Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang kita jaga
Malam ini suara detik jam di dinding, pelan tapi menusuk. Lampu meja kerja Gue nyala redup, warnanya kekuningan dan buat bayangan panjang di dinding kamar.
Laptop terbuka di depan Gue, layar birunya nyala terang, menyorot wajah Gue yang udah kayak orang tanpa arah.
Di email, ada folder dari Rafa. Berisi berkas laporan keuangan lama yang katanya bisa jadi titik awal buat Gue.
Satu per satu file Gue buka, sambil nahan napas setiap kali nemuin angka yang janggal. Rasanya kayak lagi ngupas luka yang belum kering, tapi Gue harus tau sejauh mana semua ini udah berubah di tangan Daryl.
Kursor bergerak pelan, klik demi klik. Setiap data yang muncul buat kepala Gue makin berat.
Ada transaksi yang nggak tercatat, laporan aset yang tiba-tiba melonjak, dan beberapa nama baru yang bahkan Gue nggak kenal. Rafa bener, ini nggak bersih. Tapi buktinya masih terlalu tipis buat diangkat ke Papa. Gue harus sabar. Harus main pelan-pelan.
Gue bersandar, menghela napas dalam.
Semuanya terasa terlalu sunyi.
Rumah ini besar, tapi malam-malam kayak gini cuma ada suara rintik di luar jendela. Entah kenapa, pikiran Gue balik ke terakhir kali ketemu Adrian di rumah sakit, waktu matahari baru naik dan udara masih lembap.
Dia udah keliatan jauh lebih sehat, senyumnya tenang, matanya jernih lagi.
Sejak hari itu, nggak ada kabar lagi. Gue udah lama juga nggak berani ngabarin dia. Bukan karena marah, tapi karena malu.
Malu kalau dia tau Gue lagi jatuh serendah ini, kehilangan segalanya, bahkan kehilangan kendali atas hidup Gue sendiri.
Adrian itu orang yang sederhana, tenang, realistis. Sementara Gue... kayak badai yang nggak pernah berhenti buat masalah. Gue nggak mau dia terseret ke dalamnya.
Dan jujur aja, Gue pikir rasa itu udah mulai hilang. Atau setidaknya Gue paksa buat hilang.
Sebuah notifikasi muncul di pojok kanan bawah layar. Suara ping kecilnya kayak nusuk jantung Gue. Gue berhenti mengetik. Pelan-pelan Gue geser pandangan ke sana. Nama pengirimnya muncul jelas.
Adrian.
Untuk sesaat, dunia berhenti. Aneh tapi nyata, baru juga Gue mikirin dia, dia tiba-tiba giniin Gue lagi. Apa bener dia itu masang aplikasi pelacak di otak Gue?
Jari Gue di atas keyboard kaku, mata Gue nggak bisa lepas dari layar itu.
Isi pesannya sederhana, cuma satu kalimat pendek.
"Akhir pekan lo ada waktu nggak? Gue mau kasih sesuatu. Anggap aja buat balas budi."
Gue bengong.
Bukan cuma karena pesannya datang tiba-tiba, tapi karena nada tulisannya masih sama. Tenang, lembut, dan penuh jeda di tempat yang tepat. Kayak dia masih tau gimana cara ngomong biar Gue ngerasa aman, padahal dia nggak di sini.
Gue menatap pesan itu lama.
Nggak langsung buka, nggak langsung jawab.
Bagian dalam diri Gue berdebat. Antara pengen langsung nulis iya atau pura-pura nggak peduli.
Gue nyengir kecil, tapi getir.
Entah kenapa, rasa rindu itu datang pelan-pelan. Bukan yang nyakitin, tapi yang buat dada sesak kayak abis nahan tangis terlalu lama.
Gue bener-bener kangen cara dia ngomong tanpa difilter, kangen matanya yang selalu fokus ke lawan bicara.
Tapi Gue nggak boleh baper.
Nggak sekarang.
Apalagi di tengah semua kekacauan ini.
Gue tarik napas panjang, buka tab pesan itu, lalu mulai ngetik.
