NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 23: Genggaman Pedang di Tengah Bara

Kabut pagi menggantung di lereng gunung, menebarkan kesejukan yang menipu. Di balik hawa dingin itu, udara sebenarnya bergetar oleh panas yang samar, seolah bumi sendiri sedang menahan napas. Liang Chen duduk bersila di atas batu datar yang permukaannya telah menghitam oleh arang latihan sebelumnya.

Di kedua tangannya, Pedang Kesunyian Malam terbaring diam. Bilahnya memantulkan cahaya suram, menelan cahaya mentari yang mencoba menembus kabut.

Guru Kui Xing berdiri tak jauh di belakangnya, tangannya menggenggam labu arak yang sudah setengah kosong. Tatapannya tajam, tapi tidak menindas. Ia berbicara perlahan, nada suaranya tenang namun membawa tekanan yang dalam.

“Biarkan Energi Pembantaian itu keluar dari dadamu, Chen’er. Jangan dorong, jangan tarik. Hanya biarkan ia mengalir ke pedangmu.”

Liang Chen menarik napas perlahan. Dadanya naik turun, tapi di dalamnya berdenyut sesuatu yang liar. Energi itu terasa seperti bara yang hidup, setiap percikannya menimbulkan rasa sakit yang membakar dari dalam.

Ia menyalurkan kesadarannya ke pusat energi itu, lalu mendorong perlahan ke arah telapak tangannya. Setiap gerakan kecil terasa seperti menahan letusan gunung yang siap menghancurkan tubuhnya sendiri.

Perlahan, ia mulai merasakan arus panas itu bergerak. Jalannya tidak halus, melainkan berkelok dan bergetar seperti ular yang menolak dikekang. Liang Chen menggertakkan gigi, mencoba menyalurkan seluruh fokusnya ke bilah hitam di pangkuannya.

Begitu energi itu menyentuh gagang pedang, suara samar seperti dengungan logam bergema di udara. Kesunyian Malam mulai bergetar, dan warna hitamnya tampak semakin pekat, seolah sedang meneguk cahaya dari dunia.

Panas menyengat melanda telapak tangannya. Rasa sakit itu menusuk, tapi ia tahu, jika dilepas sekarang, energi itu akan mengamuk dan menghancurkan tubuhnya dari dalam. Ia harus menahan, harus menjadi penyalur yang cukup kuat agar api itu tidak membakarnya.

Dadanya bergemuruh. Keringat menetes dari pelipis, mengalir ke rahangnya, lalu jatuh ke tanah dan menguap menjadi uap tipis.

“Rasakan napasnya,” kata Guru Kui Xing, suaranya tetap lembut. “Energi itu bukan musuhmu, tapi juga bukan sahabatmu. Ia hanya api yang butuh wadah. Kau harus menjadi wadah itu.”

Liang Chen mengingat kalimat itu, memejamkan mata, dan memusatkan pikirannya. Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat bentuk Energi Pembantaian itu, seperti lautan merah yang bergolak di bawah langit hitam.

Dari kedalaman lautan itu muncul tangan-tangan kabur, bayangan dari orang-orang yang telah mati. Ia mendengar jeritan samar, mungkin bayangan dari Desa Hijau yang terbakar. Dada Liang Chen bergetar, napasnya tercekat, tapi ia menolak untuk mundur.

Ia membuka matanya. Pedang Kesunyian Malam kini tampak berbeda. Bilahnya berdenyut perlahan, seperti bernapas bersamanya. Namun panasnya terus meningkat. Liang Chen menyalurkan seluruh kehendaknya untuk menahannya. Setiap detik terasa panjang, setiap detik adalah pertempuran kecil antara kehendak dan insting.

“Jangan menahannya dengan kekuatan,” ujar Guru Kui Xing tiba-tiba. “Kendalikan dengan kesadaran. Kalau kau mencoba melawannya, kau akan kalah. Kalau kau menyatu dengannya, kau akan terbakar. Kau harus berjalan di antara keduanya.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi rasanya mustahil. Liang Chen mencoba memperlambat aliran energi, lalu menyeimbangkannya dengan napas. Saat arus itu menurun, pedang berhenti bergetar, dan panasnya mulai mereda.

Liang Chen menunduk. Di permukaan pedang, ada retakan tipis yang memantulkan cahaya merah samar, seperti nadi yang berdenyut di bawah kulit baja.

Tubuhnya gemetar. Setiap otot menjerit. Tapi ia menolak untuk menyerah. Ia tahu latihan ini bukan tentang kekuatan, melainkan tentang kendali diri. Ia harus bisa memegang bara itu tanpa menjadi abu.

Setelah beberapa lama, suara Guru Kui Xing kembali terdengar. “Cukup. Kau menahannya dengan baik, tapi belum menyeimbangkannya.”

Liang Chen membuka mata. Napasnya berat, tapi matanya tajam. Ia menatap pedang di tangannya, lalu menatap gurunya.

“Bagus,” kata Guru Kui Xing pelan. “Hari ini kau belajar menjadi tungku. Besok, kau akan belajar menjaga api.”

Kabut kembali turun, dan di bawah sinarnya yang pucat, Liang Chen masih menggenggam pedang hitamnya dengan tangan yang gemetar, namun mata yang perlahan menemukan kedalaman baru.

