NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / Tamat
Popularitas:10.8k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Pagi masih terasa segar ketika Yaga duduk bersama ayah dan ibunya untuk sarapan di rumah utama.

Di meja makan yang luas, suasana tampak begitu akrab dan harmonis.

Ketika Pratama bertanya apakah kehidupan di diluar kota tidak sulit, Yaga hanya mengangguk, dan di sampingnya, Rita dengan lembut mendorong sepiring ikan balado ke arahnya.

Yaga tersenyum kecil, membalas, "Ibu juga makan ini."

Setelah makan, mereka tetap duduk di meja, menikmati teh dan hidangan penutup yang telah disiapkan oleh pelayan rumah.

Ketika ibunya bercanda tentang sifat keras kepala ayahnya, Yaga menimpali dengan tawa kecil.

Dari luar, mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna.

Saat dia berjalan melewati ruang tamu setelah keluar dari kamar mandi, dia kembali mengingat ekspresi lembut ibunya yang duduk di seberangnya di meja makan tadi.

Namun, kehangatan itu langsung memudar saat suara langkah kaki mendekat.

Rita keluar dari ruang tengah dan menghampirinya ketika dia hendak naik ke lantai dua.

"Mau ke ruang kerja?"

"Ya."

"Pergilah. Ayahmu menunggumu sejak pagi, bahkan menunda jadwalnya untuk bertemu denganmu. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan."

Yaga mengangkat bahunya, seolah tidak terlalu peduli.

Rita menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis.

"Baiklah, ibu akan menyuruh pelayan menyiapkan teh dan buah untukmu. Pergilah."

Namun, sebelum dia bisa berbalik, suara Yaga menahannya.

"Hari itu, Ibu yang sengaja mempertemukannya, bukan?"

Langkah Rita terhenti.

Dia menoleh, menatap putranya dengan ekspresi yang sama sekali tidak terkejut.

"Ya."

Jawabannya keluar dengan begitu halus, seakan tak ada yang perlu disembunyikan lagi.

Tatapan matanya pun tetap tenang, seolah hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

"Ada yang salah?"

Dia bahkan tersenyum kecil, seakan tidak pernah melakukan kesalahan.

Yaga memikirkan, bagaimana ibunya membiarkan Amera masuk ke rumah, untuk tujuan yang berbeda.

Senyum kecil pun terbit di wajahnya.

"Tidak perlu begitu, Ibu."

Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, ekspresi Rita membeku. Mata lembutnya langsung tertuju padanya, seolah tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan.

"Lagipula. Itu sama seperti aku sendiri yang memberinya imbalan, karena aku tahu Almaira tidak akan berani meminta uang dariku. Jadi, walau uangnya sudah dia dapatkan sendiri, sama saja seperti aku yang memberikannya, kan?"

"....."

"Seharusnya Ibu mencari solusi yang lebih bijak."

Kali ini, matanya benar-benar dingin saat menatapnya.

Untuk sesaat, keduanya hanya berdiri di sana dalam keheningan yang penuh ketegangan.

Akhirnya, Yaga menghela napas kecil dan berbalik, berniat naik ke lantai atas.

Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, suara ibunya kembali menghentikannya.

"Ibu sudah mengatur semuanya dengan susah payah, seharusnya kamu berterima kasihlah pada ibu."

"Aku tahu, tapi apa Ibu sadar, jika ibu sama saja mengajari caranya untuk berbohong?"

"Tapi, ini bukan hanya keinginan ibu, ayahmu juga setuju. Tidak ada cara yang lain lebih cocok sayang. Hanya itu satu-satunya cara untuk membantu Almaira tersadar."

Suaranya sedikit tegas, seolah berusaha membuktikan pencapaian di balik argumen logisnya

Yaga menatap ibunya untuk beberapa detik, lalu tersenyum kecil.

Dia mengulurkan tangan dan dengan lembut menyentuh bahu ibunya.

Sentuhan yang seharusnya penuh kasih, tapi justru membuat Rita merasa dingin hingga ke tulang.

Mata tajam Yaga menatap lurus ke dalam matanya.

"Ibu."

"Jangan panggil Ibu seperti itu. Ibu melakukan ini demi kebaikanmu."

