Noura mati dibunuh suaminya dan diberi kesempatan hidup kembali ke-3 tahun yang lalu. Dalam kehidupannya yang kedua, Noura bertekad untuk membalaskan dendam pada suaminya yang suka berselingkuh, kdrt, dan membunuhnya.
Dalam rencana balas dendamnya, bagaimana jika Noura menemukan sesuatu yang gila pada mertuanya sendiri?
"Aah.. Noura." Geraman pria itu menggema di kamarnya. Pria itu adalah Zayn, mertua Noura yang sering menyelesaikan kebutuhan diri sambil menyebut nama menantu wanitanya.
"Kenapa dia melakukan itu sambil menyebut namaku..?" Noura harus dihadapkan mertua gilanya yang sudah duda. "Anaknya gila.. ayahnya juga lebih gila, eh tapi.. besar juga ya kalau dilihat-lihat."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan yang tumpah
Tapi satu hal yang pasti muncul dari pikiran Noura.
'Nggak, mana mungkin aku bisa bersama pria lain? Kepikiran aja nggak..' Batinnya.
Noura tersenyum kecil, mencoba tetap sopan meski dalam hatinya ada sesuatu yang terasa berat.
"Tidak, terima kasih, Pak Tyson. Semoga harimu menyenangkan," Noura menolak dengan nada halus namun tegas.
Tentu saja, ia menolak permintaan ini. Bagaimana bisa dirinya berjalan bersama pria lain dengan begitu mudahnya? Itu… terdengar mustahil.
Tyson menggaruk kepalanya, tampak bingung. "Astaga, aku ditolak lagi… Baiklah, Bu Noura, aku akan pulang dulu. Semoga Anda juga baik-baik saja."
Noura hanya tersenyum tipis, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda perpisahan, lalu kembali ke mejanya.
Seharusnya ia merasa lega, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Lagi-lagi Zayn kembali mengusik pikirannya.
Di sekelilingnya, orang-orang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tapi baginya… segalanya terasa kosong.
Hari berlalu seperti biasa, namun ada sesuatu yang tidak sama.
Sesekali, tatapannya melirik ke arah sudut ruangan, di mana Zayn tengah berbicara dengan John.
Biasanya, ia akan menyapa. Akan ada pertukaran kata-kata. Tapi kali ini… Noura hanya berdiri diam.
Tangan Noura mengepal tanpa sadar. Aku nggak seharusnya nyapa… Pikir Noura seraya membuang nafas pelan.
Noura memilih mengambil jalan lain dan segera keluar dari kantor. Tangannya meraih ponsel dan dengan cepat memesan taksi.
Selama perjalanan pulang, ia bersandar di kursi belakang, menatap kosong ke luar jendela. Lampu-lampu kota berpendar di kaca, tetapi semuanya terasa buram.
Kenapa?
Kenapa rasanya begini?
Tangannya meremas ujung tasnya, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa semakin kacau.
Saat itulah, ponselnya bergetar.
Notifikasi muncul di layar.
Zayn: Aku akan menunggumu di restoran Marine, jam 7 malam.
Seketika, hatinya mencelos. Jari-jarinya gemetar saat membaca pesan itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Zayn yang membuat dadanya terasa sesak.
Tanpa sadar, air matanya jatuh.
"Eh…?"
Noura mengerjap, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tangannya menyentuh pipi, dan ia merasakan hangatnya air mata yang mengalir begitu saja.
Kenapa… aku menangis?
Pikirannya berkecamuk. Ia tidak mengerti. Seharusnya ia bisa mengabaikan pesan itu.
Tapi… hatinya menolak.
Matanya memerah, bahunya bergetar pelan. Ia mengigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang hampir keluar.
Taksi berhenti tepat di depan rumahnya, tetapi Noura tidak segera turun. Ia menatap pesan itu lagi.
Zayn…
Dadanya semakin terasa sesak. "Ini juga untuk kebaikannya," gumam Noura, lebih kepada dirinya sendiri.
...****************...
