pernahkah kau membayangkan terjebak dalam novel favorit, hanya untuk menyadari bahwa kau adalah tokoh antagonis yang paling tidak berguna, tetapi Thanzi bukan tipe yang pasrah pada takdir apalagi dengan takdir yang di tulis oleh manusia, takdir yang di berikan oleh tuhan saja dia tidak pasrah begitu saja. sebuah kecelakaan konyol yang membuatnya terlempar ke dunia fantasi, dan setelah di pikir-pikir, Thanz memiliki kesempatan untuk mengubah plot cerita dimana para tokoh utama yang terlalu operfower sehingga membawa bencana besar. dia akan memastikan semuanya seimbang meskipun dirinya harus jadi penggangu paling menyebalkan. bisakah satu penjahat figuran ini mengubah jalannya takdir dunia fantasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Xg, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
strategi yang mematikan
Di dalam kamar penginapan yang dialokasikan oleh akademi, Thanzi meringkuk di sudut, tubuhnya gemetar. Ia menahan isak tangis yang ingin meledak.
Pertemuan dengan Marquess Aerion dan Lady Elara tadi malam telah menguras seluruh ketenangannya. Bagaimanapun juga, ingatan Thanzi yang asli tentang kedua orang tua itu masih sangat kuat, menyisakan jejak rasa sayang yang tak pernah terbalas. Namun, kebencian atas pengabaian dan hinaan juga tak kalah membara. Konflik emosi itu adalah badai di dalam dadanya.
"Hiks... kenapa tubuh ini lemah sekali? Seharusnya aku bisa sepenuhnya mengendalikan tubuh ini," isak Thanzi.
Thanzi yang sekarang tahu ia tidak bisa membiarkan emosi itu menguasai dirinya. Jika ia ingin bertahan dan mengubah takdir, ia harus stabil.
Dengan susah payah, ia mencoba menenangkan diri dan pikirannya. Ia duduk bersila di lantai, memejamkan mata, dan mencoba menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya.
Saat ia melakukan itu, sebuah energi aneh, terasa sangat asing namun sekaligus nyaman, mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Itu seperti denyutan lembut yang menyelimuti setiap sel, menghapus sisa-sisa amarah dan kegelisahan.
"Rasa apa ini?" Thanzi merasakan sesuatu yang sangat asing.
Ia terus melakukan itu, dia naik ke atas kasur dan duduk bersila, memejamkan mata, menarik napas perlahan dan menghembuskannya, seolah ia sedang melakukan meditasi yang belum pernah ia pelajari.
Waktu berlalu tanpa terasa.
Ketika fajar menyingsing, Thanzi membuka matanya. Ia merasa segar, jauh lebih segar dari sebelumnya.
"Sangat segar sekali," gumam Thanzi, turun dari kasur dengan matanya yang jernih.
Tubuhnya terasa ringan, energinya berbeda, lebih jernih dan kuat dari hari-hari kemarin. Sensasi aneh itu masih ada, seperti selimut tak terlihat yang melingkupinya.
"Apakah ada sesuatu yang berbeda pada tubuh ini?" Thanzi meregangkan tubuhnya dan sedikit melompat-lompat, merasakan tubuhnya yang terasa lebih ringan. Namun, ia ingat saat melihat cahaya matahari melewati celah jendela, kalau dirinya harus segera bersiap.
"Aduh, bagaimana aku bisa lupa?" Dengan tergesa-gesa, dia pergi ke kamar mandi.
Thanzi segera bersiap. Ia mengenakan pakaian barunya yang sederhana dan rapi. Saat keluar dari asrama, ia melihat kerumunan keluarga bangsawan yang sudah berkumpul di halaman.
Pagi itu, lapangan penginapan dipenuhi kereta kuda mewah dan para bangsawan yang berpakaian megah, mengantar putra-putri mereka ke ujian terakhir. Mereka semua adalah anak-anak keluarga bangsawan, kecuali Thanzi. Dan dirinya juga satu-satunya orang yang pergi menuju ujian terakhir dengan berjalan kaki.
Ketika Thanzi berada di tengah perjalanan, sebuah kereta kuda yang terlihat mewah namun sederhana terlihat mulai menghentikan lajunya.
"Thanzi, apakah itu kamu?" sapa seorang perempuan cantik yang terlihat polos, turun dari kereta kudanya.
Thanzi mengerutkan keningnya, karena dia merasa tidak pernah mendapati karakter ini dalam cerita novel. Mendapati respons Thanzi yang diam saja, perempuan tersebut menghampirinya.
"Ayo ikut bersamaku naik kereta, biar tidak lelah saat sampai di tempat ujian," perempuan itu menarik tangan Thanzi, tetapi Thanzi malah diam saja.