"Aku mengerti, tapi… meskipun begitu, jangan sampai Ibu kehilangan kendali demi aku."

Perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan menguasai Rita saat dia merasakan nada teguran di balik kata-kata itu.

Dia baru saja hendak membalas, tapi Yaga sudah melepaskan tangannya dan mundur selangkah.

"Jangan repot-repot mengirim teh. Aku tidak akan lama di sini."

Lalu, dengan sedikit anggukan sebagai salam, dia berbalik dan naik ke lantai atas.

Rita memegang dadanya, menahan perasaan bersalah sendiri.

Tepat sebelum Yaga menghilang dari pandangan, dia akhirnya bertanya dengan suara pelan.

"Apakah… tindakan ibu terlihat konyol di matamu?"

Yaga berhenti di tengah tangga. Dia menoleh sedikit, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.

"Saat ini? Tidak lagi, terimakasih ibu. Karena selama ini, ibu yang melindungi istriku dengan baik."

"Syukurlah,"

Rita menghela nafas lega, lalu tertawa lembut, ada sedikit kebahagiaan dalam tawanya.

Putranya sudah memberikan jawabannya dengan jelas, meskipun dengan cara yang halus.

"Jangan terlalu gegabah lain kali. Takutnya, itu akan menganggu kesehatan ibu."

Namun, bagi Rita batas itu mungkin sudah terlalu terlambat untuk dijaga.

***

Di rumah

Yaga menarik pinggang Almaira lebih dekat, mengecup keningnya dengan lembut.

Di sofa ruang santai yang luas, mereka duduk terlalu dekat, sengaja menyisakan ruang sempit di antara mereka.

Almaira berusaha membuka kantong kertas yang baru saja diberikan laki-laki itu, tetapi gerakannya terhambat oleh posisi mereka yang terlalu rapat.

"Tunggu sebentar..."

Cup.

Kali ini, sebuah kecupan mendarat di pipinya begitu saja. Almaira mengerutkan dahi, menoleh ke samping dengan tatapan penuh teguran. Namun, Yaga hanya tersenyum santai, lalu mengambil kembali kantong kertas dari tangannya. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sekotak martabak telor yang sudah terpotong rapi.

Almaira menatap makanan itu dengan bingung sebelum akhirnya bertanya, "Kak Yaga tidak makan?"

"Tentu saja. Kakak tidak makan." Nada suaranya terdengar sengaja menekankan sebutan 'Kakak' itu, seakan menyindir sesuatu. Tapi Almaira hanya berpura-pura tidak menyadarinya.

"Kak Yaga sudah makan sebelumnya di rumah ibu, kan?"

Jari-jari Yaga, besar dan hangat, dengan santai menyusuri pipinya seolah mengusapnya pelan. Sentuhannya ringan, namun cukup untuk membuat hati Almaira sedikit meleleh.

Dia tahu betul betapa sibuk suaminya. Dari luar, Yaga masih terlihat seperti biasa, berpenampilan rapi dan sempurna.

Namun, jika diperhatikan lebih dekat, garis rahangnya lebih tegas, tubuhnya sedikit lebih kurus, dan sorot matanya lebih berat dari biasanya. Entah kenapa, hari ini dia terasa lebih sunyi.

Tatapannya saat melihatnya.. kadang terlalu tajam, terlalu dalam, seolah mencoba mencari sesuatu di dalam dirinya.

"Kalau sibuk, Kak Yaga tidak perlu melakukan_."

"Makan."

Suara itu datang begitu cepat hingga Almaira tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Seharusnya dia mengatakan bahwa suaminya tidak perlu selalu datang ke rumah saat waktu makan.

Bahwa sesekali, dia juga bisa pergi menemuinya di kantor. Tapi sebelum dia sempat mengatakannya, laki-laki itu sudah tersenyum dan memotong pembicaraan dengan ringan.

"Nanti saja."

Almaira hanya menghela napas. Dia mengambil kembali kantong kertas yang diletakkan di samping suaminya dan memasukkan kembali sekotak martabak itu.

Melihat hal itu, alis Yaga terangkat perlahan, seolah tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya.

