Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan ke Sarang Lama
Angin malam menyusuri jalanan batu Kota Yanjiang, membawa aroma embun serta ketegangan yang tak kasat mata. Langit di atas kediaman keluarga Lin tampak muram, seperti menggantung pertanda yang sulit diartikan. Lentera spiritual yang tergantung di sisi gerbang utama bergetar pelan, cahayanya menari tertiup angin malam.
Di depan gerbang utama, dua penjaga berjubah kulit hitam berdiri tegak. Keduanya adalah Martial Master bintang tujuh, cukup kuat untuk menjaga pintu keluarga bangsawan tingkat menengah seperti Lin.
“Tidakkah malam ini terlalu sunyi?,” gumam penjaga yang lebih tua, suaranya pelan namun dalam.
“Kau benar,” balas yang lebih muda, memegang tombaknya lebih erat. “Seperti ada sesuatu di udara… rasanya dingin menusuk tulang.”
Penjaga yang tua mengangguk, mata tajamnya menyapu sekeliling jalan. Tapi justru keheningan itulah yang membuat mereka semakin waspada.
Tap... tap... tap...
Suara langkah kaki terdengar samar dari ujung jalan yang mengarah ke kediaman Lin.
Tap... tap... tap...
Langkah itu mantap. Tidak tergesa. Tapi juga tidak lambat. Teratur, seperti denting waktu yang berjalan menuju takdir. Cahaya lentera mulai menangkap siluet seseorang.
Seorang pria.
Tingginya menjulang. Tubuhnya terbungkus jubah kelabu panjang yang melambai pelan tertiup angin. Sebilah pedang tersampir di punggungnya, diselubungi sarung hitam keabu-abuan. Tudung jubahnya menutupi sebagian besar wajahnya, hanya menyisakan dagu tajam dan bibir yang membeku oleh udara malam.
Kedua penjaga langsung bersiaga.
“Berhenti di situ!” seru penjaga muda, mengarahkan tombaknya ke depan.
Pria itu tetap melangkah, namun perlahan.
“Ini kediaman keluarga Lin! Tak sembarang orang boleh mendekat!” lanjutnya, nada suaranya menggertak.
Penjaga yang lebih tua menyipitkan mata. Semakin dekat pria itu, semakin kuat aura samar yang menyelimuti dirinya. Seperti bayangan raksasa yang disembunyikan oleh kelam malam.
Langkah itu berhenti tepat di depan gerbang.
Beberapa detik hening. Lalu pria berjubah kelabu itu perlahan mengangkat tangannya dan menarik tudung dari kepalanya.
Sinar lentera jatuh ke wajahnya—sudut mata yang tajam, tatapan yang dalam dan membawa ribuan kisah. Bekas luka samar di pelipis, serta rambut panjang keperakan yang terurai lembut tertiup angin. Matanya seperti menyimpan badai yang ditahan. Dan suaranya…
“Beri tahu Lin Yuan… ada teman lama yang ingin bertemu dengannya.”
Penjaga muda tampak kebingungan. “Apa? Siapa kau?! Tidak sembarang orang bisa—”
Namun penjaga yang lebih tua terhuyung satu langkah ke belakang. Matanya membelalak, seolah melihat siluet naga di balik sosok itu.
“Pendekar… Pedang Kelabu…” gumamnya nyaris tak terdengar.
Pria muda di sebelahnya menoleh cepat. “Hah?”
“Dia… dia Zhang Wei!” bisik penjaga tua itu dengan suara tercekat. “Pendekar yang mengalahkan Kaisar Qin… dan memaksanya tunduk!”
Penjaga muda menatap Zhang Wei kembali. Tapi reaksinya berbeda. Ia mencibir, mengangkat tombaknya ke arah tamu itu. “Zhang Wei? Hah! Jangan bercanda! Kau pikir aku anak kecil yang bisa ditipu hanya dengan jubah dan pedang tua?”
Zhang Wei menatapnya tanpa berkata sepatah kata pun. Udara di sekitarnya menjadi lebih berat. Tak ada tekanan aura besar. Tapi kesunyian… dan getaran di jantung tanah itu… membuat dunia seolah menahan napas.
“Pergilah sebelum aku menyeretmu ke pos jaga!” ancam penjaga muda lagi.
Penjaga tua langsung meraih lengan temannya, berbisik dengan cepat, “Bodoh! Turunkan tombakmu! Dia bisa mengubah seluruh kota ini menjadi abu hanya dengan niatnya!”
Tapi sebelum kata-kata itu selesai, pintu gerbang batu berderit dari dalam. Seorang pelayan berlari tergesa, lalu membungkuk setelah melihat wajah tamu itu.
