Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 31 Uangnya Kalah
Langit pagi ini tidak terlalu terang, sinar matahari masih di tutupi awan abu-abu. Tapi aktivitas orang-orang masih tetap menyala.
Pagi ini, Fellisya datang ke gedung Vantis Entertainment dengan percaya diri. Langkahnya cepat, hak sepatunya berbunyi tegas di lantai marmer.
Beberapa staf hanya menatap, tak ada yang berani menyapa.
Fellisya langsung naik ke ruang meeting kecil. Di dalam, duduk tiga juri yang kemarin menilai para trainee.
"Selamat pagi," ucap Fellisya singkat, tanpa tersenyum.
Salah satu juri mengangguk sopan. "Ada yang bisa kami bantu?"
Fellisya membuka tasnya perlahan. Ia mengeluarkan map cokelat tebal, lalu meletakkannya di atas meja tanpa banyak kata. Ia menarik kursi, mendudukan dirinya pelan.
"Saya cuma mau minta satu hal," katanya pelan tapi tajam. "Soal peserta bernama, Keandra Alkaezar. Saya beli nilai dia, kalian tinggal turunin."
Ketiga juri itu menatap map cokelat, lalu saling melempar pandangan. Mereka menggeleng. Ruangan mendadak terasa berat.
"Kami menilai secara profesional," ucap salah satu juri dengan ramah.
Fellisya tersenyum tipis. Senyum yang tidak sampai ke mata. "Saya yakin itu bisa... disesuaikan."
Ia mendorong map itu sedikit ke depan. Namun tak ada satu tangan pun yang bergerak mengambilnya.
"Maaf," kata juri itu tegas. "Kemampuan Keandra nyata. Dan itu bukan sesuatu yang bisa kami turunkan hanya karena permintaan pribadi."
Fellisya diam, tapi tatapannya semakin menusuk. Wajahnya mengeras.
"Jumlahnya bisa saya tambahkan," ucapnya lagi, suaranya dingin.
Juri yang satunya kini ikut bicara, nadanya tetap tenang. "Bukan soal uang. Kami tidak bisa menjatuhkan peserta yang memang layak."
Kayak layak itu terdengar bagai tamparan untuk Fellisya. Ia berdiri mendadak, membuat kursinya terdorong ke belakang.
"Kalau begitu, terima kasih atas waktunya," ia meraih map itu kembali, lalu keluar tanpa menoleh.
Ketiga juri itu hanya menatap Fellisya sambil menggelengkan kepalanya. Setelah pintu tertutup, mereka saling padang dan tersenyum bingung.
Langkah Fellisya terasa lebih cepat dari sebelumnya. Napasnya berat. Amarahnya masih nempel di dadanya sampai ia tiba di parkiran besement.
"Gagal ya?"
Suara itu membuatnya berhenti.
Fellisya noleh. Varel berdiri nyender di mobil, tangan dimasukan ke saku, senyum tipis yang merendahkan.
"Kamu mau beli nilai Alka lagi?" lanjut Varel santai. "Tapi kali ini... nggak bisa."
Fellisya mendengus. "Ngapain kamu di sini?"
"Karena saya tahu, setelah dapat informasi kamu pasti datang ke sini." jawab Varel, suaranya pelan tapi tegas.
Varel melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi sorot matanya tajam.
"Selama Alka ada di jalur yang benar. Selama saya berdiri di belakang dia... kamu nggak bisa sentuh apapun dari dia," kata Varel.
Fellisya menatap Varel tajam, rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Tapi ini belum selesai," balasnya dingin.
Varel hanya tersenyum tipis. "Saya tahu itu."
Fellisya berdecak kesal, lalu pergi tanpa menoleh. Langkahnya tetap angkuh, tapi amarah di dadanya makin nyala, karena untuk pertama kalinya, uangnya kalah.
Beberapa hari kini telah berlalu...
Sore itu di luar hujan masih turun cukup deras. Angin berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Cahaya lampu kuning kecil memantul di halaman cafe yang basah.
