NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pagi paling absurd dalam sejarah

Cahaya matahari menembus tirai putih yang setengah terbuka. Audy duduk di meja makan, menyesap jus jeruk perlahan sambil sesekali melirik jam tangan di pergelangan kirinya.

Hari ini, ia tampil sedikit berbeda.

Rambutnya di gerai dengan sisi kanan dan kiri di jepit, dan lehernya tertutup sempurna oleh turtle neck berwarna krem muda.

David turun dari tangga sambil membaca pesan di ponselnya. Begitu melihat penampilan putrinya, langkahnya langsung terhenti.

“Pagi, Daddy,” sapa Audy dengan suara ceria yang terlalu dibuat-buat.

David meletakkan ponselnya di meja, menatap putrinya dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik.

“Turtle neck? Pagi-pagi begini? Biasanya kau paling tidak betah jika harus mengenakan yang semacam itu.”

Audy tersenyum kikuk, segera meneguk jusnya lagi agar punya alasan untuk tidak langsung menjawab.

“Eh… pagi ini agak dingin, Dad.”

“Dingin?” David menatap ke luar jendela, melihat prakiraan cuaca di layar ponsel nya. Matahari sudah cukup terik, bahkan burung-burung di taman pun tampak riang. Ia mengerutkan kening, “padahal cuaca lumayan panas. Kau tidak sedang demam, kan?”

“Tidak, tentu tidak!” potong Audy cepat, “aku sehat, sungguh. Hanya, ya, rasanya… hmm… ingin tampil beda saja.”

David menatap putrinya beberapa detik lebih lama, lalu menghela napas.

“Jika kau merasa kurang sehat, lebih baik hari ini di rumah saja. Kantor tidak akan lari, Audy.”

Audy menegakkan tubuhnya, “aku baik-baik saja, Dad. Lagipula, ada banyak pekerjaan menumpuk. Jika aku tidak datang, bosku yang satu itu mungkin akan menelpon setiap lima menit hanya untuk memastikan aku masih hidup.”

David terkekeh, “Bosmu itu, si inisial A? Dari ceritamu, sepertinya dia agak… rumit.”

“Agak?” Audy menaikkan alisnya, “yang benar saja, Daddy. Kata ‘agak’ itu terlalu lembut untuk menggambarkan betapa menyebalkannya dia.”

David tersenyum tipis, menikmati kepolosan nada kesal putrinya, “jika kau sampai segitu hafalnya dengan kebiasaan atasanmu, artinya kau memperhatikan dia cukup sering.”

Audy nyaris tersedak roti, “Daddy! Maksudnya apa?”

“Tidak apa-apa,” jawab David santai sambil menyesap kopinya, “Daddy hanya bercanda.”

Namun dalam hatinya, David tetap menatap penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Audy bereaksi pagi itu—sedikit lebih gugup, sedikit lebih defensif.

Sementara itu, Audy sendiri sibuk memastikan kerah turtle neck-nya tetap menutup sempurna.

Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika bercak merah di bawah lehernya terlihat.

Cukup sudah semalam ia hampir menjerit di depan cermin.

David menepuk bahu Audy sebelum berdiri. “Baiklah. Tapi jika kau merasa pusing sedikit pun di kantor, langsung pulang, mengerti?”

Audy mengangguk cepat, “siap, Daddy.”

David tersenyum lembut. “ya sudah, cepatlah berangkat. Jangan sampai si inisial A itu menelpon ke rumah.”

“Percayalah, aku juga tidak mau,” gumam Audy pelan, mengambil tasnya.

Begitu keluar rumah, Audy menarik napas panjang, meraba lehernya sekali lagi untuk memastikan semuanya tertutup.

“Dingin, katanya,” gumamnya sendiri sambil melangkah ke mobil.

“Lebih tepatnya: panas karena ulah orang lain.”

_____

Pagi itu tidak berpihak pada Audy Sinclair.

Langit memang cerah, tapi nasibnya jauh dari kata cerah.

Baru sepuluh menit keluar dari rumah, mobil hatchback sederhana miliknya sudah terjebak di lautan kendaraan yang padat merayap. Klakson bersahutan, suara motor menyalip dari sisi kanan-kiri, dan aroma knalpot perlahan menggerus kesabarannya yang tipis.

“Hebat,” gumam Audy dengan nada datar, “hari ini cuaca bagus, outfit oke, mood… hancur total.”

Ia memutar lagu dari ponselnya, mencoba mengalihkan perhatian. Namun suara radio malah menyiarkan berita lalu lintas yang semakin memperburuk suasana.

“Jalur utama menuju pusat kota mengalami kepadatan akibat—”

Audy langsung mematikan radio itu.

“Ya, terima kasih atas kabar buruknya, Bapak Reporter,” desisnya.

Jarum jam terus bergerak, sementara mobilnya hanya berpindah sejauh tiga mobil di depan. Wajah Audy mulai memerah, bibirnya mengerucut kesal. Ia mengetuk-ngetuk setir dengan jari, lalu memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya kepadatan mulai terurai. Audy menekan pedal gas dengan hati-hati, napasnya teratur kembali.

