"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Bayang-Bayang di Antara Cinta dan Ujian
Pagi di Batupute menyapa dengan sinar mentari yang lembut, namun hati Aisyah tak setenang langit cerah di atas sana. Rumah mereka kembali menjadi tempat ujian—kali ini bukan oleh penduduk atau kegelapan masa lalu, tetapi oleh seseorang yang datang dari masa lalu Khaerul sendiri: Ainun.
Sejak kedatangannya yang tampak santun namun menusuk itu, Ainun perlahan menunjukkan sisi lain dari dirinya. Wajahnya tak pernah menunjukkan niat buruk, tetapi sikapnya menyusup seperti kabut dingin ke dalam hati Aisyah. Ainun mulai terlalu sering berada di dekat Khaerul. Ia menawarkan bantuan, menyajikan teh di saat Aisyah lengah, mengatur pengajian kecil tanpa seizin Aisyah, bahkan pernah kedapatan memindahkan mushaf milik Aisyah ke tempat berbeda dengan dalih "merapikan rak kitab."
Khaerul tidak menyadari perubahan itu. Ia masih melihat Ainun sebagai anak tiri Pak Samad yang membutuhkan bimbingan. “Dia tak punya siapa-siapa lagi,” ujar Khaerul suatu malam. “Dia perlu tempat berteduh.”
Aisyah menahan gemuruh dalam dadanya. Ia tahu, niatnya adalah menyambut siapa pun yang membutuhkan. Tapi Ainun bukan hanya membawa luka, melainkan bayang-bayang retaknya bahtera yang baru saja ia selamatkan dari badai besar.
Suatu malam, Aisyah bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat air laut pantai Lasonrai berubah menjadi merah. Dari tengah pusaran air, muncul sesosok perempuan berbaju putih, berjalan ke arahnya dengan mata penuh bara. Perempuan itu tersenyum, tapi senyumnya justru membuat Aisyah menggigil. Ia terbangun dengan keringat dingin, dan jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang tidak beres.
Keesokan harinya, Salwa—santri kecil yang sangat dekat dengan Aisyah—datang sambil menangis. "Ustadzah... tadi malam aku dengar Kak Ainun bicara sendiri di belakang rumah. Tapi tidak seperti orang biasa... suaranya berat sekali... dan dia sebut-sebut nama Ibu."
Aisyah terdiam. Getaran halus menyelinap di sekujur tubuhnya. Ia mencoba meredam kegelisahan itu dengan zikir. Tapi firasat buruk tak bisa dibendung.
Hari-hari berikutnya, ketegangan tak bisa lagi disembunyikan. Santri-santri mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran Ainun. Beberapa anak mengaku melihat bayangan perempuan lewat di dekat jendela asrama malam hari. Bahkan seorang santri bernama Taufiq mengalami mimpi buruk berulang kali tentang ular hitam yang menyusup ke ruang mengaji.
Khaerul mulai menyadari perubahan ini. Ia mencoba bicara baik-baik dengan Ainun. “Kalau ada yang mengganggumu, Ainun, bilang saja. Kita keluargamu sekarang.”
Ainun tersenyum, namun jawabannya menggantung, “Terima kasih, Kak Khaerul. Tapi kadang... bukan keluarga yang harus kita dekati, melainkan cinta yang tertunda.”
Kata-kata itu membuat Khaerul diam.
Suasana di rumah dan pondok semakin panas. Fitnah mulai beredar. Ada yang menyebut Aisyah cemburu buta. Ada pula yang mengatakan Ainun lebih pantas menjadi pendamping Khaerul karena darah bugis dan keturunan dari pemuka adat. Bahkan, ada yang berani mengatakan bahwa Aisyah tak mampu lagi mendampingi dakwah karena tubuhnya masih lemah pasca melahirkan.
Suatu malam, Aisyah mendapati kertas kecil terselip di mushafnya. Tak ada nama pengirim. Hanya satu kalimat tertulis:
"Jangan lawan yang tidak terlihat. Ia bisa datang lewat orang yang paling kamu percaya."
Aisyah bergetar. Malam itu ia kembali menangis dalam sujudnya. “Ya Allah... kuatkan aku. Lindungi rumah tangga ini. Jangan biarkan bisikan setan menenggelamkan kami.”
Keesokan harinya, Aisyah memutuskan untuk berpuasa sunnah dan memperbanyak wirid. Ia mulai mengamalkan hizib-hizib dari guru tarekatnya dulu. Suara bacaan zikir memenuhi rumah mereka. Aroma kayu gaharu dibakar. Bukan untuk ritual aneh, tapi untuk menenangkan hati yang tengah dijerat oleh godaan dunia.
Sementara itu, Khaerul mulai mencari informasi tentang latar belakang Ainun yang sesungguhnya. Ia menemui beberapa orang tua yang mengenal keluarga Samad. Dari mereka ia mendengar hal mengejutkan: Ainun ternyata bukan anak kandung Pak Samad, melainkan anak dari seorang wanita dukun yang dikenal sangat sakti, dan dulu pernah berseteru dengan salah satu guru Khaerul di kota.
Mata Khaerul membelalak. Potongan-potongan misteri mulai menyatu. Ia segera pulang dengan dada penuh resah.
Di rumah, Aisyah sedang duduk memegang mushaf, sementara Ainun berdiri di dekat pintu, menatap tajam ke arah mereka.
Babak baru akan dimulai.