"Aku akan jalan kaki saja, kamu bisa pergi duluan," Thanzi dengan pelan menarik tangannya kembali.
Perempuan itu menoleh ke arah kereta kudanya, di mana ada pemuda tampan yang menatapnya seolah berbicara, Bukankah sudah kubilang jangan mengajaknya, karena dia pasti akan menolak ajakanmu.
Dia kembali menatap Thanzi dengan senyum cerianya. "Kalau begitu aku pergi duluan ya." Dia pergi menuju keretanya dan naik, lalu kereta kuda tersebut kembali melaju seperti kereta kuda lainnya.
"Entah siapa dia, tetapi sepertinya dia orang yang baik kepada si Thanzi ini," gumam Thanzi yang mulai melangkahkan kakinya kembali menuju tempat ujian.
Dengan hanya lima menit saja Thanzi di sana, tatapan tajam, bisikan-bisikan mencemooh, dan tatapan jijik menyambutnya.
Thanzi, bagaimanapun, tidak peduli. Ia sudah terbiasa. Dengan langkah mantap, ia melewati kerumunan itu, kepalanya tegak. Ia tidak punya waktu untuk drama mereka. Perutnya sudah mulai berbunyi, dan ujian terakhir akan segera dimulai.
"Sebaiknya aku pergi makan dulu," Thanzi mengusap perutnya. Ia pergi menuju ruang makan.
Di sana, hanya ada Thanzi. Ini memberinya kesempatan untuk makan dengan tenang. Seorang pelayan dengan wajah masam bersikap kurang ramah kepadanya, tapi Thanzi mengabaikannya. Ia makan sarapan paginya dengan tenang, menikmati setiap suapan, mengumpulkan energi untuk ujian yang akan datang.
Tepat setelah ia selesai makan, sebuah pengumuman keras terdengar di seluruh penginapan. "Perhatian kepada seluruh peserta ujian! Segera menuju Lapangan Ujian Utama! Ujian akan segera dimulai!"
Thanzi segera bergegas. Sesampainya di lapangan, ia melihat bahwa tempat itu sudah dipenuhi ribuan orang. Sebuah arena bertarung yang megah telah terbentuk di tengah lapangan, dikelilingi oleh tribun-tribun yang dipenuhi para penonton. Suara gemuruh penonton yang bersemangat memenuhi udara.
Dengan segera, para penonton duduk di tempatnya masing-masing. Peserta ujian terakhir, sekitar 400 orang, duduk di tepi arena, jantung mereka berdebar cemas.
Thanzi menemukan sebuah kursi kosong di sebelah seorang anak bangsawan perempuan yang berambut cokelat dan bermata abu-abu. Gadis itu duduk diam di samping orang tuanya, dan yang mengejutkan, mereka tidak menunjukkan rasa tidak suka atau jijik kepadanya. Tidak ada tatapan menghakimi. Ini membuat Thanzi sedikit nyaman duduk di sana.
Ternyata masih ada juga orang yang tidak suka ikut campur urusan orang lain.
Seorang pria, pemandu acara, muncul di tengah arena, diiringi oleh para profesor yang akan menilai pertandingan.
"Selamat malam, para calon penyihir dan ksatria terhebat!" ucap pemandu acara, disambut sorakan meriah.
"Sungguh kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di hadapan kalian semua pada malam yang penuh keajaiban ini. Kita berkumpul di sini bukan hanya untuk menyaksikan sebuah kompetisi, melainkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Malam ini, kita akan melihat siapa di antara kalian yang layak mendapatkan tempat di Akademi Ksatria dan Sihir Eldoria."
Setelah kata sambutan singkat, pertandingan pun dimulai.
"Untuk peserta pertama, mari kita saksikan pertarungan antara Pangeran Lyra dan Lord Kaelan!"
Pertarungan pertama adalah antara Pangeran Lyra melawan seorang anak Duke, Lord Kaelan, yang hampir sama kuatnya dengan Elian.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Yang Mulia, dan sepertinya di pertarungan kali ini saya yang akan memenangkannya," ucap Lord Kaelan penuh percaya diri.
Pangeran Lyra tersenyum. "Tentu saja, Lord Kaelan, dan semoga saja kamu tidak akan mengecewakan saya."
Pertarungan dimulai dengan sangat sengit. Pangeran Lyra mengerahkan sihir cahaya yang memukau dan kuat, melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Lord Kaelan kewalahan.
"Cahaya serpihan bintang!" pangeran Lyra mengerahkan salah satu jurus pamungkasnya.
Dengan kewalahan, Kaelan menebaskan pedangnya ke udara yang dipenuhi oleh serangan dari pangeran Lyra. Hal tersebut menciptakan pemandangan yang indah.
tetapi meskipun Kaelan menunjukkan keterampilan pedang yang luar biasa, ia didominasi oleh Pangeran. Pada akhirnya, pertarungan dimenangkan oleh Pangeran Lyra dengan serangan cahaya terakhir yang telak. Para penonton bersorak histeris.
Dilanjutkan dengan pertarungan antara Elian melawan seorang anak Earl bernama Gio, seorang penyihir jarak jauh yang sangat gesit. Pertarungan mereka juga sengit. Elian harus mengerahkan seluruh kecepatannya untuk menghindari serangan angin Gio yang menusuk.
Namun, dengan kecerdasan taktis dan kekuatan fisik yang mumpuni, Elian berhasil mendekati Gio dan, dengan tebasan pedang terakhir yang presisi, ia memenangkan pertarungan. Sorakan kembali meledak.
Kemudian, giliran Michael. Ia melawan seorang anak Marquess lainnya, seorang gadis yang memiliki bakat sihir bumi.
Namun, Michael dengan mudah memenangkan pertarungan tersebut. Dengan sihir anginnya yang kuat, ia menciptakan pusaran yang membuat musuhnya tidak bisa bergerak, lalu menghempaskannya keluar arena tanpa perlawanan. Michael tersenyum ceria, dan orang tuanya bertepuk tangan dengan bangga.
Kekuatan yang Tak Terduga
Akhirnya, nama Thanzi dipanggil.
"Selanjutnya, Thanzi melawan Lord Alaric!"
Alaric adalah seorang remaja laki-laki berpenampilan feminin, dengan rambut panjang tergerai dan gerak-gerik yang anggun. Namun, di balik senyumannya yang manis, Thanzi bisa merasakan aura licik dan perhitungan yang tajam.
Ia tahu Alaric memiliki bakat sihir ilusi dan manipulasi, dikombinasikan dengan kelicikan yang menakutkan. Itu adalah gabungan yang sangat berbahaya, terutama jika Alaric berniat menggunakan trik kotor.
Alaric melangkah ke arena dengan senyum tipis, matanya melirik ke arah Marquess Aerion, seolah mencari instruksi. Thanzi juga menyadari tatapan itu. Sepertinya orang tua si Thanzi masih mencoba menjebakku, bahkan di ujian terakhir, pikir Thanzi, rahangnya mengeras.
"Selamat bertemu, Thanzi," sapa Alaric dengan suara lembut, namun ada nada mengejek di dalamnya.
"Kudengar kau suka bermain kotor. Mari kita lihat seberapa kotor yang bisa kau lakukan tanpa bakat apa pun."
Thanzi tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju, tatapannya tenang. Ia tahu ia tidak bisa bertarung secara sembarangan melawan seorang penyihir ilusi yang licik. Ia tidak punya bakat sihir. Tapi ia punya otaknya, dan ia punya sesuatu yang lain.
Pertandingan dimulai. Alaric langsung melancarkan ilusi.
"Bayangan pengikat," terdengar suara Alaric.
Bayangan-bayangan muncul, mencoba mengelilingi Thanzi, membuatnya bingung. Alaric bergerak gesit, melontarkan mantra-mantra sihir ilusi kecil yang mencoba mengacaukan pandangan dan pendengaran Thanzi. Ia juga melemparkan beberapa bola energi sihir yang tidak terlalu kuat, hanya untuk memaksa Thanzi bergerak.
"Tidak semudah itu," ucap Thanzi pelan, dengan wajahnya yang mulai serius.
Thanzi yang asli mungkin sudah panik dan menyerah. Tapi Thanzi yang sekarang tidak. Ia mulai melakukan gerakan-gerakan aneh. Ia melompat ke samping, lalu berputar, lalu melangkah ke depan dengan cara yang tidak biasa, seolah ia menari mengikuti irama yang tak terlihat. Orang-orang di tribun mengernyitkan dahi.
"Apa yang dia lakukan? Dasar bodoh!" ejek seseorang.
"Dia hanya mempermalukan dirinya sendiri!"
Marquess Aerion dan Lady Elara menyeringai sinis. Mereka mengira Thanzi sudah gila dan akan kalah dengan cara yang memalukan.
"Orang yang tidak memiliki bakat sepertimu, hanya akan dipermalukan."
Namun, tanpa sepengetahuan siapa pun, Thanzi tidak hanya melakukan gerakan aneh. Ia juga bersenandung pelan, melodi yang sama yang ia gunakan saat menghadapi Grungle di hutan.
Ha... aaaa... ha... aaa...
Melodi itu nyaris tak terdengar oleh telinga manusia biasa, namun, dengan setiap nada, sebuah gelombang tak terlihat, lembut namun kuat, menyebar dari tubuh Thanzi. Gelombang itu adalah energi penenang yang unik miliknya.
Alaric, yang terlalu fokus pada ilusi dan gerakannya yang gesit, tidak menyadari energi ini. Ia sibuk mengelilingi Thanzi, melemparkan mantra-mantra.
Namun, perlahan, ia mulai merasakan keanehan. Otot-ototnya sedikit menegang, fokusnya sedikit goyah. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa sedikit tidak nyaman. Dan gelombang itu terus menyebar.
Ada apa ini? Alaric merasakan sesuatu yang tidak beres. Tetapi karena terlalu fokus, ia mengabaikannya.
Thanzi membiarkan Alaric terus bergerak, terus melancarkan serangannya. Ia mengamati, menunggu momen yang tepat. Ia tahu betul orang seperti Alaric, memiliki ego yang besar dan akan selalu mencoba menampilkan sihirnya dengan gaya yang mencolok.
"Sialan," desis Alaric kesal.
Alaric, yang merasa Thanzi tidak terpengaruh, mulai frustrasi. Ia memutuskan untuk melancarkan serangan pamungkasnya, sebuah ilusi yang lebih kompleks dan mematikan. Ia memanggil bayangan monster besar yang menyeramkan, dan di saat yang sama, ia menyiapkan mantra sihir yang akan menghantam Thanzi.
"Mati kau, Thanzi!" teriak Alaric, senyum kemenangan terukir di wajahnya.
Namun, ia telah terlambat. Gelombang energi penenang Thanzi telah menyelimutinya sepenuhnya, dan Alaric, yang memiliki kepekaan sihir tinggi, secara tidak sadar terpengaruh olehnya. Fokusnya goyah. Koordinasinya meleset.
Thanzi melihat itu. Ia melakukan gerakan yang sangat sederhana. Ia hanya melangkah ke samping, menghindar dengan presisi mili detik dari serangan ledakan sihir Alaric yang seharusnya mengenainya. Namun, karena fokus Alaric yang goyah, karena energi Thanzi yang membuatnya sedikit tidak nyaman, ledakan sihir itu tidak meleset.
Melainkan, ledakan sihir itu, yang seharusnya mengenai Thanzi, justru melesat terlalu jauh ke samping dan memantul kembali, ke arah Alaric dan tepat sekali mengenai lengan Alaric sendiri yang sedang terentang!
DUAR!, , , ,
Crasss!, , , , ,
Aaaa!, , , , , ,
Suara ledakan kecil, diikuti oleh jeritan kesakitan yang melengking dari Alaric. Ia terlempar ke belakang, jatuh menghantam tanah. Lengannya, yang terkena ledakan sihirnya sendiri, terlihat patah dengan posisi yang aneh, dan darah mulai merembes.
"ALARIC!" Kedua orang tua Alaric berteriak panik dari tribun, wajah mereka pucat pasi.
Thanzi hanya berdiri di sana, menatap Alaric yang kesakitan. Sebuah senyum sinis yang lebar dan tanpa belas kasihan terukir di wajahnya.
"Rasakan itu, cantik," Thanzi menggerakkan bibirnya saat Alaric menatapnya.
Ia tidak melukai Alaric secara langsung. Ia hanya melakukan gerakan yang tidak melukai siapa pun. Ini adalah kesalahan Alaric sendiri, karena ketidakmampuannya mengendalikan sihirnya di bawah pengaruh Thanzi yang tidak terlihat.
"Tentu saja," gumam Thanzi, suaranya pelan dan mengancam, cukup untuk didengar para profesor dan Alaric yang mengerang.
"Aku tidak bertindak apa-apa. Aku hanya melakukan gerakan yang tidak melukai siapa pun. Jadi, jangan salahkan aku kalau senjatamu sendiri yang melukai lenganmu, Alaric. Lagipula, kau saja hampir membuatku kehilangan nyawa dengan seranganmu yang membabi buta tadi, kan?"
Semua orang yang menonton menatap Thanzi dengan ekspresi ngeri. Bagaimana seorang yang tidak melakukan serangan, yang hanya melakukan gerakan-gerakan aneh, bisa membuat lawan yang berbakat dan kuat melukai dirinya sendiri? Ini bukan keberuntungan. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap dan lebih licik.
Marquess Aerion dan Lady Elara, yang awalnya menyeringai, kini membeku di tempat duduk mereka. Wajah mereka menunjukkan ketakutan yang jelas. Mereka tidak mengenali anak ini. Senyuman khas seorang villain, seorang penjahat manipulatif, sangat kuat terlihat dari Thanzi saat itu.
Ini tidak benar, batin mereka berdua.Thanzi akan menunjukkan kepada semua orang bagaimana tampak seorang penjahat sejati di dunia ini.
Bukan penjahat bodoh yang mudah dikalahkan, melainkan penjahat yang licik, cerdas, dan tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk bertahan hidup dan mencapai tujuannya.