar dari gedung itu dengan langkah tak tentu arah, melewati gerimis kecil yang mulai turun dari langit mendung.
Pikirannya kosong… hingga suara notifikasi email terdengar.
Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan baru:
From: kontak@lesmanapartners.id
Subject: Pertemuan dengan Bapak Adrian Lesmana
Kepada Ibu Maya Larasati,
Bapak Adrian Lesmana bersedia menerima Ibu untuk sesi konsultasi singkat esok hari, pukul 07.30 pagi.
Mohon datang tepat waktu.
Tangan Maya gemetar.
Entah karena hujan, amarah, atau harapan yang kembali muncul.
Esok pagi... ia akan kembali. Dan kali ini, ia tidak akan pergi tanpa didengar.
kamu harus jujur maya sama adrian.