Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Begitu pintu terbuka, aku langsung merasakan suasana aneh. Seperti ada sesuatu yang barusan terjadi dan buru-buru diputus.
Abang Azhar berdiri kaku, kursinya sampai bergeser ke belakang, wajahnya tegang meski dipaksakan tersenyum. Jemarinya saling meremas, seperti orang yang sedang menahan panik
Sedangkan Nisa, dia sibuk membetulkan hijabnya, menunduk, wajahnya pucat, pipinya merah seperti habis dipermalukan.
Tangannya menggenggam ujung selimut Berliana terlalu erat, seakan itu satu-satunya pegangan.
Aku terpaku sejenak.
Kenapa mereka seperti orang yang baru ketahuan sesuatu?
“Dia adalah Alfathunisa Husna… babysitter kedua putriku,” jelas Abang buru-buru.
Nada suaranya tergesa, bahkan nyaris terbata.
Aku menatap Nisa. Senyum yang ia berikan terlalu dipaksakan, matanya tak berani menatapku lama-lama.
Tubuhnya kaku, hanya tangannya yang sibuk merapikan selimut anak kecil itu.
Benarkah hanya babysitter? batinku penuh tanya.
Bahasa tubuh keduanya terlalu jelas: canggung, gugup, seperti dua orang yang menyimpan rahasia besar.
Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan gelombang curiga dalam dada. Akbar suamiku mungkin percaya saja, tapi tidak dengan aku.
Insting seorang perempuan matre Itu sangatlah kuat, apalagi sebagai adik ipar, aku berfikir keras bahwa ada sesuatu yang tidak beres di antara mereka berdua tapi apa?
Aku menunduk, berpura-pura sibuk dengan kue yang kubawa. Tapi dalam hati aku berdesis.
Abang, Mbak Nisa apa sebenarnya hubungan kalian? Apa yang tadi nyaris kulihat barusan, sebelum pintu ini terbuka?
Pandangan mataku kembali melirik mereka bergantian. Nisa buru-buru menunduk lebih dalam, Abang justru sibuk memainkan ponselnya padahal wajahnya jelas tidak tenang.
Semakin aku memperhatikan, semakin besar kecurigaan itu tumbuh.
Ya Allah… jangan-jangan Nisa bukan sekadar babysitter. Jangan-jangan…
Aku menelan ludah, menahan napas. Tapi dalam hati aku tahu, cepat atau lambat, rahasia ini akan terbongkar.
Kedua tanganku saling menggenggam erat, begitu kencang sampai jemariku memucat.
Jantungku berdegup tak beraturan, seolah hendak meloncat keluar dari dada. Rasa panik, takut, dan cemas bercampur jadi satu, membuat nafasku pendek-pendek.
"Ya Allah… jangan sampai apa yang barusan aku lakukan sama Mas Azhar tadi dilihat oleh Hafsah dan Akbar. Aku nggak sanggup kalau mereka tahu… apalagi kalau karir Mas Azhar sampai jadi taruhannya gara-gara aku," batinku gemetar.
Aku sempat melirik Mas Azhar. Sorot matanya jelas menyiratkan kegelisahan yang sama. Ia menyadari betul kepanikan yang menyelimuti diriku.Tapi, alih-alih memberi ketenangan, ia sendiri tampak kaku dan terperangkap dalam mode terkejut, wajahnya pucat, seolah kepalanya berat menahan pusing.
"Ya Allah… maafkan aku istriku. Gara-gara aku, kamu harus terjebak dalam situasi yang nggak baik seperti ini," aku bisa merasakan isi hatinya dari tatapannya.
Seketika suara lembut Hafsah memecah keheningan. Ia tersenyum simpul, menoleh padaku.
“Syukur Alhamdulillah… kalau sekarang sudah ada orang yang bisa dipercaya untuk menjaga Berliana, menggantikan Bu Retno.”
Aku menunduk, mencoba tersenyum tipis, meski dadaku serasa tercekik.
Hafsah dan Akbar duduk di sofa, menaruh beberapa makanan kesukaan Berliana di atas meja. Kehangatan pasangan itu membuatku semakin terhimpit rasa bersalah.
“Semoga ditangannya Mbak Nisa, Berliana dan Bilqis hidupnya lebih bagus. Mereka bisa dididik dengan baik,” lanjut Hafsah tanpa ragu.
Pandangannya beralih pada Mas Azhar. “Maaf ya Bang… tapi menurutku Bu Retno dan Mbak Dian memang nggak cocok mendidik mereka. Kita semua tahu karakter istri dan ibu mertua Abang.”
Kata-kata itu seperti pisau, tajam, tapi benar. Mas Azhar hanya terdiam. Wajahnya menegang, malu dan sungkan, namun tidak bisa membantah.
