NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Beberapa hari kemudian, udara pagi terasa segar ketika Grilyanto dan Sri akhirnya pulang ke rumah mereka di Bumiarjo.

Matahari masih malu-malu menebar sinarnya, sementara dedaunan berkilau terkena sisa embun.

Grilyanto menurunkan koper-koper kecil dari mobil sewaan, sementara Sri berdiri di sampingnya, menggendong Ratri Puja Udayani atau Rani, nama panggilan sang bayi mungil.

Ibu Grilyanto dan Ibu Mariyati ikut membantu membawa barang bawaan ke dalam rumah.

Senyum lebar terukir di wajah kedua perempuan sepuh itu, walau tersirat kelelahan.

Sri berjalan perlahan, masih terlihat sedikit lemas. Sesekali ia berhenti menatap rumahnya, seperti menelan rindu yang sempat tertahan.

Rumah itu terasa begitu hangat, seolah memanggilnya kembali ke pelukan keseharian yang dulu sempat terputus.

Sesampainya di dalam rumah, Ibu Grilyanto segera merapikan barang-barang bayi ke kamar.

Ibu Mariyati, sementara itu, sibuk menyusun bawaan mereka ke lemari.

Sri duduk di kursi dekat jendela sambil mengelus kepala kecil Rani yang terlelap di dekapannya.

Setelah semua barang beres, Ibu Grilyanto duduk di hadapan Sri.

Wajahnya tampak lembut namun penuh ketegasan.

“Le, Nduk… Ibu kepikiran soal Pramesh,” ucap Ibu Grilyanto pelan.

Sri dan Grilyanto saling pandang.

Ibu Grilyanto melanjutkan, suaranya lirih namun mantap.

“Ibu pikir, Pramesh di Magelang dulu saja. Sampai nanti mau sekolah SD. Biar Sri bisa tenang ngurus Rani. Wong bayi kecil itu butuh perhatian banyak, Nduk. Kasihan kalau Sri terlalu capek.”

Sri terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hatinya bagai terbelah dua.

Rindu pada Pramesh menyesak di dada, tetapi ia pun menyadari betapa repotnya mengurus bayi baru lahir sambil mengasuh balita yang mulai aktif seperti Pramesh.

“Ibumu benar, Sri. Nanti kalau Rani sudah agak besar, Pramesh bisa pulang. Lagian di Magelang ada saudara-saudaramu yang sayang sama dia. Nggak usah terlalu berat mikirnya.”

“Papa setuju sama Ibu. Bukan berarti kita lepas tangan, Ma. Kita tetap sering ke Magelang. Atau kalau Mama kangen, nanti Papa ajak jemput Pramesh ke sana.”

Sri menggigit bibirnya sambil menatap wajah Rani yang tertidur pulas, lalu membayangkan Pramesh dengan tawanya yang ramai, lari ke sana kemari di rumah ini.

Hatinya terasa sepi membayangkan rumah tanpa suara riuh Pramesh.

Namun ia tahu, kondisi kesehatannya belum sepenuhnya pulih.

“Ya Bu, aku nurut. Kalau memang itu yang terbaik.”

Ibu Grilyanto meraih tangan menantunya, menggenggam erat.

“Ibu janji jaga Pramesh baik-baik. Nggak usah khawatir. Anakmu itu ceria banget di sana. Saudara-saudaramu juga senang sama dia.”

Sri menarik napas panjang. Air mata akhirnya jatuh juga, namun segera dihapusnya.

“Aku kangen dia, Bu…” ucapnya parau.

“Nduk, namanya jadi ibu ya begitu… kadang harus ikhlas demi kebaikan anak-anakmu. Yang penting kamu sehat dulu. Rani butuh kamu.”

Papa bangga sama Mama. Kamu kuat sekali, Ma.”

Sri hanya menunduk, menahan isak. Meski berat, ia perlahan belajar melepaskan.

Ia tahu, rasa cinta kepada anak bukan hanya soal memeluk mereka setiap hari, tetapi juga berani mengambil keputusan yang terbaik meski rasanya sakit.

Senja menurunkan cahaya keemasan di langit Surabaya, ketika aroma bawang putih tumis mulai memenuhi rumah kecil di Bumiarjo.

Grilyanto berdiri di dapur, tangannya lincah mengaduk wajan.

Sesekali ia mencicipi kuah sayur, memastikan rasanya pas.

Ia menyiapkan sop ayam kampung, sambal tomat, dan telur dadar kesukaan Sri.

Sementara itu, di ruang tengah, Sri duduk bersandar di kursi panjang.

Wajahnya terlihat sedikit letih, namun penuh kelembutan.

Rani terbaring nyaman di pelukan Sri, matanya terpejam sambil menyusu.

Setiap hisapan kecil Rani terdengar pelan, membuat Sri menatap bayinya dengan mata yang penuh rasa syukur.

“Papa, Mama senang sekali bisa lihat kamu masak,” ujar Sri, suaranya lembut, meski agak serak kelelahan.

Grilyanto menoleh dari balik sekat dapur, tersenyum lebar.

“Papa juga senang lihat Mama tenang di rumah. Mama nggak usah pikir apa-apa. Biar Papa yang masak.”

Sri hanya mengangguk. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Hatinya hangat mendengar panggilan “Papa” yang kini terasa semakin akrab di telinga.

Dulu, sebelum Rani lahir, panggilan itu hanya sekadar sebutan suami-istri. Kini, setelah kehadiran Rani, kata

“Papa” dan “Mama” menjadi identitas baru bagi mereka berdua—menjadi orangtua.