Ada beberapa alasan mengapa Noura merasa begitu lelah hari ini. Apalagi saat ia sampai di rumahnya, suasana terasa sepi sekali.
Kemungkinan besar Darrel pergi menemui Mia yang sedang bersedih, pikir Noura.
Benar saja, tak lama setelahnya, ponsel Noura bergetar. Sebuah pesan dari Darrel muncul di layar.
Darrel: Ini jam pulang kantor ya, kamu udah di rumah? Maaf sayang.. aku ada urusan diluar kayanya nggak pulang dulu
Noura tersenyum kecil. "Baguslah," gumamnya. Ia lebih suka menyendiri saat ini.
Noura segera meneguk segelas air dingin, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Semuanya benar-benar terasa menyiksa. Tatapan Noura kosong menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang ke banyak hal yang menyakitkan.
Waktu terus berjalan, tanpa ia sadari, kelopak matanya mulai terasa berat.
"Selamat menikmati kencanmu, Daddy," bisiknya lirih pada dirinya sendiri. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh, mengalir pelan di pipinya.
- Zayn POV -
Di saat yang sama, di sisi lain kota, Zayn duduk di sebuah kafe, menyesap kopi hangatnya.
Pria itu berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja ada kegelisahan yang mengusik hatinya. Keputusan Noura benar-benar mendadak, dan ini terasa aneh baginya.
Tatapannya kembali jatuh pada layar ponsel, pada pesan terakhir dari Noura yang memintanya untuk bertemu di restoran Marine.
Bagi Zayn, Ini kesempatan yang tidak bisa ia sia-siakan.
"Aku harus menghiburnya agar dia berubah pikiran…" Gumam Zayn dengan tekad yang kuat.
Tanpa berpikir panjang, ia segera pergi membeli seikat bunga mawar merah yang segar dan penuh warna.
"Semoga bunga ini bisa membuatnya merasa lebih baik," bisiknya sambil menggenggam erat buket itu.
Tak terasa, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Zayn sudah tiba lebih dulu di restoran untuk melakukan reservasi.
Zayn memastikan semuanya sempurna—bunga terletak rapi di atas meja, dan hidangan kesukaan Noura telah dipesan.
Kini, ia hanya perlu menunggu.
Dengan penuh harap, Zayn menatap pintu restoran, menanti kedatangan wanita yang begitu ia rindukan.
...****************...
Beberapa saat berlalu. Zayn masih menunggu di ruang VVIP, sesekali melirik ponselnya dengan perasaan gelisah.
Zayn kembali menatap pesan dari Noura, berharap wanita itu segera datang.
Namun, yang muncul di hadapannya bukanlah Noura.
Seorang wanita lain berjalan menghampiri mejanya dengan langkah percaya diri, mengenakan dress mini yang mencolok.
"Halo, Pak Presdir," suaranya terdengar berbeda dan Zayn langsung menyadarinya.
Zayn mengerutkan kening. Di depannya kini berdiri Yolan, pegawainya.
Tanpa menunggu lama, Zayn langsung bangkit dari kursinya, ekspresi wajahnya berubah tegang.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya dengan nada tajam.
Yolan tersenyum menggoda saat matanya menangkap buket bunga di atas meja. Dengan gerakan cepat, Yolan mengambil bunga itu dan mencium aromanya.
"Ini bunga yang cantik, Pak Presdir," gumamnya penuh godaan.
Zayn langsung menepis tangan Yolan dengan kasar. Ia tidak mau bunga yang akan diberikan pada Noura, disentuh orang lain.
Seketika, buket bunga itu terlempar dan hancur. Bersamaan dengan rasa kecewa Zayn mengenai makan malam ini.
"Aw!" Yolan memekik pelan, pergelangan tangannya kini dicengkeram erat oleh Zayn.
"Kenapa kau kemari?" Zayn menatapnya dengan tajam, penuh kecurigaan.
"Pak Presdir lepaskan.. Ini sakit.." Yolan berpura-pura tersakiti, nadanya berubah manja. "Aku hanya ingin makan malam bersamamu, Pak Presiden."