“Baiklah, sepuluh menit lagi sampai kantor, masih aman,” gumamnya lega.

Namun rupanya alam semesta belum selesai bercanda.

Baru beberapa meter setelah jalan mulai lengang, suara duk-duk-duk terdengar dari sisi kiri mobil. Audy spontan menepi, keluar dari mobil dengan ekspresi tak percaya.

“Tidak… tolong katakan ini hanyalah ilusi,” ucapnya dengan nada memohon.

Namun kenyataan tetaplah kenyataan—ban depan kirinya kempes, benar-benar kempes.

Ia berjongkok, menatap ban itu seperti menatap musuh bebuyutan.

“Aku tahu kau lelah, tapi bisakah kau tidak menyerah sekarang?”

Audy menggaruk kepalanya dengan frustasi. Ponselnya bergetar.

Nama yang muncul di layar membuatnya hampir menjerit kecil.

Aldrich.

“Oh, sempurna sekali…” gerutunya.

Ia menekan tombol jawab.

“Halo, Pak,” katanya, menahan nada kesal.

“Kenapa suaramu seperti baru saja menelan sarang lebah?” suara berat di seberang terdengar tenang—terlalu tenang, malah.

Audy menghembuskan napas tajam, “jika Bapak ingin tahu, saya baru saja melewati macet terparah abad ini dan—tadaa!—ban mobil saya bocor. Pagi saya luar biasa menyenangkan, terima kasih sudah menelpon untuk mengingatkan saya betapa beruntungnya hidup ini.”

Aldrich tertawa kecil, “bocor?”

“Iya, bocor. Mungkin karena Tuhan tahu saya sedang terlalu bahagia.”

“Di mana kau sekarang?”

Audy menyebutkan lokasi, suaranya masih ketus.

“Saya akan menunggu teknisi kantor datang, kan? Atau mungkin sopir cadangan Bapak yang dikirim?”

“Diam di situ,” perintah Aldrich singkat.

Audy mengangkat alis, “baiklah, saya akan diam di sini sambil menghitung detik menuju keterlambatan saya yang pertama sejak menjadi asisten Bapak.”

Panggilan berakhir begitu saja tanpa salam penutup.

Audy menatap layar ponsel, bibirnya mengerucut, “sungguh luar biasa, bahkan menutup telepon pun seangkuh itu.”

Ia bersandar di kap mobil, menatap jalan yang mulai ramai lagi.

.....

Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda teknisi datang. Angin pagi mulai membuat rambutnya berantakan. Ia mendengus panjang, melipat tangan di dada.

“Jika ini ujian kesabaran, semesta, tolong beri aku nilai kelulusan sekarang juga,” gumamnya lemah.

Namun beberapa detik kemudian, suara mesin mobil yang familiar berhenti di belakangnya.

Audy menoleh… dan matanya membulat.

Itu Aldrich, turun langsung dari mobil hitamnya dengan kemeja rapi, tanpa jas, kacamata hitam, dan aura tenang seperti sedang dalam iklan mobil mewah.

Audy spontan menegakkan tubuhnya, “Bapak serius?”

Aldrich berjalan mendekat sambil melepas kacamatanya, “apanya yang serius?”

“Bapak datang sendiri?”

“Teknisi butuh waktu. Aku lebih cepat,” jawabnya datar, “lagipula, jika asistenku mogok di jalan, aku juga ikut rugi.”

Audy membuka mulut, tapi tak ada kata keluar. Antara kesal dan heran bercampur jadi satu.

“Baiklah, hebat sekali. Sekarang Bapak bukan hanya tengil, tapi juga rela jadi montir dadakan.”

Aldrich tersenyum miring, “tenang saja, aku tidak akan memperbaiki bannya. Aku hanya datang untuk memastikan kau tidak kabur dari pekerjaan. Karena kejadian semalam lebih tepatnya.”

“Percayalah, kalau pun saya kabur, itu karena Bapak penyebabnya.”

Aldrich terkekeh pelan, “Masuk ke mobilku.”

Audy memandangnya tidak percaya, “dan meninggalkan mobil saya begitu saja di sini?”

“Aku akan kirim orang untuk menanganinya, lagipula mobil seperti ini jika hilang nanti ku belikan yang baru beserta dealer dan pegawainya,” jawab Aldrich santai.

Lalu tanpa menunggu persetujuan, ia membuka pintu penumpang, “cepat. Waktu tidak menunggu siapa pun, Nona Sinclair.”

Audy mendengus, tapi pada akhirnya tetap masuk juga ke mobil bosnya itu, dengan ekspresi pasrah sekaligus jengkel.

“Baiklah, tapi jika ini bagian dari misi akal-akalan Bapak lagi, saya bersumpah akan—”

Aldrich menatapnya dengan senyum kecil, “Diam dan pasang sabuk pengaman.”

Mobil pun melaju meninggalkan pinggir jalan itu, sementara Audy hanya bisa bersandar sambil bergumam pelan,

“Ini benar-benar pagi paling absurd dalam sejarah hidupku.”

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!