Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
Bukan hanya Aditya Prawira yang datang menggandeng seorang perempuan asing—cukup untuk membuat tamu-tamu berbisik penuh rasa ingin tahu—tetapi kehadiran Larasati benar-benar mengubah suasana menjadi hiruk-pikuk diam-diam yang lebih dahsyat dari badai.
Ia muncul bak siluet bintang jatuh yang tak sempat dipanjatkan harapan. Tinggi semampai, rambut panjangnya dibiarkan tergerai anggun ke samping, dihiasi kilau anting berlian edisi terbatas yang memantulkan cahaya lampu gantung. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya dengan presisi, sementara lipstik merah merona pada bibirnya seperti tantangan yang tak terucap. Ia tak berjalan, ia melenggang—dan mata siapa pun yang melihatnya, seakan terpaksa menatap lebih lama dari seharusnya.
Melisa, ibu dari Aditya, tersenyum. Bukan senyum biasa, melainkan senyum penuh arti—bangga, nostalgia, dan mungkin... penyesalan? Ia menyambut Larasati dengan hangat, cipika-cipiki seperti dua wanita yang pernah berbagi mimpi yang sama—bahwa perempuan itu dulunya hampir menjadi bagian keluarga.
Sementara itu, dari sudut ruangan, Raina terdiam. Ia tidak bergerak, tidak bersuara. Hanya tangannya yang sibuk membawa gelas ke bibirnya, meneguk cepat seolah ingin menenggelamkan sesuatu. Gelas itu akhirnya tandas, tapi rasa pahit di dadanya tetap mengendap.
Larasati mendapat sambutan hangat dari tuan rumah. Senyuman, pelukan, pujian mengalir bagai arus yang tak terbendung. Semua mata mengarah padanya. Kontras dengan Raina—menantu sah, istri yang sah, yang bahkan tak dipedulikan seolah hanya bayang-bayang.
Dan di antara gemerlap pesta malam itu, ada satu kenyataan yang tak terucapkan: cinta lama memang tak pernah benar-benar pergi. Kadang, ia hanya menunggu waktu untuk kembali mencuri panggung.
Aditya sedang larut dalam obrolan ringan dengan rekan bisnisnya, namun pikirannya tak benar-benar di sana. Sebuah tawa renyah—yang begitu ia kenal—mengoyak perhatiannya. Dari sudut matanya, ia melihat Larasati tengah tertawa, matanya menyipit lembut, tangannya menyentuh ringan lengan ibunya.
Senyum Melisa pun mengembang, tulus... hangat... Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, kedekatan itu membentuk dinding tak terlihat—memisahkan Aditya dari sebuah kerinduan yang tak pernah benar-benar ia miliki.
Karena kehangatan seperti itu... nyaris tak pernah ada antara ia dan ibunya. Bahkan setelah bertahun-tahun. Bahkan setelah ia membawa menantu resmi ke rumah.
Ada yang menyesak di dada Aditya, dan dengan cepat ia mengalihkan pandang. Ekor matanya mencari-cari sosok lain yang harusnya ada di sana Bersama ibunya malam ini—Raina.
Ia menemukannya, duduk sendirian di pojok ruangan. Tak ada yang mengajaknya bicara. Tak ada yang menyapa. Hanya segelas minuman kosong di atas meja, dan tatapan kosong yang melayang entah ke mana. Rambutnya sedikit kusut, lipstiknya memudar, dan mata itu—mata yang dulu penuh semangat—kini tampak seperti danau yang kehabisan air.
Raina melamun. Mungkin tentang bagaimana ia sampai di titik ini.Tentang cinta yang kini terasa asing bahkan ketika sang suami hanya berdiri beberapa meter darinya.Di antara Ia Larasati dan ibunya.
Aditya menembus kerumunan dengan langkah panjang dan mata yang tak lagi menoleh ke belakang. Ia mengabaikan suara ibunya yang memanggil dari sisi ruangan.
“Ditya… kemari,” suara Melisa terdengar tegas, bahkan sedikit mendesak. Ia berdiri bersama Larasati, keduanya tampak akrab dan bercahaya di tengah pesta. Tapi Aditya tak menjawab. Tidak kali ini.
Ia terus berjalan, matanya sudah terkunci pada satu sudut ruangan. Di sana, di pojok ruangan yang jauh dari sorot lampu utama, duduklah Raina.
Perempuan itu tampak diam. Tenang. Tapi tidak tenang yang nyaman—melainkan tenang yang lahir dari kelelahan menahan diri. Ia mengenakan gaun mahal bernuansa glamour, karya seorang desainer kenamaan yang bahkan namanya disebut-sebut di undangan pesta. Warna gelapnya mencolok dalam kesederhanaan, memeluk tubuh Raina dengan anggun dan sempurna. Semua orang sepakat bahwa malam ini, ia tampil menawan. Tapi tidak ada yang benar-benar memperhatikannya.
Wajahnya bersih dari air mata, namun sorot matanya kosong, seperti seseorang yang sudah belajar terlalu lama untuk diam. Di hadapannya, segelas minuman sudah tandas. Kedua tangannya bertumpu rapi di pangkuan. Tak ada yang salah dengan penampilannya—justru mungkin terlalu sempurna untuk perempuan yang sedang merasa sendiri.