Yolan semakin mendekat, seakan ingin menggoda Zayn lebih jauh. Namun, bukannya terpengaruh, Zayn justru merasa jijik.
Ini bukan wanita yang ia tunggu. Sesuatu terasa tidak beres.
Kenapa Yolan? Pikirnya. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Noura...
Zayn segera membereskan barang-barangnya, bersiap pergi.
"Pak Presdir!" Yolan tampak kecewa, buru-buru menarik lengan Zayn, tapi ia dengan sigap menepisnya.
"Kenapa ingin pergi?" Suara Yolan terdengar lebih mendesak. "Ayo habiskan malam bersamaku..."
Zayn mendengus kesal sebelum mendorong wanita itu menjauh.
"Itu tidak akan pernah terjadi," ucapnya dengan dingin.
Yolan menggigit bibirnya, ekspresi wajahnya berubah. "Apa ini karna Noura?" Tanyanya tajam.
Zayn terdiam sejenak. Matanya menyipit, penuh kecurigaan.
Sudah kuduga… Pasti ini ada hubungannya dengan Noura, gumamnya dalam hati.
Yolan justru tersenyum licik.
"Padahal Noura sendiri yang menjualmu padaku, Pak Presdir."
Detik itu juga, sesuatu dalam diri Zayn meledak. Tanpa pikir panjang, ia mencengkeram leher Yolan, mendorongnya hingga terhimpit di atas meja.
BRUGH!
Suara nafas Yolan tercekat, wajahnya berubah ketakutan.
"P-ak.." Yolan sampai tidak bisa bernafas.
"Kau memanfaatkan Noura agar bisa kemari?!" Suara Zayn terdengar mengancam, matanya berkilat penuh amarah.
Yolan terbatuk, berusaha melepaskan cengkeraman itu, tapi kekuatan Zayn terlalu besar. Ruang VVIP itu memang kedap suara dan sepu, tapi ini bisa berbahaya.
Zayn bisa saja membunuh wanita itu.
"Dasar j*lang!" Geram Zayn, semakin menekan cengkeramannya pada leher Yolan.
Brak!
Namun, tiba-tiba seseorang datang.
"Pak Zayn, kendalikan emosi Anda!" Dia Jhon, sekretaris sekaligus rekan Zayn masuk ke ruangan dengan ekspresi serius, tangannya sigap menahan lengan Zayn.
"Lepaskan dia, Pak Zayn. Biar aku yang mengurusnya." Teriak Jhon berusaha menyadarkan Zayn agar pria itu berhenti mencekik Yolan.
Zayn tetap tidak mau mengendurkan cengkeramannya. Wajahnya tegang, penuh amarah yang belum mereda.
Yolan terbatuk, nafasnya tersengal, namun Zayn tidak peduli.
John, yang sejak tadi berusaha menahan, akhirnya bertindak lebih keras.
"Pak Zayn, hentikan!" John mendorong bahunya dengan kuat, mencoba memisahkan Zayn dari Yolan.
Zayn menggeram, hampir tidak bisa menahan emosinya. Tapi, sebelum semuanya semakin memburuk, suara John kembali terdengar, kali ini lebih tegas.
"Noura menunggu di cafe seberang, Pak Zayn."
Zayn langsung berhenti. Matanya menatap tajam ke arah John. "Kau serius?" Tanyanya cepat.
John mengangguk. "Ya… Dia ada di cafe seberang. Aku tidak tau dia sedang apa, tapi lebih baik Pak Zayn menyusulnya sekarang. Biar aku yang mengurus Yolan."
Zayn terdiam sejenak. Lalu, tanpa banyak bicara, ia melepas cengkeramannya dan mengangguk pada John.
"Jangan biarkan dia kabur," perintahnya sebelum berbalik pergi.
Di belakangnya, Yolan menjerit kesal.
"Pak Presdir lebih memilih jalang itu? Menantumu sendiri?!! Anda akan menyesal! Publik akan tau segalanya, dan reputasimu akan hancur!"