Di bawah langit yang mendung, Aisyah duduk termenung di depan pintu rumah mereka yang sederhana. Angin laut dari Pantai Lasonrai berhembus, namun tak dapat mengusir keresahan yang mulai melanda hatinya. Di dalam rumah, Khaerul tengah mengaji, melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan khusyuk. Namun, Aisyah merasakan seolah ada bayangan gelap yang terus mengikutinya.
Sejak kedatangan Ainun, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya dalam diri Ainun yang tampak semakin dekat dengan Khaerul, tetapi juga dalam diri Aisyah sendiri. Ada perasaan aneh yang kian tumbuh. Perasaan cemburu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah gelombang tak terdefinisikan yang perlahan-lahan menghancurkan ketenangan yang sudah susah payah mereka bangun.
Ainun, yang awalnya datang dengan niat baik, ternyata memiliki agenda tersembunyi. Dia berusaha mendekatkan diri pada Khaerul, menggantikan posisi Aisyah dalam beberapa aspek kehidupan mereka. Setiap kali ada kesempatan, Ainun akan memberikan perhatian lebih pada Khaerul. Kadang, Aisyah mendapati Ainun menyentuh tangan Khaerul dengan cara yang sangat sengaja, atau menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Senyumnya yang terlalu lebar, perkataan yang terlalu manis, dan kedekatannya yang tiba-tiba menjadi ancaman nyata. Khaerul yang seharusnya bisa melihat itu, malah tampak semakin terbuai dengan perhatian Ainun. Aisyah merasa terjebak dalam perasaan yang bertentangan. Di satu sisi, ia ingin mempercayai Khaerul sepenuhnya, namun di sisi lain, ketidaknyamanan itu kian menumpuk.
Suatu malam, Aisyah memutuskan untuk berbicara dengan Khaerul. Mereka duduk di ruang tamu yang temaram. Hanya ada nyala lampu minyak yang menerangi ruangan itu. Aisyah menarik napas panjang.
"Khaerul," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Aku merasa... ada yang berbeda. Sejak Ainun datang, aku merasa ada jarak di antara kita."
Khaerul menoleh, matanya seolah tak mengerti apa yang dimaksud Aisyah. "Apa maksudmu? Ainun hanya anak Pak Samad, dia datang untuk membantu kita."
Aisyah memandang Khaerul dengan tatapan yang penuh kecemasan. "Tapi dia tidak hanya membantu, Khaerul. Dia mulai menyentuh kehidupan kita, meresap dalam setiap ruang yang kita miliki. Bahkan dalam hatimu."
Khaerul terdiam, sedikit kebingungan. "Aisyah, kamu terlalu khawatir. Ainun hanya ingin membantu kita dalam keadaan sulit seperti ini."
Namun, Aisyah bisa melihat dari ekspresi Khaerul bahwa ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang ia rasakan. Dalam hati, Aisyah merasa seperti ada sesuatu yang telah hilang. Dia bukan hanya merasa tidak dihargai, tetapi juga khawatir tentang masa depan rumah tangga mereka yang kini dipenuhi oleh bayang-bayang Ainun.
Malam itu, Aisyah memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia berjalan tanpa tujuan di sepanjang pantai Lasonrai yang sunyi. Suara ombak yang pecah di bibir pantai tampaknya menjadi satu-satunya penghiburan. Namun, hatinya semakin berat. Sesekali ia menatap langit yang mendung, berusaha mencari jawaban dari segala kebingungannya.
Tiba-tiba, sebuah suara muncul dari belakang. "Aisyah..."
Aisyah berbalik dan melihat Ainun berdiri di sana, dengan senyum yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. "Kau tidak perlu merasa cemas," kata Ainun, suaranya lembut namun mengandung nada yang menantang. "Khaerul milikku, dan aku akan pastikan bahwa dia tahu siapa yang lebih pantas untuknya."
Aisyah merasa seluruh tubuhnya membeku. Kata-kata Ainun terngiang dalam telinganya. Ada ancaman yang tak bisa ia ingkari. “Apa maksudmu?” Aisyah berusaha menahan amarah yang perlahan meluap.
Ainun tertawa pelan, namun suara tawa itu seperti bergema di dalam hati Aisyah. “Kau tahu, Aisyah, wanita seperti aku tak akan membiarkan diriku kalah. Aku akan melawanmu, dan kau tak akan bisa menghentikanku. Khaerul adalah milikku, dan aku akan ambil dia.”
Seketika, tubuh Aisyah dipenuhi dengan ketakutan yang tak terlukiskan. Apa yang baru saja ia dengar bukan hanya ancaman biasa, tapi sebuah pengakuan akan niat buruk yang sudah lama dipendam oleh Ainun. Sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan dalam cinta—Ainun ingin menghancurkan segala yang Aisyah miliki.
Air mata Aisyah perlahan turun. "Aku tidak akan menyerah, Ainun. Aku akan melindungi rumah tanggaku, apapun yang terjadi," kata Aisyah dengan tekad.
Namun, Ainun hanya tersenyum, senyum yang penuh misteri dan kegelapan. "Kita lihat saja nanti."
Saat itu, Aisyah tahu bahwa ini bukan hanya masalah cinta biasa. Ini adalah perjuangan untuk mempertahankan segala yang ia cintai, untuk menjaga keutuhan keluarga yang telah ia bangun dengan susah payah.
Ainun menghilang dalam kegelapan malam, meninggalkan Aisyah yang kini merasa lebih bingung dan takut daripada sebelumnya. Namun, satu hal yang Aisyah tahu pasti: ia tidak akan menyerah begitu saja.