"Lagi banyak kerjaan, belum ada waktu." Gue sempat berhenti. Jari Gue di atas tombol send gemetar sedikit.
Kalimat itu terlalu dingin, terlalu formal buat seseorang yang pernah buat Gue ngerasa hangat cuma dengan satu kalimat. Tapi kalau Gue jujur, kalau Gue nulis jam berapa? Gue tau itu bakal jadi masalah baru.
Adrian orang yang baik. Terlalu baik malah. Dan Gue nggak mau dia ikut kotor di tengah permainan ini. Dia nggak pantas buat drama Gue.
Akhirnya Gue tekan enter. Pesan terkirim.
Dan cuma dalam hitungan detik, rasa sesal datang. Kayak baru aja Gue buang sesuatu yang seharusnya Gue jaga.
Laptop Gue diam lagi. Nggak ada balasan. Nggak ada notifikasi baru. Yang ada cuma pantulan wajah Gue di layar yang hitam, dengan mata sembab dan senyum yang nggak berhasil dibuat-buat.
Gue sandarkan kepala ke kursi.
Cahaya layar buat siluet tangan Gue terliat di dinding, samar tapi jelas. Mungkin ini caranya hidup ngingetin Gue bahwa kadang, yang kita jaga justru harus dilepas dulu biar nggak hancur.
Tapi kenapa rasanya sakit banget?
Gue memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tangan Gue kembali ke touchpad, klik file baru dari Rafa.
Angka-angka kembali muncul, dan pikiran Gue dipaksa fokus lagi. Tapi di sela-sela baris data itu, pikiran Gue tetap lari ke satu tempat, ke pesan sederhana dari seseorang yang seharusnya udah Gue lupakan.
Dan anehnya, setelah lama ngerasa mati rasa, malam ini Gue justru ngerasa hidup lagi. Sedikit. Tapi cukup.
Gue buka dokumen berikutnya. Ada data transfer dana besar atas nama divisi yang dulu Gue tangani sendiri, tapi sekarang muncul nama baru di bawahnya R. Darmawan. Daryl.
Dada Gue menegang.
Tangan Gue langsung ambil catatan kecil dan mulai nulis, tanggal, nominal, nama, dan lokasi. Setiap klik rasanya kayak langkah pertama menuju perang yang nggak bisa Gue hindari lagi.
Jam di dinding menunjukkan pukul 00:47.
Mata Gue perih, tapi Gue terus lanjut.
Sesekali, suara hujan di luar makin deras, dan petir jauh di kejauhan buat bayangan di jendela bergerak. Gue ngerasa kecil banget di tengah semua ini. Tapi setelah lama kehilangan arah, Gue punya sesuatu buat diperjuangkan lagi.
Dan di tengah kesibukan Gue menyalin data, layar ponsel Gue nyala pelan.
Satu pesan baru masuk. Dari Adrian lagi.
"Kalau sibuk, nggak apa. Nunggu lo nggak sibuk aja."
Gue berhenti mengetik.
Kali ini, senyum Gue muncul tanpa paksaan. Sederhana, tapi cukup ngebuat jantung Gue berdebar pelan. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyelinap di antara semua rasa takut dan amarah yang udah lama menumpuk.
Gue tau nolak dia itu keputusan yang paling aman. Tapi apa benar ini yang paling benar?
Kadang yang kita sebut melindungi juga bisa aja cuma cara halus buat lari dari rasa takut sendiri. Tapi Gue nggak tau lagi mana yang lebih egois, menahan, atau melepaskan.
Mungkin Gue juga salah udah ngomong kalau perasaan itu bakal hilang. Nyatanya, perasaan itu cuma diam.
Menunggu waktu yang tepat buat muncul lagi.
Gue letakkan tangan di dada, ngerasain detaknya yang pelan tapi nyata. "Terima kasih, meski cuma lewat pesan, lo tetap hadir."
Lalu Gue balik ke layar laptop, menatap data-data itu lagi. Kali ini Gue lebih tenang. Ada sesuatu yang berubah di dalam diri Gue, kecil, tapi kuat.
Dan entah kenapa, di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan di luar, Gue ngerasa… nggak sepenuhnya sendirian.