Elma merasa, dirinya bukan lagi wanita baik, sejak sang suami menceraikannya.
Tidur dengan pria yang bukan suaminya, membuat Elma mengandung benih dari atasannya yang seorang playboy, Sean Andreas. Namun, Sean menolak bertanggung jawab dengan alasan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka.
Beberapa bulan kemudian Elma melahirkan bayi perempuan dengan kelainan jantung, bayi tersebut hanya bisa bertahan hingga berusia satu tahun.
Disaat Elma menangisi bayi malangnya, Sean justru menyambut kehadiran seorang bayi dari rahim istrinya, sayangnya istri Sean tak bisa bertahan.
Duka karena kehilangan anak, membuat Elma menjadi wanita pendendam. Jika ia menangisi anak yang tak pernah diinginkan papanya, maka Sean juga harus menangisi anak yang baru saja dilahirkan istrinya.
Apa yang akan Elma lakukan pada anak Sean?
Tegakah Elma menyakiti bayi malang yang baru saja kehilangan Ibunya?
Bagaimanakah hubungan Elma dan Sean selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Brengsek
#12
“Berhentilah dari pekerjaanmu, aku akan membayar 5 kali lipat gajimu.”
Tatapan matanya benar-benar dingin tak terbaca, hingga Elma ingin terus mencari tahu apakah pria ini benar-benar tak punya naluri kasih seorang ayah, pada anak biologisnya?
“Lalu?”
“Tinggallah di rumahku, dan jadi ibu susu Baby Rey.”
Dan kalimat Sean membuat keyakinan Elma semakin kuat, karena jawaban Sean tadi sudah cukup menggambarkan bagaimana sifat asli pria itu.
Elma tak berharap ada kalimat duka, kesedihan, atau bahkan penyesalan sekalipun yang terucap dari bibir Sean. Karena itu memang tidak akan mungkin terjadi.
Tapi, barusan apa yang dia katakan? Benar benar di luar nalar logika. Seolah-olah meninggalnya Eve mendatangkan berkah baginya.
“Aku tak menyangka, kebrengsekkanmu benar sudah sampai di level paling akut, sungguh tak bisa dimaafkan lagi! Pergi dari hadapanku, aku tak mau lagi melihat wajahmu!” maki Elma dengan suara paling maksimal yang bisa dihasilkan oleh pita suaranya.
Suara teriakan Elma membuat Suster Nia yang sedang membereskan barang, tergopoh-gopoh keluar dari dalam kamarnya.
“Aku akan datang lagi,” ucap Sean sebelum pergi.
“Aku tidak sudi menerimamu!” balas Elma geram.
“Tapi kamu suka uangku, kan?”
“Persetan dengan uangmu! Aku tak akan lagi menjual ASI anakku kepadamu, camkan itu baik-baik, Sean Andreas!” Amarah Elma semakin keras, di susul kemudian pintu yang ditutup dengan kasar.
Tubuh Elma bersandar di pintu, wajahnya menegang dengan rona merah penuh kemarahan. Perlahan tubuhnya melorot hingga bersimpuh di lantai, ia mulai bertanya-tanya, apakah hukuman dari Tuhan belum juga selesai? Hingga ia harus kembali berhadapan dengan mantan selingkuhannya?
“Tuhan, hamba mohon ampun, hamba akui pernah jatuh dalam gelimang dosa. Apakah engkau juga tak meridhoi perbuatan hamba?” rintih Elma dalam tangisnya.
“Bu, sudah, jangan lagi disesali, ayo kita bangkit dan menata masa depan.” Suster Nia mencoba memberi kalimat penghiburan.
“Bagaimana aku bisa menata masa depan, jika masa laluku terus datang menghampiri, seolah noda itu sulit untuk aku hapus dan aku lupakan,” jawab Elma.
“Allah punya skenario sendiri, Bu. Dan bagaimana kita tahu bagaimana jalannya skenario Allah jika kita tak bangkit dan terus mencoba memperbaiki diri.”
Elma menangis di pelukan Suster Nia, “Aku benar-benar penuh dosa, Tuhan. Aku berusaha berlalu pergi, tapi kenapa Engkau mendatangkan dia lagi?”
Suster Nia hanya memeluk dan membiarkan Elma menumpahkan tangisnya, mungkin beban hidup wanita itu sedang sampai di puncak, hingga beberapa saat lalu ia bisa berteriak lantang, menyuarakan kemarahan yang selama ini hanya ia pendam dalam diam.
•••
Elma duduk masih termenung setelah emosinya reda, wajahnya sembab dan sesekali ia masih sesenggukan. Suster Nia menyajikan 2 porsi bakmi home made yang baru saja mereka buat dengan bahan-bahan sisa yang ada di dapur.
Padahal ketika memasak tadi Elma sudah bisa tersenyum, dan bicara walau sedikit, tapi kini, wanita itu kembali murung bahkan sesekali menyeka air matanya yang masih mengalir.