"Tidurlah sebentar. Kalu sudah waktunya, nanti Aira akan membangunkan Kak Yaga."

Nada suaranya lembut, penuh kekhawatiran yang tidak bisa dia sembunyikan. Almaira menatapnya serius, berusaha meyakinkannya dengan matanya.

Yaga hanya menghela napas kecil sebelum tersenyum samar.

"Kalau begitu…"

Tanpa peringatan, dia meraih tubuh Almaira, memeluknya erat, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya. Napasnya hangat di kulit lehernya, menggelitik setiap kali dia mengembuskannya pelan.

Tubuh laki-laki itu jauh lebih besar darinya, membuatnya harus menyesuaikan posisi agar tetap nyaman.

Namun, meski terasa sedikit berat, dia tidak keberatan. Diam-diam, dia menoleh ke arah suaminya. Menatap wajahnya dari dekat, memperhatikan setiap detailnya, dari dahinya yang mulus, alisnya yang tegas, hingga garis hidungnya yang lurus dan sempurna. Bibirnya yang penuh terlihat sedikit rileks, seolah akhirnya menemukan sedikit ketenangan.

Di luar, angin musim panas yang hangat masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit.

Udara itu membelai pipinya dengan lembut, mengingatkannya pada kehadiran suami di sampingnya. Saat dia menyadari betapa lama dia menatapnya, hatinya berdetak lebih cepat.

Tanpa sadar, dia menggerakkan tubuhnya. Sedikit menunduk, mendekati wajah laki-laki itu. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia melakukan ini, tapi sebelum pikirannya sempat menghentikannya, dia sudah berada begitu dekat dengannya. Ketika bibirnya hampir menyentuh dahinya… Mata Yaga terbuka.

"Teruskan."

Kata itu diucapkan dengan lembut, tapi cukup dalam untuk membuat napasnya tersangkut di tenggorokan. Matanya membesar, jari-jarinya mengerat di atas pangkuannya. Dia bahkan tidak sempat mencari alasan.

Laki-laki itu masih menatapnya, tidak bergerak, tidak memaksanya, hanya menunggu dengan sabar.

Almaira menelan ludah. Dengan gerakan hati-hati, dia kembali mendekat, perlahan mengecup dahinya. Tiba-tiba, Yaga tertawa kecil. Seketika, wajahnya memerah. Dia buru-buru menjauh, merasa seolah telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan.

Namun sebelum Almaira sempat bergerak lebih jauh, tangan besar Yaga menggenggam pipinya. Dan dalam sekejap, dia menariknya lebih dekat, lalu dia mencium bibirnya.

Saat berciuman, segala keraguan yang sempat berputar di kepala Almaira menghilang begitu saja.

Pikiran tentang masa depan, kecemasan akan apa yang akan terjadi, semua memudar, tersapu oleh kehangatan yang nyata di hadapannya. Di antara semua hal yang membingungkan, satu hal terasa sangat jelas.

Suaminya. Hanya suaminya yang dia inginkan saat ini.

***

Setelah mengantar suaminya pergi, Almaira kembali berjalan ke kamar, mengusap tengkuknya pelan.

Udara di ruangan terasa dingin, tetapi napasnya justru hangat. Rencana awalnya sederhana, memastikan suaminya bisa tidur sebentar selama jam makan siang. Tapi nyatanya, rencana itu gagal total.

Sebaliknya, Yaga malah semakin mendekat, menempel padanya seperti enggan berpisah. Dia menyentuhnya, menciumnya dengan rakus, seolah ingin menandai setiap inci dirinya sebelum pergi.

Dan setelah puas, laki-laki itu pergi dengan wajah segar, senyuman puas, seakan dialah yang baru saja mendapatkan semua yang diinginkannya.

Sementara itu, Almaira hanya bisa memeluk kantong kertas berisi sandwich yang masih utuh.

Saat masuk, suara laki-laki itu kembali terngiang di kepalanya.

Aku tidak akan pulang tepat waktu selama seminggu. Ada presentasi penting yang harus ku siapkan.

Kamu tidak kecewa, kan?

Saat itu, Yaga bertanya dengan nada menggoda.