Akbar menimpali dengan suara serius, “Betul, Bang. Maaf kalau menyinggung, tapi memang kenyataannya begitu. Mbak Dianti kayak nggak punya empati sama sekali. Anak sakit pun masih sibuk dengan pekerjaannya di kantor.”
Aku menelan ludah, lalu memberanikan diri bersuara, meski nadaku gemetar.
“Insha Allah… aku akan melakukan yang terbaik untuk menjaga mereka. Karena bagi aku… Berliana dan Bilqis sudah seperti anak kandungku sendiri.”
Hafsah dan Akbar tersenyum, seolah menerima ucapanku tanpa curiga.
Aku menoleh sekilas pada Mas Azhar. Nafasnya sedikit lega, terlihat dari bahunya yang turun perlahan.
Aku tahu, ia sama bersyukurnya dengan aku karena kedekatan kami tidak terbaca sebagai sesuatu yang mencurigakan.
Tapi di balik senyumanku, hati kecilku terus bergetar.
"Ya Allah… apa jadinya kalau suatu hari mereka tahu aku bukan sekadar pengasuh? Apa mereka masih akan menerimaku hangat seperti sekarang? Atau justru mencaci, menganggapku perempuan jahat yang tega merebut suami orang?"
Aku kembali berusaha tersenyum ramah, menutupi gugupku.
“Semoga kehangatan ini nggak berubah meskipun suatu hari mereka tahu aku bukan siapa-siapa selain wanita yang mereka anggap perusak rumah tangga.”
Hafsah tiba-tiba melirikku, matanya tajam, seolah sedang membaca pikiranku. Senyumnya ada, tapi samar. Aku bergidik.
"Apa ini cuma perasaanku atau memang Hafsah mulai curiga?"
Aku merapatkan kedua tanganku, menunduk lebih dalam. Nafasku semakin berat.
Beberapa jam kemudian, ketika semua terasa normal, tiba-tiba aku dikejutkan lagi.
Suara teleponku dengan Dea masih terngiang jelas di telinga yaitu aku sempat menyebut Mas Azhar suamiku. Aku bahkan tertawa kecil saat Dea menggoda tentang bulan madu.
Dan kini sebuah suara muncul dari belakang, membuat tubuhku seketika kaku.
“Oh… jadi suami kamu juga seorang tentara rupanya?”
Aku refleks menoleh cepat. Jantungku nyaris copot. Tubuhku gemetar hebat, ponsel di tanganku hampir terlepas. Aku sempat menekan tombol merah, memutus panggilan.
Wajahku pucat, kedua tanganku gemetar memegangi ponsel itu. Nafasku pendek, dada sesak.
"Ya Allah… jangan-jangan semua pembicaraan tadi didengar jelas olehnya? Ya Allah, lindungi aku semoga saja dia nggak sadar, semoga saja dia nggak menghubungkan apa pun…"
Aku tersenyum kikuk, mencoba menutupi kepanikan yang jelas tergambar di wajahku. Tapi dalam hati aku benar-benar kalut, seperti berdiri di tepi jurang.
Nisa menoleh perlahan, jantungnya berdetak tak karuan. Matanya membelalak, tubuhnya kaku seketika.
Sosok yang berdiri di hadapannya membuat wajahnya seketika pucat pasi.
“Bu… Bu Nurul…” suaranya lirih, bergetar, hampir tercekat.
Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, tapi matanya penuh sorot tajam. “Tadi… aku dengar jelas kamu menyebut ‘suamiku yang berpangkat mayor’… Apa maksudnya, Nisa?”
Nisa tercekat. Kedua tangannya refleks kembali saling menggenggam, memeluk erat ponselnya seolah benda itu bisa menjadi tameng.
Wajahnya memerah, lalu memucat lagi. Bibirnya bergetar, tak sanggup langsung menjawab.
“B… bukan begitu, Bu. Saya… saya cuma… bercanda sama sepupu saya,” ucapnya terbata, mencoba menutupi.
Bu Nurul mengangkat alis, tatapannya menusuk. “Bercanda? Masa bercanda sampai segitunya? Nada bicaramu jelas bukan bercanda, Nak. Kamu bilang dengan yakin suamiku.”
Air muka Nisa makin kacau. Ia menunduk dalam, jemarinya bergetar. Dadanya serasa ditindih beban berat.
“Ya Allah… kalau rahasia ini terbongkar, habislah aku… habislah Mas Azhar,” batinnya.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Azhar masuk dengan wajah letih setelah mengurus administrasi rumah sakit. Tapi begitu melihat wajah panik Nisa dan sorot curiga Bu Nurul, ia langsung merasa ada yang tidak beres.