Sementara di dalam cafe musik mengalun pelan, aroma makanan, kue dan kopi menyeruak memenuhi ruangan.
Alka duduk di balik meja kasir, bersebelahan dengan Athar. Sementara Cakra dan Lista duduk di sofa belakang mereka.
"Udah mau lima hari, tapi... kenapa belum ada panggilan lagi dari agensi ya?" gumam Alka yang memecah keheningan.
Mata ketiga orang itu langsung melirik ke arahnya.
"Sabar dulu, maksimalnya juga empat belas hari." sahut Athar yang menatapnya dari samping.
Alka membuang napas pelan, tatapannya masih lurus ke depan. "Salah nggak ya gue berharap kayak gini?"
"Ya nggak lah kocak. Wajar menurut gue mah." Athar nyenggol pahanya.
"Ka, sepengen itu ya lo jadi idol? Sementara kehidupan idol tuh cukup berat." sahut Cakra dari belakang, suaranya pelan tapi terdengar jelas.
"Nggak seberat bayangan lo. Gue udah pikirin dari lama, udah gue kejar sejauh ini. Artinya gue juga tahu resikonya." balas Alka, ia berbalik menatapnya.
"Menurut gue, dia emang lebih bagus di kasih tekanan sama kerjaannya, daripada sama Oma." Lista tersenyum kecil, natap Alka sebentar. Lalu kembali ke ponselnya.
Alka sontak tertawa kecil, ia langsung nunjuk Lista. "Tebakan lo nggak salah."
Suasana kembali hening, suara hujan terdengar semakin jelas, bercampur dengan aroma kopi mereka yang sudah hampir habis.
"Gue heran ya," Alka buka suara lagi. "Kenapa hujan selalu turun pas cafe lagi sepi."
Athar langsung noleh, mendengus. "Karena hujan juga males lihat kelakuan lo."
"Buset," mata Alka melotot. "Sembarangan banget mulut lo."
Cakra menghela napas pendek, nyengir tipis. "Mulai. Hujan kayak gini tuh harusnya di bawa tenang."
"Tenang apaan? Kopi gue kepahitan," jawab Athar cepat, sambil noleh.
Alka nyengir lebar. "Kopi pahit tuh menandakan kita udah dewasa. Karena apa? Karena udah bisa menahan pahitnya hidup."
"Lo dewasa dari mana?" Athar tersenyum miring. "Dari gombalan receh lo ke Liona?"
Lista langsung ketawa keras
Cakra batuk kecil. "Athar."
"Apa? Fakta kok," jawabnya cepat.
Alka tertawa kecil, tangannya nepuk pelan bahu Athar. "Hidup gue tuh berat, Thar. Gue butuh hiburan."
"Dan hiburan lo cuma bisa ganggu orang." Athar nepuk balik bahu Alka.
"Jadi lo cuma anggap Liona sebagai hiburan?" tanya Lista, nadanya tinggi.
Alka langsung noleh. "Nggak gitu. Maksud gue tuh, hidup gue jadi ringan karena Liona hadir di hidup gue sebagai pemanis."
Athar langsung mendengus, buang muka.
"Eh, Ka." Cakra kembali bersuara.
"Hm?" Alka noleh ke arahnya.
"Kalau nanti lo terkenal, kenalin kita juga ya." Cakra nyengir lebar.
Alka menatapnya. Ekspresinya santai, tapi matanya hangat. "Lah, gue kenalin sebagai penjaga cafe ini aja."
Athar nendang kaki Alka. "Kurang ajar. Nggak tahu diri lo."
Cakra menggeleng. "Kalian nggak capek apa kalau ribut?" tanyanya di sela tawanya.
"Nggak," jawab Alka dan Athar barengan. Lalu mereka saling pandang, saling terkekeh dan saling membuang muka.
Di luar hujan masih turun. Tapi di ruangan meja kasir itu, tawa mereka jauh lebih ribut dari suara air yang jatuh ke aspal.