Langkah Zayn sempat terhenti mendengar ancaman itu. Memang benar, ia selalu peduli pada reputasinya.
Bahkan hari ini ia marah pada Noura karna pekerjaannya. Tapi, dalam keadaan begini.. kehilangan Noura terasa lebih membunuhnya daripada kehilangan reputasi.
Dengan langkah tegap, Zayn akhirnya melangkah keluar, menuju cafe di seberang, tempat Noura menunggunya.
Di dekat restoran Marine, Noura duduk diam, membiarkan teh hangat di hadapannya mendingin tanpa ia sentuh.
Tangannya menggenggam cangkir itu erat, seolah mencari sedikit kehangatan di tengah dinginnya kehampaan yang merayap di hatinya.
Malam ini terasa begitu panjang. Terlalu panjang.
Noura seharusnya sudah terbiasa dengan perasaan ini di kehidupan sebelumnya—perasaan tidak cukup baik, tidak cukup berharga, tidak cukup diinginkan.
Tapi tetap saja, saat ini ia merasa seperti seseorang yang telah membiarkan dirinya diinjak-injak oleh harapannya sendiri.
Zayn pasti bersama Yolan sekarang.
Mungkin mereka sedang duduk berdua, berbincang dengan intens. Atau mungkin… pria itu sudah membiarkan Yolan menyentuhnya lebih jauh.
Membayangkannya saja membuat perut Noura terasa mual.
Aku yang menyeretnya ke dalam situasi ini. Tapi kenapa aku yang merasa hancur?
Noura mengepalkan tangannya. Dadanya sesak, matanya mulai memanas. Tapi ia menolak menangis.
Bahkan Noura sengaja minum teh di dekat tempat pertemuan Zayn dan Yolan, hanya untuk melemparkan harapan terakhir.
Walau sakit, Noura ingin melihatnya.. Noura ingin melihat pria itu untuk terakhir kali sebelum ia mengubur perasaannya.
Setidaknya jika Zayn terlihat mesra dengan wanita lain, mungkin Noura akan cepat melupakannya.
Semakin lama ia menunggu, semakin parah perasaan itu mencabiknya.
Noura menundukkan kepala, menggigit bibirnya kuat-kuat. Noura mengatupkan kelopak matanya erat-erat. Rasanya seperti tenggelam dalam samudra kelam tanpa dasar.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar.
"Noura!"
Noura terlonjak. Suara itu… Ia hampir tidak percaya. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia menoleh.
Dan di sanalah dia, Zayn. Pria yang selalu ia pikirkan, yang baru saja ia harapkan, muncul di hadapannya.
"Daddy?!" Noura jelas terkejut dan membelalakan mata.
Nafas Zayn memburu, wajahnya sedikit basah oleh keringat. Matanya menatapnya penuh emosi—campuran kegelisahan, ketakutan, dan sesuatu yang lebih dalam.
Di tangannya, hanya ada setangkai mawar merah yang segar. Sebelum kemari, Zayn sempat mengambil mawar yang masih utuh walau hanya setangkai.
“Maaf… yang tersisa hanya ini.” Suaranya bergetar, nyaris patah.
Zayn lalu tersenyum sambil menatap Noura lekat. "Bunga yang cantik ini tersisa satu, seperti dirimu.. Satu-satunya wanita yang cantik mataku. Satu-satunya wanita yang ingin kujaga, dan tidak ingin kulepas."
Mendengar hal itu, seakan ada sesuatu yang meledak di dalam dada Noura. Seketika, air matanya jatuh. Noura tidak bisa menahannya lagi.
Isakannya pecah begitu saja. Semua luka, semua ketakutan, semua penyesalan yang selama ini ia pendam, semuanya luruh dalam tangisnya.
Dengan tubuh yang gemetar, Noura bangkit dan langsung berlari ke arah Zayn.
Tanpa ragu, tanpa memikirkan apapun lagi, Noura melemparkan dirinya ke dalam pelukan Zayn.
Ia menggenggamnya erat, begitu erat, seakan jika ia melepaskannya, pria itu akan menghilang.