Almaira menggeleng. "Tidak apa-apa. Aira akan selalu menunggu di rumah."Jawabannya kaku dan terdengar sedikit canggung.

Melihat itu, Yaga hanya tertawa kecil, menatapnya dengan mata penuh godaan, seolah melihat sesuatu yang menggemaskan.

"Jangan khawatir, aku akan selalu mengabarimu."

Kata-kata itu terucap ringan, seolah itu adalah hal paling alami di dunia.

Almaira langsung menoleh ke arah lain, mencoba mengabaikannya. Tapi, jari-jarinya tetap merasakan sentuhan laki-laki itu di telinganya, mengusap lembut ujungnya yang mulai memerah.

Begitu kembali ke kamarnya, dia mendengar suara pintu tertutup di belakangnya.

Dia mengeluarkan hpnya, menatap layar cukup lama sebelum akhirnya mulai mengetik.

Berkali-kali dia menulis pesan, lalu menghapusnya. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengirim satu pesan sederhana.

[Kak.. pulanglah tepat waktu. Jangan terlalu memaksakan diri ya.]

Pesan itu sederhana. Bahkan tanpa melihatnya, Almaira bisa membayangkan suaminya tertawa pelan, menganggapnya lucu, seolah berkata,

Katakan padaku, kamu merindukanku?

Almaira hanya menghela napas pelan, menatap layar hpnya. Dan tanpa sadar, sudut bibirnya sedikit tersenyum.

***

Hari presentasi akhirnya tiba.

Saat sedang dalam perjalanan kembali ke rumah setelah pulang dari panti asuhan, hp Almaira bergetar, itu adalah panggilan dari suaminya.

Dia meminta Lea dan Bibik untuk masuk ke rumah lebih dulu, sementara dirinya berjalan ke arah taman. Setelah duduk di bangku kayu yang agak teduh, dia menjawab panggilan itu.

"Halo?"

Suara Yaga terdengar lebih dalam dari biasanya, seakan kelelahan masih menempel di setiap nadanya.

Almaira merapatkan hp ke telinganya, mencoba menangkap setiap desahan napasnya.

_ Sedang apa?

"Aira baru saja pulang dari panti asuhan."

Sepekan terakhir, mereka hanya bertukar pesan singkat. Meski begitu, waktu terasa lebih lambat dari biasanya.

Namun sesekali, Almaira berharap bisa melihatnya. Beberapa hari lalu, dia sempat pergi ke rumah Pratama.

Dalam hati, Almaira berpikir mungkin saja dia bisa melihat suaminya, walau hanya sekilas. Namun, bayangan Yaga bahkan tak tampak di kejauhan.

Sebagai gantinya, Almaira mendengar kabarnya dari Anna

Anna menceritakan berbagai hal tentang suaminya, termasuk soal proyek tender besar bernilai triliunan yang sedang dikejarnya.

Mengingat itu, Almaira kembali teringat bagaimana laki-laki itu pernah mengatakan bahwa 500 juta atau 1 miliar rupiah hanyalah uang receh baginya.

Saat itu, perkataan itu terasa berlebihan bagi Almaira. Tapi sekarang? Dia benar-benar bisa memahami maksudnya.

Yang lebih membuatnya lega adalah… setidaknya, dia tidak menghubungi suaminya waktu itu. Bahkan jika hanya sebentar, dia tidak ingin mencuri waktu suaminya, yang jelas-jelas sudah dipenuhi dengan jadwal tanpa henti.

_ Kamu makan siang apa hari ini?

"Nasi, dan ikan bakar yang di masak Bibik."

_ Bagus.

"Kak Yaga sendiri bagaimana? Sudah makan?"

_ Tentu. Kakak sudah makan.

Lagi.

Nada suaranya terdengar menggoda, penuh sindiran halus karena Almaira masih saja terus memanggilnya Kak Yaga.

Dia mendesah kecil, menggerakkan jari-jarinya yang kosong tanpa tujuan.

"Jadi sudah makan ya. Bagus sekali."

Begitu kalimat itu keluar, dia bisa mendengar suara tawa kecil di ujung telepon.

