NovelToon NovelToon
Sillent Treatment Suamiku

Sillent Treatment Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Fay :)

Sinopsis



Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.


Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.


Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.


Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.


Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.


Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35. Investigasi pertama

   “Kamu kenal Ras?”

   Nara memicingkan matanya menunggu Laras yang tengah asik dengan kekosongan pikirannya, entah apa yang tengah ia lamunkan.

   “Laras … kamu lagi ada masalah?” Nara menggoyangkan kelima jarinya di hadapan wajah Laras, berusaha membangunkannya dari angan-angan.

   “Hem, gimana?” Laras gelapan begitu narasi dalam otaknya tersambung.

   “Habisin makanannya nanti keburu dingin, kebiasaan suka ngelamun kamu tuh. Kalo ada masalah nanti cerita ya, mungkin aku bisa bantu.” kelakar Nara sambil menghabiskan makanannya yang sisa sedikit.

   Laras mengaduk makanannya, menyuap pelan seperti tak ada lagi selera dalam mulutnya seperti tadi.

   “Oh iya, Nar kamu istirahat di kamar sebelah sana ya.” Tunjuknya menggunakan jari pada kamar yang pintunya terlihat dari meja makan.

   “Makasih banyak ya Ras, mau nampung aku, Aiden dan Mbak Mirna.” Nara tersenyum hangat, ucapannya tulus, ditunjukkan kearah Laras.

   “Kayaknya segini doang belum cukup sama kebaikan kamu Nar, kamu sampek luka-luka gitu demi nolong aku.” Laras melihat wajah Nara yang menurutnya lugu, banyak kebaikan dari caranya bersikap dan berbicara.

   “Kamu harus sembuh dulu, nanti aku antar ke Rajawali.” Seperti kebaikan yang Laras lakukan semakin berkurang saja, entah apa yang akan terjadi kedepannya, Laras belum memiliki pandangan.

   Nara yang mendengar tuturan dari Laras tak hentinya tersenyum, dia menganggukkan kepalanya merespon. ‘apa aku cerita ke Laras masalah ku atau aku harus cari alasan lain begitu dia tau aku akan membuntuti suami ku sendiri ya?.’ batin Nara bertanya-tanya.

*

*

*

   Sesi makan sudah selesai, Nara duduk di depan teras rumah Laras menikmati hawa sejuk yang ada di daerah sana, dibangku kayu yang bercat coklat tua dan berhadapan langsung dengan jalan raya kecil dalam komplek.

   Nara memperhatikan Laras yang begitu fokus menekan tombol keyboard laptop didepannya, “Capek banget.” Laras meregangkan jemarinya yang terasa mulai kaku.

   “Kamu kerja apa sih Ras?” Nara mengintip sedikit tulisan yang ada di kertas putih bertumpuk di atas meja.

   “Project Engineer.” ungkapnya, Laras melihat wajah Nara yang menunjukkan kebingungan.

   Nara merengutkan alisnya, “Apaan tuh?” Tanyanya memang tidak mengerti yang berhubungan dengan perkantoran.

   Laras tertawa kecil, reflek tangannya menutup mulutnya sendiri, “intinya yang ngatur perencanaan harian, jadi tiap hari aku ngisi data-data perhari soal proyek yang dibangun.”

   Kepala Nara mengangguk-angguk, “jadi kamu tau dong soal proyek?” Tanya Nara kepo.

   “Nggak semua.” Balasnya, Laras mengangkat bahunya sebentar.

   “Aku juga pengen jadi wanita karir.” Nara menyenderkan tubuhnya pada sandaran bangku, mencurahkan keinginannya.

   Laras menyerongkan duduknya jadi menghadap kearah Nara, “Lebih enak nggak kerja Ras, apa lagi ada yang penuhi. Tapi lebih nggak enak kalo nggak pegang uang sendiri sih.” Ceramahnya.

   “Oh iya Ras, keluarga kamu dimana kok kamu tinggal sendiri?” Tanya Nara lagi.

   “Di desa, aku jadi tulang punggung sekarang Nar. Kesini merantau biar bisa menghidupi keluarga dengan hidup yang lebih layak.” Ada sorot kesedihan dari mata Laras.

   Nara yang mendengar penjelasan Laras seakan hatinya ikut rumit, teringat kembali akan watak keras Ayahnya. Bahkan lontaran tak mampu lagi menafkahi dirinya sering Nara dengar, mungkin jika di hidupnya tak ada Aiden, ia akan berjuang sendiri menghidupi dirinya sendiri dari pada bergantung sekalipun itu orang tuanya sendiri.

   “Hayo lagi bayangin apa? Jangan bayangin kerja yang aneh-aneh loh ya.” Laras menghentak mengagetkan Nara, dirinya tertawa begitu Nara tersedar.

   Reflek Nara memukul pelan bahu Laras, mulutnya mecucu tak terima dikira dirinya memikirkan yang nggak-nggak.

   Obrolan mereka terus mengalir mengiringi senja yang akan nampak di ufuk barat, bertemu dengan orang sebaik Laras adalah suatu keberuntungan menurut Nara.

 

   Melihat Aiden yang gemar bermain dengan mainan yang bahkan Laras belikan agar dirinya betah disini, dilengkapi dengan kebutuhan harian dan tempat yang begitu terbuka untuk Nara dan keluarganya.

