NovelToon NovelToon
Di Jual Untuk Sang CEO

Di Jual Untuk Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:9.4k
Nilai: 5
Nama Author: RaHida

Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 # Pulang Lambat

Setelah seminggu penuh beristirahat di rumah, akhirnya Tuan Muda Nadeo kembali ke kantor. Pagi itu, gedung perusahaan tampak lebih hidup dari biasanya. Para karyawan menunduk sopan ketika lift terbuka dan langkah tegas Nadeo terdengar menyusuri koridor. Meski wajahnya tampak tenang, masih terlihat sisa pucat di pipinya.

Di ruang kerjanya yang luas, tumpukan berkas menunggu di atas meja marmer hitam. Sekretaris Mark sudah berdiri di sisi kanan meja, siap dengan map dan tablet di tangan.

“Selamat pagi, Tuan Muda. Ini semua dokumen yang sempat tertunda selama Anda cuti,” ujar Mark sambil meletakkan satu tumpukan map di depan Nadeo.

Nadeo duduk perlahan, membuka jasnya dan melonggarkan dasinya sedikit. “Banyak sekali,” gumamnya sambil membuka halaman pertama. “Sepertinya aku tak bisa pulang cepat hari ini.”

Mark tersenyum tipis. “Anda tahu sendiri, perusahaan sempat berhenti di beberapa proyek karena semua keputusan menunggu tanda tangan Anda. Para direktur lain juga sudah menunggu instruksi selanjutnya.”

Nadeo hanya mengangguk tanpa menoleh. Jemarinya yang panjang dan rapi mulai menandatangani lembar demi lembar dokumen dengan gerakan tegas dan cepat.

Namun, di sela kesibukannya, pikirannya sempat melayang pada satu sosok — Aliza. Perempuan itu dengan sabar merawatnya selama ia sakit. Senyum lembut dan tatapan tulusnya muncul begitu jelas di benak Nadeo, membuat tangannya sempat berhenti menulis.

“Apakah Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya Mark khawatir melihat Nadeo tiba-tiba terdiam.

Nadeo menghela napas pelan, lalu kembali menatap berkas. “Aku baik. Lanjutkan saja laporan berikutnya.”

Mark mengangguk dan melanjutkan penjelasan, tapi dalam hati ia menyadari — tatapan Tuan Muda kali ini berbeda. Ada sesuatu yang berubah sejak ia jatuh sakit.

Sore mulai menjelang, berkas-berkas yang menumpuk sedikit demi sedikit berkurang. Mark menuangkan secangkir kopi hitam ke cangkir Tuan Muda. “Ini untuk Anda, Tuan. Anda sudah bekerja tanpa henti sejak pagi.”

Nadeo menerima cangkir itu, menatap cairan hitam di dalamnya sesaat — seolah teringat pada air jahe buatan Aliza beberapa hari lalu. “Terima kasih, Mark,” ucapnya datar, namun ada nada lirih di ujung suaranya.

Mark tidak berkomentar, hanya tersenyum mengerti. Ia tahu, di balik dinginnya tatapan Nadeo, ada perasaan yang mulai tumbuh — sesuatu yang bahkan Tuan Muda sendiri belum siap untuk mengakuinya.

Nadeo menandatangani berkas terakhir di mejanya, lalu bersandar sejenak di kursi kerja. Cahaya sore sudah mulai meredup, menandakan waktu hampir beranjak malam. Di depan meja, Sekretaris Mark masih berdiri rapi sambil menunggu instruksi selanjutnya.

Tanpa menatap, Nadeo berkata pelan namun tegas,

“Mark, nanti kabari Aliza kalau hari ini aku pulang agak lambat. Masih ada beberapa laporan yang harus kuselesaikan sebelum rapat besok.”

Mark sedikit terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Tuan Muda. Biasanya, urusan pribadi jarang sekali ia sebut di kantor. Namun, Mark segera mengangguk sopan.

“Baik, Tuan Muda. Akan saya sampaikan.”

Nadeo menatap tumpukan berkas berikutnya, lalu menambahkan,

“Pastikan dia tidak menunggu. Aku tidak ingin dia kelelahan lagi.”

Mark tersenyum kecil, nyaris tak terlihat. “Tentu, Tuan. Saya akan mengabari Nona Aliza secepatnya.”

Begitu Mark keluar dari ruangan, Nadeo menatap jendela besar di hadapannya. Langit mulai gelap, lampu-lampu kota berkelap-kelip. Dalam hati, ia bertanya pada dirinya sendiri — sejak kapan aku mulai memikirkan apakah dia menunggu atau tidak?

Begitu pintu ruang kerja tertutup rapat di belakangnya, Sekretaris Mark berjalan perlahan menyusuri koridor panjang kantor yang mulai sepi. Suara langkah sepatunya terdengar lembut di antara gema kesunyian. Di tangannya, ia masih memegang ponsel — berniat segera menghubungi Nona Aliza seperti perintah Tuan Muda.

Namun, langkahnya terhenti di depan lift. Ia menarik napas panjang, lalu bergumam lirih, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

“Apakah Tuan Muda benar-benar sudah memiliki rasa dengan Nona Aliza…?”

Mark menatap pantulan dirinya di dinding lift yang terbuat dari logam mengilap. Tatapan itu ragu, bahkan sedikit gelisah.

“Aku memang tidak pernah menyukai Nona Clara,” ujarnya dalam hati. “Dia sombong dan terlalu banyak menuntut. Tapi bukan berarti aku menyetujui hubungan antara Tuan Muda dan Nona Aliza.”