Almaira menggigit bibirnya, menahan tawa yang juga ingin keluar. Sebelum telepon ini, tubuhnya terasa lelah. Tapi hanya dengan satu panggilan, suasana hatinya seketika berubah lebih ringan.

_ Aku menelepon sebelum presentasi dimulai.

"Kak Yaga pasti lelah, ya?"

_ Hm.

Dia teringat terakhir kali melihat wajah Yaga, garis wajahnya yang lebih tegas, kulitnya yang sedikit lebih pucat, lingkaran gelap di bawah matanya.

Apa sekarang dia terlihat lebih lelah dari sebelumnya?

Dia bukan laki-laki yang mudah tumbang, tapi tetap saja, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa khawatir.

Almaira sempat berpikir, seharusnya waktu itu dia benar-benar memastikan suaminya tidur barang sejenak. Tapi jika mengatakannya sekarang, Yaga mungkin hanya akan menertawakannya.

_ Almaira… kamu baik-baik saja?

"Aira?"

Tentu saja.

Hari-hari Almaira berjalan seperti biasa, rumah, membaca buku, dan sejenisnya. Namun, dalam beberapa detik keheningan, dia mendengar Yaga menghela napas pelan.

_ Beberapa hari lalu kamu ke rumah ayah dan ibu?

Almaira terdiam.

_ Tapi kamu tidak mengabariku. Kenapa..?

Tangan yang memegang hp sedikit mengerat. Dia mengingat bagaimana waktu itu, saat tiba di rumah Pratama, matanya terus mencari sosoknya, bertanya pada ayah dan ibu. Namun, dia tak melihatnya di mana pun. Dan sekarang, laki-laki itu bertanya…

_ Kamu tidak merindukanku?

Nada suara yang lembut itu menggetarkan sesuatu di dalam dadanya. Jari-jarinya mencengkeram hp lebih erat. Dia menatap tanah di bawah kakinya, lalu perlahan membuka mulut.

"Sedikit."

Dia tidak bisa menjawabnya dengan jujur. Tidak bisa mengatakan bahwa dia memang sangat merindukannya. Karena kenyataannya, seminggu ini terasa begitu panjang. Di seberang telepon, Yaga tertawa pelan, suaranya serak tapi terdengar santai.

_ Sepertinya aku harus melakukan yang terbaik.

"Aira yakin Kak Yaga akan melakukannya dengan baik."

_ Besok kita makan malam bersama ya. Aku akan membelikan mu sesuatu yang enak.

Percakapan mereka berakhir hanya dalam 15 menit, tetapi cukup untuk mengubah harinya. Saat menutup telepon dan bangkit dari bangku, tangannya terasa sedikit hangat. Dan entah kenapa, besok terasa begitu lama.

***

Di dalam perpustakaan yang luas, sepasang suami istri duduk berhadapan.

Suasana hening, tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum akhirnya Rita yang lebih dulu mengalihkan pandangan.

Di atas meja, terdapat laporan reaksi langsung dari presentasi lelang proyek redevelopment yang baru saja disampaikan oleh Yaga tadi sore.

Laporan itu dibawa oleh sekretaris Bima saat mereka sedang makan siang bersama. Karena itu, keduanya segera naik ke perpustakaan untuk membacanya lebih detail.

Isi laporan itu positif.

Meskipun pemungutan suara baru akan dilakukan dalam seminggu, kecenderungan suara sudah mulai terlihat dengan cukup jelas.

Yang paling menarik perhatian adalah proposal Pratama Group mengenai dana tambahan untuk relokasi warga. Dukungan finansial yang mereka tawarkan dianggap sangat menguntungkan.

Namun, bukan hanya itu.

Berbeda dengan kelompok lain yang menghadirkan berbagai eksekutif untuk berbicara secara bergantian, Yaga justru tampil sendirian, menguasai seluruh presentasi dari awal hingga akhir.

Keputusan itu justru menghasilkan dampak sinergis yang luar biasa. Dan di situlah masalahnya.

Tema presentasi itu.

Ya.

Itu yang membuat Rita tidak bisa tersenyum, meskipun semua orang di dalam ruangan tadi tampak tersenyum puas. Sekarang, dia benar-benar harus menerima kenyataan bahwa putranya… memang sedang menggila.

