Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Malam kian larut. Setelah berganti pakaian, Tiwi keluar dari kamar dengan piyama lembut warna putih. Rambutnya diikat longgar, wajah tanpa makeup tapi tetap cantik natural.
Tristan baru saja selesai menaruh jas di lemari. Saat menoleh dan melihat Tiwi, langkahnya refleks berhenti.
“Apa?” tanya Tiwi gugup, menyadari tatapan itu.
“Cantik,” jawab Tristan datar — tapi nada suaranya hangat sekali.
“Duh, aku nggak biasa dipuji serius gini. Bisa-bisa aku kejang.”
Tristan mendekat perlahan. “Kamu terlalu banyak bicara saat gugup, ya?”
“Y-ya, mungkin…” jawab Tiwi sambil memundurkan tubuhnya sedikit.
Namun sebelum ia bisa melangkah mundur lagi, Tristan mengangkat dagunya lembut. “Tenang. Aku nggak akan maksa apa pun malam ini.”
Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata-kata lagi, hanya keheningan yang indah. Suara hujan di luar seperti musik pengiring yang pas. Tristan lalu mengecup kening Tiwi, lama dan lembut.
“Selamat datang di rumah kita, Tiwi.”
Tiwi mengerjap, lalu tersenyum kecil. “Rumah yang kamu rancang, tapi aku yang akan bikin isinya hidup.”
Tristan tersenyum samar. “Deal.”
Tiwi tersenyum tipis. “Kamu tahu nggak, Dokter Dingin…?”
“Apa?”
“Kamu makin berbahaya tiap ngomong kayak gitu.”
Tristan hanya menatapnya sambil menyeruput kopi. “Kamu yang mulai bikin aku berubah, Tiwi. Jadi salahkan dirimu sendiri.”
Tiwi tertawa renyah, menatap langit biru di luar jendela. Ia tahu perjalanan mereka baru dimulai. Akan ada tawa, mungkin juga air mata, tapi ia yakin dengan Tristan di sampingnya, semua akan terasa benar.
Dan di sudut hatinya, Tiwi berjanji pelan:
“Mulai hari ini, bukan cuma kamu yang jagain aku, Dokter Dingin. Tapi aku juga bakal jagain kamu, dengan caraku.”
Keesokan Harinya
Matahari pagi menembus tirai putih kamar. Tiwi terbangun lebih dulu. Tristan masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur, wajahnya tampak jauh lebih lembut dari biasanya.
Tiwi tersenyum kecil, lalu berbisik, “Ternyata Dokter Dingin kalau tidur imut juga.”
Ia turun dari tempat tidur dengan hati-hati, lalu menuju dapur. Mengenakan apron kuning cerah, Tiwi mulai menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruangan.
Beberapa menit kemudian, Tristan muncul di dapur dengan rambut sedikit berantakan, hanya mengenakan kaus abu tipis. “Kamu bangun pagi?”
“Insting mantan ART,” jawab Tiwi ringan. “Lagipula, aku suka aroma pagi. Kayak semangat baru.”
Tristan mendekat, mengambil secangkir kopi yang disodorkan istrinya. “Kamu nggak istirahat dulu?”
“Udah cukup tidur. Sekarang waktunya jadi istri produktif.”
Tristan menatapnya, bibirnya membentuk senyum kecil. “Aku pikir kamu bakal manja di hari pertama.”
“Mana mungkin. Aku kan limited edition, inget?” sahut Tiwi sambil menggigit roti.
Tristan duduk di meja makan, memperhatikan Tiwi yang mondar-mandir di dapur dengan lincah. “Limited edition, ya?”
“Iya. Satu-satunya di dunia, nggak bisa dicetak ulang.”
Tristan mengangguk pelan. “Untung aku sempat dapat sebelum kehabisan stok.”
Tiwi spontan menatapnya, lalu tertawa geli. “Tuh, kan, kamu mulai gombal lagi!”
Tristan mengangkat bahu. “Aku realistis.”
Saat sarapan selesai, Mama Tina menelpon lewat video call. Tiwi cepat-cepat menyambar ponsel.
“Mamaaa! Aku baru selesai bikin sarapan buat anak Mama. Lihat nih, sehat dan seimbang.”
Mama Tina tertawa di layar. “Ya ampun, Tiwi, baru sehari udah kayak kompetisi ‘MasterChef’. Tristan, kamu makan habis kan?”
Tristan hanya menatap kameranya tenang. “Iya, Ma. Enak.”
Tiwi berbisik kecil, “Enak banget, ya?”
“Banget,” jawab Tristan tanpa nada bercanda, membuat Tiwi salah tingkah di depan kamera.
Mama Tina tertawa makin keras. “Duh, kalian ini… masih pengantin baru aja udah manis banget. Jaga terus ya perasaan itu.”
“Siap, Ma,” jawab Tiwi dan Tristan hampir bersamaan.
Begitu panggilan berakhir, Tiwi menatap suaminya sambil bersedekap. “Kamu sadar nggak, kita sekarang sah jadi pasangan yang ditonton orang?”
“Bukan cuma ditonton,” sahut Tristan. “Tapi disorot. Semua mata menunggu kita gagal.”
Tiwi terdiam sejenak, lalu tersenyum yakin. “Kalau gitu, biar mereka nunggu selamanya. Karena aku nggak akan nyerah buat bikin rumah ini bahagia.”
Tristan memandangnya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Dan aku nggak akan biarkan kamu jalan sendirian.”
Bersambung
Terima kasih kak untuk ceritanya, ngikutin dari awal hingga akhir
seru banget ceritanya, ⭐⭐⭐⭐⭐⭐ ☕☕☕☕☕
Terima kasih untuk cerita novelnya kak, semoga sukses selalu
terimakasih ceritanya salam sukses selalu ya 💪❤️🙂🙏