“Ada apa ini?” tanyanya cepat, nadanya sedikit tinggi karena cemas.
Bu Nurul menoleh, menatap Azhar dengan tatapan penuh tanda tanya. “Abang… boleh saya tanya jujur? Apa sebenarnya hubungan Abang dengan Mbak Nisa ini? Jujur, tadi saya dengar sendiri dia menyebut Abang suaminya.”
Azhar membeku. Langkahnya seolah terpaku di tempat. Darahnya terasa berhenti mengalir.
Ia melirik sekilas Nisa, yang sudah hampir menangis karena tak kuasa menahan rasa bersalah.
“Mas…” suara Nisa pelan, penuh getar. Air matanya menetes, jatuh di punggung tangannya yang masih saling menggenggam erat.
Azhar menarik napas panjang, dadanya naik turun berat. Pandangannya penuh dilema.
Di satu sisi, ia ingin melindungi Nisa dari tuduhan dan fitnah. Tapi di sisi lain, ia sadar sekali bahwa kejujuran ini bisa menghancurkan semuanya.
“Bu Nurul…” suara Azhar akhirnya terdengar, berat dan pelan. “Apa yang Nisa ucapkan itu tidak sepenuhnya salah. Memang dia…” Azhar berhenti, menelan ludah. “Dia adalah istri saya.”
Ruangan seketika hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar berdentang lambat.
Bu Nurul menutup mulutnya dengan tangan, terperangah. Matanya membelalak, tubuhnya hampir limbung menahan keterkejutan.
“Astagfirullah… Abang apa yang sudah Abang lakukan?!”
Nisa menangis semakin deras. Ia berusaha bicara, tapi suaranya tersendat-sendat.
“Maafkan aku, Bu… maafkan aku… aku nggak bermaksud merebut aku hanya aku hanya jatuh cinta sama Mas Azhar dan kami terikat pernikahan siri.”
Tangisnya pecah. Tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa seluruh dunia runtuh menimpa dirinya.
Azhar langsung meraih bahu Nisa, mencoba menenangkan. “Sudah, Sayang jangan salahkan dirimu. Semua ini salahku, bukan salahmu.”
Bu Nurul menggeleng dengan wajah penuh kekecewaan. “Abang… kenapa kenapa harus begini jalannya? Kamu tahu apa artinya ini kalau keluarga besar mengetahuinya. Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau Mbak Dian tahu?”
Azhar menunduk, wajahnya muram. “Saya tahu, Bu… saya tahu resikonya. Tapi saya juga tahu, Dian sudah terlalu sering melukai hati saya dan menelantarkan anak-anak. Nisa… dia yang selama ini ada, yang menguatkan saya, yang benar-benar merawat Berliana dan Bilqis.”
Nisa terisak, menutupi wajah dengan kedua tangannya. “Aku siap dicaci, Bu… aku siap dianggap wanita perebut, tapi tolong jangan salahkan Mas Azhar seorang diri. Aku yang juga bersalah.”
Suasana kamar berubah menjadi tegang dan penuh emosi. Udara seakan menyesakkan dada mereka bertiga.
Bu Nurul akhirnya menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara yang sedikit lebih lembut, meski tetap tegas.
“Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini. Jangan harap rahasia ini bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat semua akan terbongkar.”
Setelah itu, ia beranjak pergi meninggalkan kamar, meninggalkan Azhar dan Nisa yang masih terpuruk dalam kecemasan dan tangisan.
Azhar meraih tangan Nisa yang gemetar. “Tenang, Sayang apa pun yang terjadi, aku akan tetap disampingmu. Aku nggak akan biarkan kamu sendirian menghadapi semuanya.”
Nisa menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, air matanya mengalir deras. “Mas.. aku takut sekali.”
Azhar memeluknya erat. “Jangan takut. Selama kita bersama, kita bisa melewati ini percayalah padaku.”
Nisa menoleh perlahan, jantungnya berdetak kencang. Nafasnya tercekat ketika menyadari ada seseorang berdiri tak jauh darinya. Wajahnya seketika pucat.
‘Ya Allah… jangan-jangan Bu Nurul dengar barusan aku bilang suamiku?’ pikirnya panik.
Bayangan itu langsung berkelebat di kepalanya. Ia membayangkan Bu Nurul mendekat dengan tatapan tajam.
“Aku dengar jelas kamu menyebut suamiku yang berpangkat mayor. Maksudmu apa, Nisa? Jangan-jangan kamu dan Abang Azhar sudah menikah diam-diam?”
Air matanya mulai berkaca. Jemarinya menggenggam ponsel erat-erat, seolah sedang benar-benar menghadapi interogasi.
Namun suara lembut memecah lamunannya.
“Nisa?”
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor