NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketemu

Ruangan itu dingin. Putih. Hening.

Suara mesin pemantau berdetak lambat, seirama dengan napas Margaret yang terbaring lemah di atas ranjang operasi.

Selang-selang medis menempel di tubuhnya. Rambutnya yang semakin menipis dibalut penutup steril. Wajahnya pucat, tapi ekspresi tidurnya tenang—karena sedatif yang diberikan Arkan beberapa jam sebelumnya.

Di balik kaca satu arah, Arkan berdiri diam, memakai jas laboratorium putih. Tangannya mengepal di balik punggung, rahangnya mengeras menahan emosi.

Namun, matanya… hanya menatap satu orang.

Margaret.

Di sekelilingnya, tiga orang dokter dan dua tenaga medis yang tak mengenakan identitas rumah sakit umum. Semua bergerak dengan presisi, seolah ini bukan operasi pertama mereka.

“Semua prosedur sudah disiapkan, Tuan,” ujar seorang dokter.

“Tapi kemungkinan keberhasilan masih di bawah enam puluh persen.”

Arkan tak menjawab. Ia hanya melangkah pelan, mendekati kaca, lalu menempelkan telapak tangannya di sana.

“Enam puluh persen cukup,” batinnya.

“Karena kalau ini gagal… gue gak akan izinkan lo ninggalin gue, Margaret.”

Sementara itu, di dalam ruang operasi:

“Pasien dalam kondisi stabil. Transfusi darah sudah jalan.”

“Pembiusan total berhasil. Kita mulai dengan tahap pertama—pengangkatan jaringan abnormal.”

Pisau bedah bergerak perlahan.

Suara mesin terdengar lebih intens. Layar-layar di sekeliling menampilkan grafik detak jantung, tekanan darah, saturasi oksigen—semuanya dalam pengawasan ketat.

Darah mulai mengalir.

Dokter bekerja tanpa suara, hanya instruksi tegas dan pergerakan yang terlatih. Ini bukan rumah sakit resmi, tapi fasilitasnya… hampir setara dengan standar militer.

“Bagian pertama berhasil. Kita lanjut ke bagian sumsum,” ujar dokter utama.

Arkan berjalan menuju ruang pemantauan, tempat semua rekaman dan grafik disiarkan secara real-time. Ia duduk, membuka catatan medis Margaret.

Tangannya sedikit gemetar.

Di antara halaman-halaman itu, ada satu foto kecil terselip—foto Margaret kecil dengan bunga liar di tangannya, senyumnya cerah, dan ada tulisan tangan Margaret di belakang:

"Untuk teman yang gak pernah senyum… semoga hari ini kamu mau senyum sedikit."

Arkan menutup mata. Mendongak. Menahan napas.

“Kalau ini berhasil, lo bakal bangun dan tersenyum lagi. Tapi kalau enggak…”

Ia tidak melanjutkan. Tak sanggup.

Jam terus berjalan.

Operasi memasuki jam ketiga.

Margaret masih terlelap, tidak tahu bahwa tubuhnya sedang berjuang di antara hidup dan mati. Tidak tahu bahwa pria yang menculiknya… kini membayar segalanya—uang, reputasi, bahkan kewarasan—hanya untuk menyelamatkannya.

Hingga akhirnya…

“Tahap akhir selesai. Sekarang tinggal tunggu tubuhnya bereaksi,” ucap salah satu dokter.

“Kita harus biarkan dia istirahat… dan berdoa.”

Lampu ruang operasi dimatikan perlahan.

Margaret dipindahkan kembali ke ranjang khusus dan didorong menuju ruang steril—tempat pemulihan dengan pengawasan penuh.

Arkan berdiri di ambang pintu.

Menatap tubuh Margaret yang kini dibalut alat bantu.

Satu langkah maju… lalu ia duduk di tepi ranjang. Mengambil tangan Margaret perlahan, menggenggam erat.

“Jangan tidur terlalu lama, ya…” bisiknya.

“Gue masih harus denger lo marahin gue karena nyulik lo…”

Dan untuk pertama kalinya malam itu…

Arkan menangis. Diam-diam. Tanpa suara. Tapi sungguh.

_____

Pintu baja itu berdiri angkuh di tengah kompleks bangunan tua yang tersembunyi di balik bukit kabut. Sinyal sulit dideteksi, dan mereka harus mematikan ponsel agar tak meninggalkan jejak.

Prince berdiri paling depan. Jantungnya berdetak kencang. Di belakangnya ada Karin, Bian, Andrew, dan Gio yang mulai kehilangan kata-kata sejak mereka masuk wilayah ini.

“Tempat ini… nggak terdaftar di peta,” ujar Bian pelan.

“Tapi sinyal terakhir Margaret tertangkap kuat dari bawah tanah sini.”

Andrew menatap pintu. “Kodenya… udah gue tembusin. Siap?”

Prince mengangguk.

Klik.

Pintu terbuka. Hembusan udara dingin menyambut mereka. Bau alkohol medis dan logam menyengat hidung.

Mereka masuk.

Lantai putih. Lorong bersih. CCTV di sudut.

Ini bukan tempat sembarangan. Ini bukan gudang penculikan biasa.

“Tempat ini lebih mirip... fasilitas medis ilegal,” bisik Karin.

Gio mulai gelisah. “Gue punya firasat jelek... kayak di film Silent Prison part dua.”

Langkah mereka menyusuri lorong—hingga akhirnya mereka melihatnya.

Margaret.

Berbaring di atas ranjang medis di balik dinding kaca.

Selang infus masih menempel. Tapi wajahnya jauh lebih baik—warna kulitnya tak sepucat dulu. Dadanya naik turun perlahan. Tertidur.

Karin menutup mulut. “Ya Tuhan… dia hidup…”

Prince ingin menerobos masuk. Tapi saat dia menyentuh panel pintu kaca—

Suara itu terdengar.

Dingin. Tenang. Familiar.

“Kalian datang juga.”

Mereka menoleh.

Langkah kaki perlahan. Bayangan tinggi muncul dari lorong belakang.

Arkan.

Pakaiannya bersih. Senyumnya tipis. Tapi matanya… tetap kosong. Tetap seperti dulu.

“Arkan?” suara Prince bergetar.

“Lo?” tanya Karin nyaris berbisik. “Jangan bercanda…”

Gio melangkah mundur, wajahnya pucat. Andrew hanya bisa menatap dengan rahang mengeras.

Arkan menghentikan langkah, lalu berkata datar:

“Kalau kalian datang untuk membawanya kembali, pulanglah. Kalian… telat.”

“Lo yang nyulik dia?” tanya Prince dengan suara penuh emosi.

Arkan menatap Margaret di balik kaca. Wajahnya melunak sedikit.

“Gue nggak nyulik dia. Gue… menyelamatkannya.”

“Dengan cara menculik?! Menyembunyikan dia dari semua orang?!” Karin memekik.

Arkan tak menjawab.

“Polisi, pencarian, keluarga… semua lo tipu?!” ujar Andrew, nyaris berteriak.

Gio menelan ludah. “Jadi semua ini... semua yang terjadi... korban-korban sebelumnya... pesan-pesan aneh itu...”

“Semua direncanakan?” bisik Karin.

Arkan tersenyum tipis. “Margaret bukan cuma gadis biasa buat gue. Dia… satu-satunya alasan gue hidup. Dia satu-satunya yang pernah lihat gue… sebagai manusia.”

Semua terdiam. Hening menggantung menyesakkan.

Prince melangkah maju. Napasnya memburu.

Matanya memerah.

“Lo… cinta sama dia?”

Arkan menatap Prince untuk pertama kalinya.

Samar, ada luka dalam tatapan itu.

“Gue… udah jatuh cinta sebelum kalian semua kenal dia.”

Gelap.

Tak ada suara. Tak ada rasa. Hanya kehampaan.

Margaret seperti mengambang di antara langit dan laut. Tubuhnya ringan, seolah tak berbobot. Tapi perlahan… suara-suara kecil mulai berdengung di kejauhan. Suara tawa. Suara anak-anak.

Cahaya muncul dari balik kabut hitam.

Margaret berjalan ke arahnya, langkahnya ragu, tapi hatinya terasa… tertarik.

Dan di balik cahaya itu—ia melihatnya.

Panti asuhan kecil.

Halaman berumput. Ayunan tua dari ban bekas. Anak-anak berlarian, tertawa. Dunia kecil itu penuh warna, meski gedungnya lusuh dan catnya mengelupas.

Margaret berdiri di tengah halaman.

Dia kecil lagi.

Tubuh mungilnya mengenakan baju bunga-bunga lusuh. Di tangannya ada setangkai bunga liar. Ia tersenyum sambil berlari kecil ke arah seorang bocah laki-laki yang duduk di bawah pohon.

Arkan kecil.

Masih dengan tatapan kosong dan pensil di tangannya. Tak bicara. Tak tersenyum.

“Kenapa kamu nggak main?” tanya Margaret kecil.

Tak ada jawaban.

Tapi Margaret duduk di sebelahnya. Diam. Lalu bicara lagi.

“Kalau kamu terus diam, kamu akan jadi angin. Nggak kelihatan, nggak diingat. Tapi aku mau ingat kamu.”

Margaret dewasa—yang melihat semua ini dari kejauhan—tersentak.

Ingatan itu… nyata. Bukan mimpi.

Ia benar-benar pernah berkata seperti itu.

Dan saat itulah…

Arkan kecil tersenyum.

Margaret kecil menepuk lututnya bangga, tertawa. Tapi tak lama… bayangan besar menutupi mereka. Sosok wanita muda berdiri di pintu panti dengan map cokelat.

“Margaret… ayo masuk. Ada yang ingin bertemu denganmu.”

Margaret kecil menoleh pada Arkan.

Ingin pamit, ingin bicara… tapi dilarang. Waktu terlalu sempit.

Mobil hitam menunggu. Pintu ditutup.

Dan Arkan hanya bisa berdiri di balik tirai jendela.

Menatap… Margaret yang pergi.

Tanpa tahu bahwa senyum pertama dan satu-satunya miliknya ikut pergi bersama gadis itu.

Margaret dewasa menjerit dari kejauhan.

“Maaf… aku nggak tahu… aku nggak ingat…”

Tapi tak ada yang menjawab.

Langit runtuh.

Panti menghilang.

Dan Margaret jatuh… tenggelam dalam lautan cahaya.

________

Margaret mulai bergerak di tempat tidur.

Kelopak matanya bergetar.

Suara-suara dari luar mulai masuk ke dalam kesadarannya.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…

Prince, Arkan, dan Margaret... berada dalam satu tempat.

Dengan cinta yang sama…

Tapi jalan yang tak pernah sama.

1
Ty Kurniawan
menurut ku alur ceritanya bagus dan tegas ...authornya juga rajin update ...semoga rame yg baca karena emang bagus ceritanya
penulismalam4: alhamdulillah terimakasih
total 1 replies
Ty Kurniawan
thor gimana kabarnya si bucin erik
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!