“A-Apa benar… Anda… Zhang Wei?” Pelayan itu gemetar, menahan napas.
Zhang Wei hanya mengangguk tipis.
Tanpa menunggu lagi, pelayan itu langsung bersujud. “Kami mohon… silakan masuk! Saya akan memberitahu Tuan Besar!”
Zhang Wei berjalan melewati dua penjaga yang kini diam seribu bahasa. Langkah kakinya pelan tapi pasti, suara sepatu botnya menapaki batu ubin gerbang menjadi irama malam yang akan terus diingat mereka.
Pendekar Pedang Kelabu… kembali ke tempat dimana semuanya bermula.
***
Brak!
Suara pintu kayu yang dibuka tiba-tiba menggemparkan ruang kerja Lin Yuan. Ia yang tengah membungkuk di atas meja, menggambar diagram rute dagang dan menghitung margin keuntungan, mendongak tajam.
"Siapa yang berani masuk seenaknya?! Sudah kubilang jangan ganggu aku malam ini!" serunya lantang, tangan kirinya langsung memukul meja hingga tinta dalam wadah tumpah ke mana-mana.
Aura Martial Emperor bintang dua miliknya menyembur keluar, menekan ruang sekitar dengan keagungan yang membuat udara mendadak berat. Li Zhen yang duduk di kursi dekat rak buku refleks berdiri dan bersiaga, mengira ada bahaya besar datang.
Namun yang berdiri di ambang pintu hanyalah seorang pelayan muda dengan wajah pucat dan nafas memburu. Kedua tangannya gemetaran saat membungkuk memberi hormat.
"Ma… maafkan hamba, Tuan Besar… tapi… tapi… ada tamu penting… sangat penting!" katanya tergagap.
"Tamu penting kepalamu! Tengah malam begini?! Apa kalian pikir rumah ini penginapan umum, hah?!" Lin Yuan menatap tajam.
Pelayan itu melangkah gugup ke depan, kakinya hampir tersandung karpet mahal saat ingin menjelaskan. "Tapi… tapi tuan itu bilang ingin bertemu langsung dengan Kepala Keluarga Lin. Dan—dan dia membuka tudungnya dan bilang namanya Zhang Wei."
Seketika, suasana ruangan menjadi sunyi. Bahkan suara detak jam pasir di sudut meja terdengar amat jelas.
Mata Lin Yuan dan Li Zhen membulat bersamaan, lalu saling pandang. Li Zhen bahkan tak sadar kalau cangkir tehnya terjatuh dari tangan dan mengenai kakinya sendiri.
"...Zhang… Wei?" suara Lin Yuan tercekat, nyaris berbisik.
Pelayan itu mengangguk cepat. "Iya, Zhang Wei! Katanya ingin bertemu..."
Satu detik. Dua detik. Lin Yuan dan Li Zhen masih diam.
Lalu dalam satu gerakan yang sangat tidak cocok dengan martabat mereka sebagai pemimpin keluarga dan martial grandmaster, keduanya mendadak bangkit dan berdiri tegak seperti pasukan mendapat inspeksi mendadak dari kaisar.
Li Zhen bahkan sempat panik dan membenarkan ikat pinggangnya yang agak miring, sementara Lin Yuan dengan cepat menyeka sisa tinta dari jubahnya dan menyisir rambutnya dengan tangan, seolah-olah itu akan membuatnya terlihat lebih terhormat.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!" bentak Lin Yuan dengan suara berubah 180 derajat—bukan marah, tapi panik.
"Ayo! Siapkan ruang tamu! Tidak, tidak… ruang utama! Eh, jangan… bawa dia langsung ke aula leluhur! Tidak, itu terlalu kaku… Astaga, kenapa dia datang malam-malam begini?!" Lin Yuan kini mondar-mandir seperti ayam kehilangan arah.
Li Zhen menepuk pelan bahu kepala keluarga, mencoba menenangkan. "Tuan, mungkin… lebih baik kita sendiri yang menjemputnya ke gerbang…"
Lin Yuan menghentikan langkahnya, mengangguk cepat.
"Ya! Ya, benar! Itu lebih sopan! Tidak boleh menyinggung pendekar sehebat itu!"
Mereka berdua bergegas menuju luar, nyaris menabrak pintu yang belum sepenuhnya terbuka. Sementara sang pelayan yang tadi dimarahi, hanya bisa memandangi punggung mereka dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan puas.
"...jadi... aku gak dipecat ya?" gumamnya pelan sambil menghela nafas lega.