Grilyanto mematikan kompor sambil memindahkan masakan ke mangkuk saji, lalu membawa semuanya ke meja makan. Dia melirik Sri.

“Papa ambilkan piring Mama, ya?”

“Iya, Pa. Tapi nanti aja. Rani belum selesai.”

Grilyanto berjalan pelan ke ruang tengah. Ia duduk di samping Sri.

Dilihatnya Rani yang masih asyik menyusu, pipinya merah merona. Grilyanto mengelus kepala kecil putrinya.

“Rani, cepet gede ya. Biar Mama nggak capek terus. Kasihan Mama…” bisiknya pelan.

“Papa ini Rani masih bayi kok disuruh cepat gede. Nanti kalau udah gede, Papa malah kangen Rani waktu kecil.”

"Iya juga, Ma. Papa pasti kangen suara tangisan Rani. Sama wangi bayi kayak gini.”

Mereka terdiam beberapa saat, menikmati kebersamaan yang sederhana.

Hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan, dan napas kecil Rani yang sesekali terdengar berat, lalu teratur lagi.

“Papa…” panggil Sri pelan.

“Ya, Ma?”

“Terima kasih ya Pa, sudah sabar banget sama Mama. Sama semua masalah kita. Sama Rani juga…”

“Papa yang terima kasih. Mama luar biasa. Papa nggak mungkin kuat tanpa Mama.”

Sri menahan air mata. Ia merasa betapa Grilyanto selalu menjadi sandaran hatinya, apa pun yang terjadi.

Sampai akhirnya Rani melepaskan isapan, terlelap dalam gendongan Sri.

Wajah mungilnya damai. Grilyanto segera mengulurkan tangannya, mengambil Rani dari pelukan Sri.

“Papa gendong dulu, ya. Biar Mama bisa makan.”

“Iya, Pa.”

Dengan hati-hati, Grilyanto membawa Rani ke kamar, menidurkannya di ranjang kecil. Lalu ia kembali ke meja makan.

“Yuk, Ma. Makan dulu. Papa sudah masak enak, lho,” ujarnya sambil menarik kursi untuk Sri.

Sri tersenyum, lalu bangkit pelan. Ia duduk di meja makan, menatap suaminya penuh rasa cinta.

Setelah suapan terakhir disantap, Sri meletakkan sendoknya pelan di pinggir piring.

Senyumnya tipis, tapi wajahnya masih tampak lelah. Grilyanto menatap istrinya dengan penuh perhatian.

“Udah kenyang, Ma?” tanyanya lembut.

“Kenyang, Pa. Enak banget masakan Papa.”

Grilyanto tersenyum. Ia bangkit dari kursi, lalu berdiri di sisi Sri. Perlahan, ia mengulurkan kedua tangannya.

“Ayo, Ma. Biar Papa bantu berdiri. Jangan terlalu banyak bergerak.”

Sri menyambut tangan suaminya, jemarinya yang kecil tampak pucat menggenggam erat jari-jari Grilyanto yang besar dan hangat.

Perlahan Grilyanto menarik Sri berdiri. Tubuh Sri sedikit goyah, membuat Grilyanto langsung menahan pinggang istrinya.

“Pelan-pelan, Ma. Nggak usah buru-buru,” ucapnya sambil memapah Sri ke ruang tengah.

Sri bersandar di bahu Grilyanto, langkahnya perlahan. Setiap gerakan terasa berat bagi tubuhnya yang masih rapuh.

Namun di matanya terpancar rasa tenang karena ia tidak berjalan sendirian.

Saat tiba di kursi panjang ruang tengah, Grilyanto membantu Sri duduk.

Ia merapikan bantal di belakang punggung istrinya.

“Duduk sini dulu, Ma. Papa beresin meja makan.”

“Papa nggak capek?” tanya Sri.

“Capek sih capek, Ma. Tapi Papa lebih capek kalau lihat Mama sakit.”

Sri hanya tersenyum. Air matanya menetes perlahan, bukan karena sedih, tapi karena haru.

“Pa…” panggil Sri lirih.

“Ya, Ma?”

“Terima kasih udah selalu sabar sama Mama. Sama anak-anak. Sama semua masalah kita.”

Grilyanto menatap Sri, kemudian menunduk, mencium kening istrinya.

“Papa sayang sama Mama dan nggak ada yang lebih penting dari Mama.”

Sri meraih tangan Grilyanto, menggenggamnya erat.

“Aku beruntung punya Papa.”

Grilyanto mengusap lembut pipi istrinya, lalu tersenyum.

“Papa juga beruntung punya Mama.”

Sri mengangguk, air matanya kini berubah menjadi senyum.

“Papa…”

“Ya, Ma?”

“Boleh nggak malam ini Papa temenin Mama tidur lebih awal?”

“Tentu, Ma. Papa juga udah kangen peluk Mama.”

Malam kian larut. Sementara suara lampu neon berdengung pelan, Grilyanto memapah Sri menuju kamar. Langkah mereka lambat, penuh kehati-hatian. Sesekali Grilyanto mencuri pandang ke arah Sri, memastikan istrinya baik-baik saja.

Di dalam kamar, Rani sudah tidur nyenyak di ranjang kecilnya.

Sri mendekat dan menatap wajah mungil putrinya dengan penuh kasih.

“Cantik sekali kamu, Nak…” bisiknya.

Grilyanto meraih selimut, menutupi tubuh Sri. Lalu ia ikut merebahkan diri di samping istrinya, meraih tubuh Sri dalam pelukan.

“Papa…” panggil Sri sekali lagi, suaranya mengantuk.

“Ya, Ma?”

“Aku cinta Papa…”

“Papa juga cinta Mama… Selamanya…”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!