Rita menghela napas pendek. Meskipun mereka sudah mengantisipasi dan menghalangi berita ini masuk ke media, rumor yang beredar dari mulut ke mulut jelas tidak bisa dihentikan begitu saja.

Dia mengaku terlalu santai. Tidak menyangka Yaga akan sejauh ini. Tidak perlu menunggu lama, surat kabar bisnis atau bahkan berita utama jam delapan malam pasti akan kembali menampilkan wajah putranya. Kali ini, spekulasi yang muncul bukan hanya tentang tender proyek miliaran, tetapi juga tentang pernikahannya yang tertutup dan kapan terjadinya.

Dia sudah tahu ini akan terjadi, namun tetap saja, dia tak bisa menahan keterkejutannya.

Di sisi lain, Pratama justru tertawa kecil.

"Memang Putra ku!"

Nada suaranya penuh kebanggaan. Rita menatap suaminya dengan tajam sebelum meraih laporan itu lagi. Dia membalikkan halaman, matanya langsung tertuju pada judul presentasi yang dicetak tebal.

"Usaha baru yang ingin kuhadiahkan untuk istriku."

……

Anak itu benar-benar tidak tahu malu. Sulit membayangkan bagaimana wajah Yaga ketika mengucapkan kata-kata itu di hadapan puluhan pengusaha dan pemegang saham. Tapi entah kenapa, dalam benaknya, dia bisa melihat putranya tersenyum santai seperti biasanya, berbicara dengan percaya diri tanpa sedikit pun keraguan.

Dulu, Yaga pernah meminta bantuan Aliando untuk proyek ini. Namun, melihat laporan ini, permintaan itu bukanlah permintaan. Itu deklarasi sepihak.

Rita benar-benar tidak habis pikir. Tanpa membuang waktu untuk membujuk atau membicarakan rencana mereka, putranya telah mengambil keputusan sendiri dan menjalankannya dengan caranya sendiri.

***

Seminggu kemudian, pintu ruang CEO Pratama Group terbuka dengan tergesa-gesa.

"CEO Yaga!"

Saat itu, Yaga sedang mengenakan kembali jasnya, bersiap untuk pulang. Dia menoleh ke arah Gan, sekretarisnya, yang tampak terengah-engah.

Gan baru sadar bahwa dia bahkan lupa mengetuk pintu. Sadar akan tindakannya, dia segera menundukkan kepala dengan canggung. Namun, Yaga hanya menatapnya tenang.

"Bicara saja."

Nada suaranya datar, tapi matanya seolah sudah mengetahui jawabannya.

Pagi ini, pemungutan suara untuk menentukan kontraktor utama proyek redevelopment mall 4 distrik telah berlangsung. Sekarang, hasilnya pasti sudah terkumpul.

Dan fakta bahwa Gan masuk ke ruangan dengan wajah penuh semangat sudah cukup menjadi petunjuk.

Sebelum sekretarisnya sempat membuka mulut, sudut bibir Yaga sudah melengkung. Setidaknya, kabar ini datang sebelum dia pergi makan malam bersama istrinya, itu saja sudah cukup membuatnya puas.

Akhirnya, Gan menarik napas dan mengumumkan dengan suara bergetar penuh emosi,

"Selamat, CEO. Pratama Group resmi memenangkan tender proyek redevelopment mall 4 distrik!"

Dari 2.900 anggota asosiasi pemilih, lebih dari 1.500 suara jatuh ke tangan mereka. Mayoritas suara telah memihak mereka. Pratama Group telah menang mutlak. Dan kemenangan itu adalah milik_

Yaga Aryasatya Pratama

1
Vina Tamaela
Lo aira blm hamil mrk blm memiliki anak yg lucu2 udah tamat aja gak seru ah thor🤭
ovhiie: maaf, aku terpaksa tamatin karena malu 🙈 ada Bab yang nyambung. udah di revisi tapi malah ngendap di bab 39 padahal udah di revisi. tapi yang dirils malah yang salah..

amu di sambung juga malu...
total 1 replies
kalea rizuky
tak ksih hadiah
ovhiie: Makasih ... /Smile/ maaf ceritanya mengecewakan 🙈
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!