Aditya mendekat, lalu berhenti di hadapannya. “Sayang…” panggilnya pelan, hampir seperti lirih yang takut memecah kesepian.
Raina menoleh perlahan. Seketika, dari balik segala kelam yang ditahannya, senyum itu muncul. Lesung pipinya menyapa, dan malam seolah mereda sedikit. “Iya, Mas…” jawabnya lembut.
Aditya mengulurkan tangan, dan Raina—masih mengenakan gaun yang dirancang dengan ketelitian, namun sekarang terasa lebih hangat oleh sentuhan suaminya—menyambutnya. Telapak tangannya terasa dingin pada awalnya, namun sentuhan Aditya menghangatkannya perlahan.
“Di sini terlalu bising… ayo pulang,” ucap Aditya. Ia tahu benar bagaimana rasa sesak itu bisa datang diam-diam saat berada di ruangan yang penuh dengan wajah-wajah palsu dan sorot mata menilai.
“Tapi Mas… pestanya belum selesai,” ucap Raina pelan, hampir ragu.
Aditya tersenyum kecil, lalu menatap matanya dalam-dalam. “Tapi kamu sudah cukup bertahan malam ini. Dan itu lebih dari cukup bagiku.”
Raina mengangguk. Ia berdiri dengan anggun, gaun mewah itu mengikuti gerak tubuhnya seperti bayangan. Ia bukan perempuan lemah. Ia hanya terlalu lama menunggu untuk diperhatikan.
Aditya menggandeng istrinya dengan elegan di hadapan mom Melisa.
“Mom, kami pamit,” ucapnya singkat, suaranya datar dan tanpa rasa hangat.
Melisa menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis yang nyaris dingin. “Masih banyak tamu yang perlu kamu temui.”
Aditya mengangkat sedikit dagu, menolak untuk membalas. “Kami sudah cukup,” jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Larasati tersenyum tipis, nada suaranya menusuk, “Belum terbiasa dengan pesta, ya?” tatapannya ditujukan untuk Raina.
Raina tetap diam, tak membalas.
Aditya menarik tangan Raina lebih erat, suara dinginnya mengiringi langkahnya, “Ayo.”
Mereka melangkah keluar meninggalkan ruangan, meninggalkan Melisa yang terdiam dengan tatapan tajam, dan Larasati yang menatap pergi dengan amarah yang tersembunyi.
Dan saat tangan Aditya menggenggamnya erat, membawanya melangkah meninggalkan keramaian, Raina tahu… malam ini, ia tak hanya pulang dari pesta. Ia pulang ke seseorang yang akhirnya memilihnya, meski dengan luka, meski dengan waktu yang terlambat.
Mobil melaju tenang di jalan malam yang sepi. Lampu-lampu kota berkelebat di balik jendela, memantulkan cahaya redup ke dalam kabin. Suasana di dalam mobil semula senyap, hanya diisi suara mesin dan hembusan AC.
“Tapi, Mas… rasanya kurang sopan pergi begitu saja,” ucap Raina pelan, memecah keheningan saat mobil berbelok meninggalkan area pesta. Suaranya tak mengandung protes, hanya ragu-ragu yang muncul dari kebiasaannya menjaga sikap.
Aditya tak langsung menjawab. Matanya tetap menatap lurus ke depan. “Tinggal lebih lama di sana hanya akan menambah beban pikiranmu,” balasnya dingin, namun terasa melindungi.
Raina mengangguk kecil. Ia menunduk, lalu menyandarkan punggung ke jok. “Tapi… ngomong-ngomong, ternyata ibu kamu bisa tertawa juga, ya. Nggak seseram yang aku pikir. Hehe…” meskipun tidak kepadaku. "
Aditya menoleh singkat ke arahnya, sudut bibirnya terangkat sedikit. “Memang, di pikiran kamu, seseram apa dia?”
Raina menggaruk tengkuknya, canggung. “Yah… serem kayak Mas yang dulu,” ujarnya cepat, lalu refleks menutup mulut. Matanya membesar panik. “Maaf, itu tadi refleks…”
Aditya hanya tersenyum tipis, tak sedikit pun menunjukkan amarah. Justru ada ketenangan dalam sorot matanya. “Padahal Mom lebih seram dari aku, asal kamu tahu.”
Seketika tangannya bergerak, menoel pipi Raina dengan gemas—sebuah gestur ringan, namun cukup untuk membuat pipi Raina merona malu.
Raina tertawa kecil, lalu berpaling menatap jendela—mencoba menyembunyikan senyumnya. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa... pulang bukan sekadar ke rumah, tapi ke hati yang mulai membuka ruang.
beruntung nenek menikahkan aditya dg gadis pilihannya walaupun yg awalnya terpaksa & tanpa cinta tp skrng aditya sangat bahagia dg pilihan neneknya bahwan sangat bucin😄😍😍
sekarang nikmati kehancuran hidupmu laras demi sebuah ambisi qm rela mengorbankan smuanya termasuk cinta aditya yg tulus padamu yg skrng hanya utk istrinya rania😔
semangat berkarya kembali dgn cerita yg lebih seru dan menarik lainnya...
sampai jumpa....