*

*

*

   Pagi menjelang Nara menggeliatkan tubuhnya di bawah selimut tebal yang tersedia, mentari mulai melambai-lambai menyapa menghantarkan ke hangatan.

   “Badan ku sudah lebih enakan, sekarang aku harus memulai langkah awal, biar nggak terlalu lama disini dan intinya pulang membawa bukti.” Nara turun dari ranjang, menyemangati dirinya sendiri.

   “Kamu mau kerja Ras?” Tanya Nara begitu keluar dari kamar melihat Laras sudah berdandan rapi.

   “Iya, cutinya cuma tiga hari doang Nar.” Laras merengut, menarik nafas pelan. Dirinya masih menginginkan cuti yang sedikit panjang, tapi dilihat dari cutinya laptop dan ceceran kertas tak pernah jauh dari tubuhnya, mungkin hanya beda suasana kerja di rumah sendiri.

   “Semangat dong.” Nara menyentuh bahu Laras, senyumnya menghantar ke damaian.

    “Aiden belum bangun?” Tanya Laras, melihat dirumahnya masih begitu sepi.

   “Belum, tidurnya masih nyenyak.” Jawab Nara.

   “Oh. Aku jalan dulu ya, jagain ni rumah takut di bawa orang.” Laras berlalu menenteng tas dan melambaikan tangannya, sambil tertawa.

   Nara melangkahkan kakinya kebelakang menemui Mbak Mirna yang tengah sibuk menyiapkan masakan untuk sarapan, “Mbak aku titip Aiden ya, aku masih mau keluar.” Pamitnya.

   “Iya Buk.” Mirna mengalihkan fokusnya dari masakan ke arah Nara yang baru muncul dari pintu dapur.

*

*

*

   Nara sudah duduk tenang di dalam mobil yang dipesannya, untuk mengantar dirinya ke tempat suaminya bekerja.

   Nara membaca kembali pesan yang hanya berisi kalimat singkat dari Rama, sedang pesan Mahesa yang begitu panjang untuk sekedar berbasa-basi. Rasanya benar-benar tertukar, suami yang memperlakukannya begitu dingin, namun orang lain yang begitu memperhatikannya.

   “Pak tolong tunggu disini dulu, saya akan tetap bayar sesuai dengan tarifnya.” Pinta Nara, begitu mobil sudah tiba di depan pelataran kantor tempat Rama bekerja.

   “Baik Bu.” Balas supir grab itu ramah.

   ‘itu kok kaya mobil Laras ya?’ Nara memusatkan pandangannya pada mobil yang terparkir rapi sedikit jauh dari tempatnya memantau.

   ‘tapikan yang punya mobil kaya itu nggak cuma Laras doang ya.’ ucapnya lagi membenarkan.

   Sudah hampir satu jam Nara tetap duduk di dalam mobil, menunggu suaminya yang tak juga menampakkan diri, “pak saya turun saja ya, mau tunggu di kafe depan sana. Ini,” Nara memberikan beberapa lembar uang berwarna biru dari dompetnya.

   “Terima kasih ya Bu.”

*

*

*

   Pagi ini cerah suasananya syahdu sekali, lebih dingin, sejuk dan tak sepadat pengendara di tempat tinggal Nara. 

   Nara memilih duduk di depan minimarket sebrang jalan dari kantor yang Nara tuju, retinanya tak lepas dari gerbang pagar besi yang terbuka lebar di depannya.

   Sudah setengah jam yang lalu jam kantor mulai beroprasional, tapi Nara tak melihat kedatangan suaminya, apa Nara telat atau mungkin Nara salah kantor. Tetapi, di tembok besar yang menjulang itu tertulis besar nama Rajawali, persis seperti yang suaminya katakan.

   Nara hampir lelah dan merasa begitu bosen, berbekal sebotol air mineral dan dua bungkus roti agar mengganjal perutnya yang tak sempat sarapan.

   Wajahnya sudah tertutup masker dan kaca mata hitam sudah menutupi mata cantiknya, mendukung sekali untuk investasinya.

   Debar jantungnya mengencang, matanya semakin tajam menatap orang yang sejak tadi ia nanti-nantikan. ‘Mas Rama …’ ucap Nara, ada rasa rindu, tapi ada luka yang sepertinya kembali terbuka.

   Matanya semakin memicing berusaha melihat agar lebih jelas, dahinya mengerut, ‘siapa dia? Kenapa seperti …’ Nara bangun dari duduknya.

   “La … ras …” ucapnya menggantung.

1
Al Ghifari
bodoh bngt si Nara biar cepat ketahuan SM Rama ceraiin aja Rama istri tdk tau diri
Fay :): hehe.. sabar kaka 😁
total 1 replies
Al Ghifari
cepat ketahuan dong SM suaminya lgsg cerai aja
Fay :): ntar dulu, di perpanjang dulu ceritanya kak 😁
total 1 replies
L3xi♡
Nangis deh 😭
Fay :): sedih ya kak 😢😢
total 1 replies
pEyt
Jelasin semua dengan detail
Fay :): siap kak.
masih outor amatir, kritik dan sarannya sangat diperlukan.
terima kasih.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!