“Ayo, makan dulu, Bu. Untuk sementara jangan pikirkan yang lain.”
Bukannya mulai makan, Elma justru menatap mangkuk miliknya, ia sungguh kagum dengan kemampuan Suster Nia yang hebat, karena bahan sisa bisa ia olah sedemikian rupa hingga berubah menjadi makanan lezat yang siap disantap.
“Dulu, aku pasti egois sekali? Sangat sombong, karena merasa bahwa bisa berkarir saja itu sudah cukup, tak perlu belajar yang lain, apalagi belajar memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga,” curhat Elma dengan senyum miris.
Suster Nia tersenyum lembut, “Pekerjaan rumah itu mudah, Bu. Kerjakan saja dulu dari yang paling mudah, begitu pula dengan memasak, belajar saja dulu dari yang paling mudah.”
“Merebus air?”
“Eh, iya … itu juga boleh,” kekeh Suster Nia, bukan bermaksud menertawakan Elma.
Elma mulai memakan hidangan yang ada di hadapannya, sesekali mereka membicarakan hal-hal ringan untuk mengalihkan pikiran.
“Oh iya, Sus. Setelah dari sini kamu mau kerja di mana? Sebenarnya sih, aku ingin kamu tetap disini menemaniku. Tapi, kalau kamu tetap disini, keterampilanmu akan hilang, dan hanya bisa disetarakan dengan ART saja.”
“Sebenarnya, tidak apa-apa sih, Bu. Tapi masalahnya, saya terlanjur menerima tawaran kerja dari sebuah rumah sakit.”
“Oh, iya? Dimana rumah sakitnya? kapan-kapan aku akan mampir jika kebetulan lewat.”
“Bukan rumah sakit besar, Bu. Hanya rumah sakit kecil di pinggir kota. Tapi fasilitas di sana sangat lengkap, dan banyak orang-orang tidak mampu yang akhirnya memilih berobat di sana karena semuanya gratis,” tutur Suster Nia.
“Oh, Iya? Jaman sekarang mana ada rumah sakit seperti itu?” tanya Elma heran
“Awalnya, saya pun tak percaya, karena itu hal yang mustahil. Tapi setelah kemarin tinggal di sana saat proses rekrutmen, saya lihat dan merasakan bagaimana keadaan disana, barulah saya percaya.”
“Rumah sakit itu ada di bawah naungan yayasan milik Senopati Group, Ibu tahu, kan, perusahan raksasa tersebut?”
Elma manggut-manggut, sebagai orang yang berkecimpung di dunia kerja, sudah pasti Elma paham dan sering mendengar nama Senopati Group. Yang tak Elma tahu adalah pemimpin Senopati Group adalah ayah sambung dari mantan suaminya.
“Syukurlah, aku doakan kamu betah disana, maaf kalau selama ini aku hanya menjadi penghambat karirmu.”
Suster Nia melambaikan tangan, “Tidak, Bu, Anda sudah sangat baik memperlakukan saya ketika bekerja di sini. Saya nyaman, dan tak pernah merasa pekerjaan ini menjadi beban.”
•••
Dentuman hingar bingar musik memecahkan telinga, kelap-kelip lampu disco membuat suasana malam semakin gemerlap.
Akhirnya Sean kembali lagi ke tempat tersebut, terakhir kali ia ke sana adalah di hari ia berkenalan dengan Linda. Saat itu adalah saat dimana ia merasakan cinta, tapi kini, cintanya telah pergi. Hingga Sean tergoda untuk kembali ke tempat ini.
“Sudah, jangan banyak minum, kamu suda terlalu mabuk,” ujar wanita berpakaian pas-pasan yang saat ini menemaninya. Tapi sebenarnya wanita itu senang melihat Sean kembali lagi, dulu ia hampir berhasil menggaet Sean, tapi Linda datang dan mengacaukan rencananya, kini ia tak punya penghalang lagi.
“Ah, awas!” Sean mendorong tubuh wanita yang menemaninya, “Persetan dengan mabuk! bila— bila— perlu aku— aku apa ya? Hihihi.” Sean tertawa ngelantur.
“Aku— ah, bodo amat, pikirkan saja besok, aku mau apa.” Sean kembali tertawa menatap botol minuman yang sedang ia ajak bicara.
Melihat celah menguntungkan, wanita itu pun memasukkan serbuk obat pembangkit gairah, agar malam ini ia bisa mewujudkan keingannya menguasai Sean sepenuhnya. Dengan gerakan lincah dan ektra cepat, wanita itu memasukkan bubuk obat tersebut ke dalam botol minuman, kemudian menukarnya dengan botol yang ada di tangan Sean.
“Kembalikan!”
“Ini sudah habis, minum saja yang ada di tanganmu.”
Seringai wanita iti semakin lebar, ketika melihat Sean mulai menggerakkan ujung botol ke mulutnya. Tiba-tiba—
kerren
semangat terus nulisnya yaaa 😍