Perjalanan Kisah Cinta Om Pram dan Kailla -Season 2
Ini adalah kelanjutan dari Novel dengan Judul Istri Kecil Sang Presdir.
Kisah ini menceritakan seorang gadis, Kailla yang harus mengorbankan masa mudanya dan terpaksa menikah dengan laki-laki yang sudah dianggap Om nya sendiri, Pram.
Dan Pram terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang Ibu, disaat tahu istrinya adalah putri dari orang yang sudah menghancurkan keluarga mereka.
Disinilah masalah dimulai, saat sang Ibu meminta Pram menikahi wanita lain dan membalaskan dendam keluarga mereka pada istrinya sendiri.
Akankah Pram tega menyakiti istrinya, di saat dia tahu kalau kematian ayahnya disebabkan mertuanya sendiri.
Akankah Kailla tetap bertahan di sisi Pram, disaat mengetahui kalau suaminya sendiri ingin membalas dendam padanya. Akankah dia tetap bertahan atau pergi?
Ikuti perjalanan rumah tangga Kailla dan Om Pram.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Generasi Penerus Bangsa
Kailla tertidur di samping Pram yang sedang menyetir. Untuk pertama kalinya setelah peristiwa penculikan Kailla, Pram memegang setir kembali atas permintaan khusus dari istrinya.
Sesekali Pram melirik dan tersenyum, menatap Kailla yang terlelap. Kailla benar-benar tukang tidur, dimana saja dia bisa tertidur. Beberapa kali, kepalanya terantuk kaca jendela, tapi itu tidak mengganggunya mimpi indahnya.
Iringan mobil yang dikendarai Pram dan Bayu akhirnya tiba juga di kediaman Pram. Tampak security yang semalam sempat menjadi sasaran kemarahan Pram, membuka pintu dan tertunduk saat mobil melewatinya.
“Siang Pak,” ucapnya sopan. Setelah berlari secepat kilat untuk membuka pintu mobil untuk majikannya.
Pram tidak menjawab atau tersenyum. Wajahnya tetap serius, tapi tepukan Pram di pundak security itu cukup menjawab apa yang dirasakan Pram saat ini.
“Ricko mana?” tanya Pram, setelah membuka pintu mobil tempat Kailla duduk.
“Di belakang Pak.”
“Minta dia bertemu denganku di taman belakang,” perintah Pram, sebelum menunduk untuk membangunkan Kailla yang masih saja tidur.
Tangan Pram sudah mengguncang kecil pundak yang melemas dan bersandar di kursi mobil, wajah polos itu tidak terganggu dengan keributan atau goncangan apa pun. Menggeliat sebentar lalu mengerjap beberapa kali.
Mata Kailla menyipit tatkala beradaptasi dengan sinar matahari siang yang menyilaukan pandangannya.
“Kita sudah sampai, Kai,” bisik Pram.
“Hmmmm,” gumam Kailla, tersenyum kemudian memejamkan matanya kembali.
“Mau digendong apa....”
Kailla tidak membiarkan Pram menyudahi ucapannya. Kedua tangannya sudah merangkul leher suaminya, meminta gendong seperti biasanya.
“Eh... kamu bertambah berat Kai,” bisik Pram, berjalan masuk ke dalam rumah.
“Bu, tolong bantu siapkan pakaian Kailla,” perintah Pram saat berpapasan dengan Ibu Ida yang sedang membersihkan pajangan di dekat tangga.
Kailla membuka mata, berteriak pada asisten rumah tangganya.
“Tidak perlu Bu, aku tidak tidur, hanya mengerjai laki-laki tua ini!” ucap Kailla pada Ibu Ida.
Netra mata itu memandang lekat pada sang suami yang sedang menggendongnya. Senyum usil dan nakal kembali tersungging di bibirnya.
Saat tiba di puncak tangga, Pram membawa Kailla diujung railing tangga, bersiap menjatuhkan istrinya ke lantai satu rumah mereka.
“Eh-eh, apa-apaan ini?” protes Kailla panik saat melihat Pram yang sedang meletakkan punggungnya di atas railing.
Kailla bisa melihat jelas, ruang tamu yang berada di lantai satu, tepat di bawahnya.
“Sayang.., turunkan aku,” pinta Kailla, mencengkeram kencang leher suaminya.
“Turunkan disana?” goda Pram dengan usil.
“Jaaaangannnnnnn,” pinta Kailla dengan manjanya.
“Kamu menjatuhkanku, kamu pun ikut jatuh. Mari kita jatuh bersama-sama,” ucap Kailla memeluk erat leher Pram.
“Hahaha.. ,aku belum mau mati konyol. Aku belum memiliki penerus,” sahut Pram, menurunkan Kailla dari gendongannya.
“Ayo, kita mencetak generasi penerus bangsa,” ucap Pram lagi, menggandeng tangan Kailla masuk ke dalam kamar.
“Tidak! Aku mau mandi dan berendam yang lama,” tolak Kailla, bergegas menuju kamar mandi saat sudah berada di dalam kamar mewah mereka.
