NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: tamat
Genre:Obsesi / Romansa pedesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama / Tamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35. Kabar Duka

Kabar duka menyebar bagai kabut pagi yang pekat, menyelimuti setiap sudut Mareluna. 

Keluarga De Luca, keluarga pirang yang selalu menjadi pusat perhatian—dari Rafael si pelaut tampan, Mila yang menggemaskan, hingga Giada yang menjadi menantu keluarga Rinaldi—kini tengah berduka paling dalam. Setelah tragedi penculikan Mila dan bayi kembar Giada, desa itu berpikir badai telah berlalu. 

Mereka salah.

Rafael bangun lebih awal. Udara musim semi seharusnya terasa hangat, tapi hari ini terasa menusuk tulang. Dia menyiapkan sarapan sederhana—bubur hangat, roti, dan susu untuk Mila. Biasanya, pada jam segini, Rosa sudah bangun dan Matteo sudah bersiap ke pelabuhan.

Tapi pagi ini, sunyi.

“Mila,” panggil Rafael lembut pada adiknya yang sudah duduk di kursi meja. “Pergi bangunkan Mamma dan Papà. Sarapan sudah siap.”

Mila mengangguk, lalu berjalan kecil menuju kamar orangtuanya. Dia mengetuk pelan.

“Mamma? Papà?”

Tidak ada jawaban.

Mila mengetuk lagi, lebih keras. “Mamma! Kaka Rafa sudah menyiapkan sarapan!”

Diam.

Hati kecil Mila berdebar tidak karuan. Dia membuka pintu yang tidak terkunci.

Kamar itu gelap, tirai masih tertutup rapat. Dua sosok terbaring tenang di ranjang mereka, saling berpelukan. Matteo memeluk erat Rosa, wajahnya terlihat damai, seperti sedang tertidur lelap.

“Mamma? Papà?” bisik Mila, mendekat.

Dia menyentuh tangan Rosa. Dingin. Kaku.

“Mamma ... dingin …,” gumam Mila, ketakutan.

Rafael, yang merasa ada yang tidak beres, bergegas masuk ke kamar. Dadanya sudah sesak oleh firasat buruk.

“Mamma? Papà?” panggilnya, suaranya bergetar.

Dia mendekat, menjulurkan tangannya. Dia menyentuh bahu Matteo. Dingin yang menusuk, seperti es, langsung merambat ke jarinya. Tidak ada naik-turunnya napas. Tidak ada kehangatan kehidupan.

“NO ... NO!”

Sebuah teriakan yang menyayat hati keluar dari mulut Rafael. Tubuhnya yang kekar itu runtuh di samping ranjang. Tangannya mengguncang-guncang tubuh Matteo yang sudah kaku.

“Papà! BANGUN! Papà!”

Dia berpindah ke Rosa, menggenggam tangan sang Mamma yang dingin, menempelkannya ke pipinya yang basah oleh air mata.

“Mamma ... KUMOHON…”

Mila, yang baru menyadari apa yang terjadi, menjerit histeris. “Mamma! Papà! JANGAN PERGI!” Dia memeluk erat tubuh Rosa yang sudah tak bernyawa, seolah bisa menghangatkannya kembali dengan pelukannya.

Pemandangan itu menghancurkan hati. 

Rafael, pria kuat yang menjadi tulang punggung keluarga, kini hancur berurai air mata, bergumul di lantai antara kedua orangtuanya yang telah pergi untuk selamanya. 

Mila, gadis kecil yang belum pulih dari traumanya, kini harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan kedua pelindung utamanya. 

Suara tangis mereka yang pecah memenuhi rumah yang dulu dipenuhi tawa.

...🌊🌊🌊...

PEMAKAMAN DI BAWAH LANGIT KELABU

Mereka dimakamkan bersebelahan, di pemakaman kecil di atas tebing yang menghadap ke laut. Foto mereka yang terpasang di nisan adalah foto lama, saat mereka masih sehat dan tersenyum bahagia—Matteo dengan bangga memamerkan ikan tangkapannya, Rosa dengan senyum lembutnya yang khas.

Seluruh Mareluna hadir, mengenakan pakaian gelap. Wajah-wajah mereka memancarkan kesedihan dan empati yang mendalam. 

Rafael berdiri kaku, memeluk erat Mila yang menggigil dan terus menangis tersedu-sedu. Tangisan Mila yang sesak dan polos membuat banyak orang tidak sanggup menahan air mata.

Di sebelah mereka, Marco harus menahan Giada yang tubuhnya lunglai. Saat peti Matteo dan Rosa mulai diturunkan, Giada menjerit histeris lalu pingsan, harus ditandu pergi dari pemakaman.

Langit musim semi yang seharusnya cerah, hari itu tertutup kelabu, seolah enggan menunjukkan wajahnya yang cerah di hari yang begitu gelap bagi keluarga De Luca.

...🌊🌊🌊...

Dalam kesedihan yang menyiksa, Rafael teringat pada rencana diam-diam yang dibuat orangtuanya. Mereka berencana meninggalkan Mareluna, pergi jauh agar tidak lagi menjadi sasaran Serafina dan amarah Leonardo Romano.

Tapi sekarang, rencana itu tinggal kenangan. Orang yang seharusnya membawa mereka pergi—Matteo dan Rosa—telah pergi lebih dulu. Pergi ke tempat yang sangat jauh, tempat Rafael dan Mila tidak bisa menyusul saat ini.

Rafael terduduk di rumah yang tiba-tiba terasa sangat besar dan kosong, memeluk Mila yang tertidur kelelahan karena tangis. Dia memandang foto keluarganya yang masih tergantung di dinding. Semuanya telah diambil darinya—kebahagiaan, kedamaian, dan kini, orangtuanya.

Satu-satunya yang tersisa adalah Mila. 

Dan Rafael bersumpah dalam hati, dia akan melindungi adiknya sampai napas terakhirnya. 

Dendam pada keluarga Romano membara dalam dadanya, tapi untuk sekarang, yang dia rasakan hanyalah kehampaan yang dalam dan kesedihan. Dua pilar hidupnya telah runtuh, meninggalkannya sendirian di tengah reruntuhan.

...🌊🌊🌊...

Malam itu, sunyi yang menyelimuti rumah De Luca terasa lebih berat dari biasanya. Setelah memastikan Mila akhirnya tertidur kelelahan di kamarnya, Rafael berjalan keluar dengan langkah gontai. 

Dia hanya mengenakan celana panjang dan kaos oblong lusuh, tubuhnya yang biasanya tegap kini terlihat lesu. Udara musim semi yang seharusnya menghangatkan justru terasa menusuk tulangnya yang lelah.

Dia berdiri di dapur, menatap gelas kosong di tangannya. Pikirannya dipenuhi bayangan orangtuanya yang terbaring kaku di ranjang pagi tadi.

Tok. Tok.

Ketukan pelan memecah kesunyian.

Rafael mengerutkan kening. Siapa yang datang di jam sembilan malam? Dengan hati-hati, dia membuka pintu.

Di sana, berdiri Serafina. Sendirian. Wajahnya pucat, matanya bengkak, tapi masih memancarkan obsesi yang tak pernah pudar.

Rafael langsung menyisir pandangannya ke kiri kanan. “Kau datang dengan siapa?”

“Sendirian,” jawab Serafina, suaranya kecil. “Naik taksi. Mamma ... Mamma yang membantuku pergi.”

Tanpa menunggu diundang, dia mulai membawa-bawa barang dari teras ke dalam rumah. Tumpukan kardus berisi buah impor, bahan makanan kaleng, pakaian baru, bahkan beberapa mainan mewah untuk Mila.

“Ini ... sumbangan duka,” ucap Serafina, bolak-balik sendirian karena Rafael hanya diam mematung, wajahnya masam. “Aku tahu ... tentang Mamma dan Papà-mu.”