Ia menatap ke arah ponselnya, menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia benar-benar menelepon Aliza sekarang atau menundanya sebentar.

“Kalau Tuan Muda jatuh cinta pada Nona Aliza, pasti akan banyak drama,” pikirnya lagi. “Dan aku… tidak ingin terlibat dalam urusan percintaan mereka. Tugasku hanya memastikan bisnis tetap berjalan lancar, bukan mengurus hati majikanku.”

Lift berdenting pelan — tanda pintu akan terbuka. Mark menarik napas, lalu mengatur kembali ekspresinya menjadi profesional seperti biasa.

“Tapi bagaimanapun, aku hanya sekretaris. Tugas tetaplah tugas.”

Ia menekan tombol ponsel, mulai mencari kontak Aliza, dan bersiap menyampaikan pesan singkat dari Tuan Muda — dengan nada yang sehalus mungkin agar tidak menimbulkan salah paham.

Beberapa menit kemudian, ponsel Aliza yang tergeletak di meja bergetar pelan. Ia menatap layar dan melihat nama pengirim: Sekretaris Mark. Alisnya sedikit terangkat — jarang sekali ia mendapat pesan dari pria itu.

Dengan sedikit ragu, Aliza membuka pesannya.

Dari: Sekretaris Mark

“Selamat sore, Nona Aliza. Tuan Muda Nadeo meminta saya menyampaikan bahwa beliau akan pulang agak larut malam ini. Mohon jangan menunggu, beliau tidak ingin Anda kelelahan.”

Aliza terdiam. Matanya menatap layar ponsel itu lama, seolah ingin memastikan ia tidak salah baca.

Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuat dadanya terasa hangat — bukan karena isi pesannya terlalu istimewa, tapi karena perhatian kecil di balik kalimat formal itu.

Ia mengetik balasan singkat.

“Terima kasih, Tuan Mark. Tolong sampaikan pada Tuan Muda agar jangan terlalu memaksakan diri bekerja. Semoga beliau cepat pulang dan beristirahat.”

Setelah menekan tombol kirim, Aliza menatap ponselnya beberapa detik lagi, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan menatap ke luar jendela.

Lampu-lampu kota berkelap-kelip, dan di dalam hatinya, ada perasaan lembut yang sulit dijelaskan. Ia tersenyum tipis sambil berbisik,

“Tuan Muda… ternyata Anda memikirkan saya juga, ya?”

Aliza tersenyum kecil sambil menatap layar ponselnya yang baru saja ia letakkan di meja . Ia membaca ulang pesan dari Sekretaris Mark, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri,

“Tuan Muda pulang larut malam hari ini… berarti aku punya sedikit waktu untuk fokus membuat desain koleksi terbaru.”

Ia berdiri dari sofa, telungkup di atas karpet yang lembut p dengan lembar sketsa, pensil warna, dan kain sampel. Lampu meja ia nyalakan, memantulkan cahaya hangat yang membuat suasana butik terasa lebih tenang dan intim.

Sudah lama Aliza tidak merasakan kedamaian seperti ini — bekerja tanpa terburu-buru, tanpa takut jika sewaktu-waktu Tuan Muda memanggilnya tiba-tiba. Kini, hanya ada dirinya dan lembar kertas kosong yang menanti untuk dihidupkan dengan imajinasi.

Tangannya mulai menari di atas kertas. Goresan demi goresan membentuk siluet gaun dengan detail lembut, dihiasi motif bunga berputar yang terinspirasi dari mimpi-mimpi lamanya.

“Koleksi kali ini harus berbeda,” gumamnya pelan. “Aku ingin menampilkan sisi lembut sekaligus kuat… seperti yang kurasakan belakangan ini.”

Sesekali, ia berhenti untuk menyesap air hangat dan menatap hasil sketsanya. Setiap garis terasa jujur, setiap detail mencerminkan emosi yang selama ini ia pendam. Mungkin tanpa sadar, sebagian dari inspirasinya datang dari Tuan Muda Nadeo — ketenangannya, tatapan matanya, bahkan sikap keras kepala yang kadang membuat jantungnya berdebar aneh.

Waktu berjalan tanpa terasa. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Aliza akhirnya meletakkan pensilnya. Ia menatap hasil karyanya sambil tersenyum puas.

“Aku rasa… ini desain terbaikku selama ini,” ucapnya pelan.

Di luar, hujan mulai turun rintik-rintik, membentuk irama lembut yang menemani malam panjang itu.

Dan di dalam butik yang sepi, Aliza bekerja dengan penuh semangat — tanpa tahu bahwa di saat yang sama, Tuan Muda Nadeo sedang duduk di kantor, bersiap untuk pulang dengan ekspresi yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

1
partini
asisten stres atau gimana ini,tidak menyukai tapi bos mu kan suami istri malah dukung Clara dan ga mau terlibat aneh banget ga masuk otak
partini
good 👍👍👍
partini
dihhhh asisten somplak
partini
hemmmm kamu aja yg sedikit bego ngapain di pikirin Mulu
hati dah mulai suka ma istri tapi munafikun kamu ,tunggu aja nanti jg nongol lagi bikin huru hara
partini
👍👍👍👍❤️
Mericy Setyaningrum
Halloween Kak aku mampir
Raa
menarik
partini
baca jadi ingat novel tahun 2019 daniah sama tuan saga ,, good story Thor 👍👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!