“Tidak apa-apa Kai, generasi penerus bangsa itu bisa dicetak di mana saja, termasuk di dalam bath-up,” sahut Pram, menjatuhkan tubuh lelahnya di atas ranjang, setelah membuka kemejanya.
Hanya terbalut singlet putih, dia menikmati ranjang empuk yang sudah lebih dari 24 jam ditinggalkannya.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi, menggoda iman dan membangunkan pikiran kotor di dalam otak Pram. Bangkit duduk dengan senyum licik, dia menatap ke arah kamar mandi.
“Aku akan memberinya kejutan!” ucap Pram, menyusun rencana yang membuat istrinya tidak akan berkutik di dalam sana.
Buru-buru Pram berlari menuju kamar mandi yang tidak terkunci. Tidak butuh waktu lama, sudah terdengar teriakan Kailla bak petir menggelegar dari dalam kamar mandi. Yang mengomel, mengoceh dan mengumpat.
“Ah...Keluar! Kamu menggangguku saja!” gerutu kailla membuka matanya. Dia sedang menikmati acara berendamnya saat Pram memaksa masuk ke dalam bath-up dengan tubuh yang sudah polos.
“Sudah jangan banyak protes! Sudah lama kita tidak berendam bersama!” ucap Pram.
“Baru beberapa hari, lama apanya!” ucap Kailla kesal.
Kailla terus saja mengomel, sedangkan Pram lebih banyak menggunakan tangannya untuk bekerja. Laki-laki itu memilih diam, menikmati apa saja yang bisa disentuhnya, membiarkan ocehan Kailla yang tanpa jeda.
“Kamu tidak lelah Sayang, mengoceh dari tadi?” tanya Pram, saat meremas gunung merapi kembar yang berusaha dilindungi pemiliknya.
“Singkirkan tanganmu, Kai,” pinta Pram berusaha menyingkirkan tangan Kailla.
“Tidak..!” tolak Kailla kembali.
Padahal dia jelas-jelas tahu, Pram sudah bergerilya dengan semangat empat lima, lengkap dengan bambu runcing dan meriam yang siap ditembakan setiap saat.
“Ayolah Kai. Kita harus kompak untuk memenangkan pertempuran, demi kesejahteraan bersama.”
Buk!!! sebuah pukulan berlabuh di dada telanjang Pram.
Kailla masih saja mengoceh, dengan Pram yang tidak kenal lelah melakukan perundingan demi perundingan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Perjuangan Pram berakhir, saat sebuah tas branded keluaran terbaru dijanjikannya. Istrinya langsung bertekuk lutut.
Meskipun sesekali masih terdengar suara berisik Kailla bercampur dengan omelan, tapi pada akhinya suara-suara berisik itu berganti menjadi desahan.
***
Kailla keluar dari kamar mandi dengan wajah cemberut, berbeda dengan Pram yang berseri-seri. Senyum tersungging sepanjang laki-laki itu berganti pakaian. Sesekali melirik istrinya yang hanya terbalut handuk.
“Kai, aku harus ke kantor sebentar,” pamit Pram setelah berganti pakaian.
Menghampiri istrinya yang masih betah cemberut.
“Aku akan meminta Stella membelikanmu tasnya. Oh ya, bersiaplah untuk bertemu dengan mama. Aku akan menjemputmu nanti,” ucap Pram mengecup bibir tipis istrinya.
“Kita akan bertemu mama di restoran,” ucap Pram berjalan menuju walk in closet.
Tak lama dia sudah keluar dengan menenteng gaun Kailla, meletakannya dengan rapi di atas tempat tidur.
“Sayang, kenakan gaun itu. Aku sudah memilihnya untukmu,” jelas Pram, menunjuk ke arah gaun yang dimaksud.
“Aku berangkat sekarang. Jangan lupa tutupi lehermu, aku membuat stempel terlalu banyak tadi. Maaf aku lupa kita akan bertemu mama,” ucap Pram lagi, mengecup sekilas pucuk kepala istrinya sebelum keluar kamar.
***
Ricko duduk di bangku taman belakang menatap yacht majikannya yang sedang terparkir di dermaga. Mulutnya komat-kamit, menggerutu karena menunggu Pram lebih dari dua jam.
Baru saja dia akan pergi meningalkan tempat itu, langkah kaki kasar terdengar berjalan mendekat,
“Pak...,” sapa Ricko saat berbalik. Menatap laki-laki yang hanya berbalut kaos putih dan kacamata hitam itu sedang berdiri kaku menatapnya.
“Ada yang mau aku bicarakan, Rick.” Pram membuka pembicaraan.
“Iya Pak, ada apa?” tanya Ricko sedikit canggung.
Pram mengeluarkan salep dan menyodorkannya pada Ricko.
“Maaf untuk semalam,” ucap Pram pelan. Menatap lekat ke arah manik mata asisten tampan yang umurnya belasan tahun di bawahnya.
“Tidak apa-apa Pak,” sahut Ricko tertunduk, seperti ada beban berat yang dipikulnya.
“Maaf, ini kali pertama kita berbicara serius,” ucap Pram.
***
To be continued
Terimakasih
Love You all