Setelah semua barang berpindah, Serafina berdiri di hadapan Rafael. “Aku turut berduka cita,” bisiknya, lalu tiba-tiba bersujud di depan Rafael, menyentuhkan dahinya ke lantai dengan pose yang hampir komikal.

Adegan itu begitu tidak terduga hingga Rafael nyaris tersenyum, sebelum kemudian mengingat kesedihannya. “Apa agamamu?” tanyanya, bingung.

Serafina bangkit, menyapu debu dari roknya. “Aku masih mencari. Kadang ikut Papà ke misa, kadang ikut ritual puja Mamma.”

Rafael menghela napas panjang. Niat gadis ini baik, meski perbuatan sebelumnya salah kaprah. 

“Terima kasih,” ujar Rafael. “Tapi Serafina, musim dingin telah berlalu. Musim semi tiba. Mulailah hidup baru ... tanpaku.”

“Tidak!” Serafina langsung memeluknya erat, wajahnya menempel di dada Rafael. “Aku tidak bisa!”

Amarah dan keputusasaan yang dipendam Rafael akhirnya meledak. Dengan kasar, dia mendorong Serafina keluar. Tapi gadis itu dengan lincah menyelipkan diri dan berlari ke lantai atas.

“Serafina! Keluar dari sini!”

Tapi Serafina sudah menghilang.

Rafael mengepalkan tangannya. Amarah, kesedihan, dan rasa hampa bergolak dalam dadanya. Matanya gelap. Dia mengunci pintu rumah dari dalam, lalu naik ke lantai atas sambil melepas kaosnya, mencampakkannya ke lantai.

Dia mengunci pintu kamar. Suasana berubah mencekam.

“Bangun,” perintah Rafael, suaranya rendah dan berbahaya.

Serafina membuka selimutnya, wajahnya ketakutan melihat perubahan drastis pada Rafael.

“Lepas bajumu,” desisnya.

“R-Rafael? Kenapa kau—”

“AKU BILANG LEPAS!” bentaknya, lalu dengan kasar menarik jaket dan sweater yang dikenakan Serafina.

Serafina berusaha melawan, tapi Rafael jauh lebih kuat. Tangannya yang kasar mencengkeram pergelangan tangan Serafina.

“Kau ingin anak dariku, bukan?!” Rafael mendesis, wajahnya sangat dekat. Nafasnya berat. “Kalau kau diusir Romano-mu, aku akan penuhi! Lagipula, aku sudah hancur! Apa lagi yang harus kupertahankan?!”

Dia menyambar rahang Serafina dan menciumnya dengan paksa. Bukan ciuman penuh kasih, tapi sebuah serangan. Sebuah hukuman. Tangannya meraba tubuh Serafina yang menggigil, mendorongnya ke kasur.

“Rafael, tolong—” rengek Serafina, tapi suaranya tertahan.

“Kau ingin ini, bukan?!” geram Rafael, suaranya parau dan penuh cemooh. Tangannya yang kasar meremas bahu Serafina, mendorongnya lebih dalam ke kasur. “Kau yang selalu memaksaku, mengikutiku, menghancurkan segalanya untukku! Ini yang kau mau?!”

“Rafael, tolong ... jangan seperti ini,” rengek Serafina, air mata mengalir deras di pelipisnya. Tangannya berusaha melawan, mendorong dada Rafael yang keras, tapi sia-sia.

“Diam!” bentaknya, dan sebuah ciuman kasar dijatuhkan ke bibir Serafina. 

Bukan ciuman yang penuh cinta, tapi sebuah klaim, sebuah hukuman. Gigi mereka nyaris beradu. Serafina memberontak, memalingkan wajahnya, tapi Rafael menahan dagunya dengan kuat, memaksanya untuk menerima kedalaman ciuman yang hampir membuatnya tersedak itu.

Nafas Rafael memburu, panas dan penuh amarah. Bibirnya berpindah dengan kasar ke leher Serafina yang putih dan lembut, menghisap dan menggigit, meninggalkan jejak merah yang akan berubah menjadi lebam. 

Serafina menjerit kecil, tapi jeritannya ditelan oleh kain bantal.

Tangannya yang dahulu selalu lembut saat menyentuhnya, kini merobek tanpa ampun. Gaun tipis yang dikenakan Serafina sobek di bagian bahu, memperlihatkan pundak dan sebagian bongkahan yang montok dan pucat. Udara dingin menyentuh kulitnya yang terbuka, membuatnya menggigil hebat.

“Rafael ... jangan …,” isaknya, suaranya pecah dan penuh keputusasaan.

Tapi Rafael sudah terlalu jauh tenggelam. Matanya gelap, hanya dipenuhi oleh kebutuhan untuk melukai, untuk merasakan bahwa dia masih bisa merasakan sesuatu selain rasa sakit yang menghancurkan hatinya. Tangannya yang kasar meraba kulit halus perut Serafina, lalu merayap ke bawah, mencengkeram dan membukanya dengan paksa.

“Kau ingin anak?!” desisnya lagi, sementara tangan satunya merobek lebih dalam, membuat gaun itu terbuka hingga ke pinggang. “Kau ingin terikat padaku selamanya?! Aku akan beri kau apa yang kau mau! Kita akan hancur bersama!”

Serafina menangis histeris sekarang. Rasa takut menguasainya. Ini bukan Rafael yang dia kenal. Ini adalah seorang asing yang diliputi iblis kesedihan. Dia berusaha melengkungkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri, tetapi berat tubuh Rafael yang sepenuhnya menindihnya membuatnya tak berdaya. Dia bisa merasakan hasrat keras dan berbahaya dari Rafael menekannya melalui lapisan celananya, sebuah ancaman nyata yang membuat dadanya sesak oleh teror.

Rafael tidak mendengar. Dia seperti orang kesurupan, diliputi oleh semua rasa sakit yang menumpuk. 

Dunia menyempit. Hanya ada amarah dan keputusasaan. Rafael hampir saja melampaui batas terakhir, hampir menjadikan obsesi Serafina sebagai alat untuk menghancurkan dirinya sendiri sepenuhnya.

“KAKAK! KAKAK RAFAAA HIKS…!”

Tangisan histeris Mila dari balik pintu, diikuti gedoran kecil yang panik, menyambar kesadarannya seperti ember air dingin.

“AKU TAKUT SENDIRIAN! ADA SUARA ANEH HIKS…!”

Rafael membeku. Nafasnya tersengal. Matanya yang tadi gelap kini berbinar kembali dengan kesadaran. 

Dia melihat Serafina di bawahnya—gaunnya robek, rambutnya berantakan, wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya menggigil ketakutan.

Dia melihat dirinya sendiri.

Dengan gerakan cepat, Rafael bangkit, mengambil kaosnya dan mengenakannya. Dia membuka pintu kamar, lalu segera menutupnya dari luar, mengunci Serafina di dalam.

“Kakak di sini!” ujarnya, suaranya kembali lembut.

Dia menemui Mila yang berdiri di lorong dengan boneka kesayangannya, wajahnya penuh ketakutan. Rafael memeluknya erat.

“Sudah, Bella. Kakak di sini. Ayo, kita tidur.”

Dia menuntun Mila kembali ke kamarnya, meninggalkan Serafina yang terkapar dan hancur di kamarnya. 

Dalam pelukan Mila yang kecil, Rafael tersadar. Dia hampir saja melupakan satu-satunya orang yang masih tersisa. 

Jika dia benar-benar hancur, siapa yang akan melindungi Mila?

Kegelapan itu nyaris menelannya, tetapi tangisan seorang anak kecillah yang menariknya kembali dari jurang. Masih ada secercah kemanusiaan yang tersisa, meski semuanya terasa hampir berakhir.

...🌊🌊🌊...

Siapa mereka sebenarnya? 

Dan siapa ‘Papà’ yang mereka maksud?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!