Malam turun dengan lembut, namun hawa di sekeliling Liang Chen terasa semakin panas. Api unggun kecil di dekat pondok Guru Kui Xing berkedip pelan, memantulkan cahaya merah ke wajah murid muda yang duduk bersila di bawah pohon cemara.

Kesunyian hanya dipecahkan oleh suara lembut daun yang bergesekan, dan desah napas berat yang berirama di dada Liang Chen.

Di hadapannya, Pedang Kesunyian Malam tergeletak di atas tanah, bilahnya memantulkan rona api yang bergetar. Liang Chen menatapnya tanpa berkedip, matanya redup namun sarat ketegangan.

Di dalam tubuhnya, Energi Pembantaian itu terus bergerak, bergolak seperti darah yang berontak di dalam nadi. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tapi setiap upaya seperti menutup telinga di tengah badai.

Dalam heningnya, suara samar mulai muncul. Mula-mula seperti desir angin yang merayap di tepi kesadaran, kemudian berubah menjadi bisikan lembut yang menembus batas pikirannya.

“Lepaskan... mereka pantas... semua pantas... darah menuntut darah.”

Liang Chen mengertakkan gigi. Suara itu bergema dari dalam dirinya sendiri, bukan dari luar. Ia tahu itu adalah bisikan Warisan Asura, suara yang dulu membimbingnya dalam amuk tak terkendali. Kini suara itu lebih tenang, lebih licik, seolah menunggu ia goyah.

“Kau tahu mereka pantas mati, Liang Chen. Dunia ini menertawakan orang lemah. Dunia ini memuja yang kuat.”

Jari-jarinya bergetar. Gambar-gambar muncul di pikirannya. Rumah kecil di Desa Hijau, ayahnya yang tertawa sambil menempa logam, ibunya yang menyiapkan teh hangat. Kemudian, darah, api, dan jeritan yang menghancurkan semua ketenangan itu. Liang Chen memejamkan mata, namun bayangan itu justru menjadi semakin jelas.

Suara bisikan menjadi lebih dalam, lebih halus, seperti rayuan.

“Kau bisa membuat mereka semua membayar. Hanya butuh sedikit darah lagi. Sedikit saja.”

Napas Liang Chen terputus. Ia menunduk, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Di antara denyut jantungnya yang cepat, ia mendengar suara lain yang lebih samar, suara yang bukan dari bisikan, tapi dari ingatannya sendiri.

Suara ayahnya, berat namun hangat, “Keteguhan, Chen’er, bukan berarti kau tidak bisa marah. Itu berarti kau tahu kapan harus menahan amarah.”

Lalu suara ibunya, lembut namun tegas, “Hiduplah, Chen’er. Apa pun yang terjadi, hiduplah.”

Dua suara itu menembus lapisan gelap pikirannya. Liang Chen membuka mata. Pandangannya kini lebih jernih. Ia menatap pedang di hadapannya, dan untuk sesaat, bayangan wajah kedua orang tuanya terlihat di permukaan bilah itu.

Ia merasakan sesuatu yang lain di dalam amarahnya, bukan hanya kebencian, tetapi kesedihan yang dalam, cinta yang telah hilang.

Energi di tubuhnya bergetar. Ia menarik napas dalam, mengatur aliran energi dari dada ke tangan. Panas itu masih menyengat, namun kini ia tidak lagi melawannya.

Ia membiarkan energi itu mengalir seperti air mendidih di dalam wadah besi, menyalurkannya perlahan ke pedang di hadapannya. Cahaya merah di bilah Kesunyian Malam kembali menyala, kali ini lebih stabil, lebih halus, seolah ikut bernapas bersamanya.

Guru Kui Xing yang duduk tak jauh dari situ membuka matanya. Ia memperhatikan muridnya tanpa berkata-kata. Dalam tatapannya, ada rasa puas yang tersembunyi. Ia tahu bahwa Liang Chen sedang bertarung dengan musuh paling berbahaya: dirinya sendiri.

Suara bisikan itu mencoba kembali, namun kini lebih lemah.

“Kau tidak bisa menahanku selamanya...”

Liang Chen menjawab dalam hati, dengan keteguhan yang tumbuh dari luka, “Aku tidak akan menahanmu. Aku akan menjinakkanmu.”

Panas itu akhirnya mereda. Liang Chen mengembuskan napas panjang, napas yang disertai rasa lega dan lelah. Ia menatap tangannya yang bergetar, kemudian menatap pedang yang kini bersinar lembut.

Guru Kui Xing mendekat perlahan. “Begitulah, Chen’er. Energi itu tidak untuk dimatikan. Ia untuk dijaga, seperti api di tungku yang memberi kehidupan bila dijaga, dan membakar bila dibiarkan.”

Liang Chen mengangguk perlahan. Ia memahami sedikit dari makna kata-kata itu.

Malam semakin pekat, namun api unggun di hadapan mereka tidak padam. Bara merahnya seolah meniru cahaya di bilah pedang, dua nyala api yang saling menguji daya tahan dalam kesunyian gunung.

Pagi berikutnya turun dengan cahaya abu-abu yang redup. Kabut menutupi puncak gunung seperti selendang lembut yang menahan napas dunia. Liang Chen sudah duduk bersila di tengah lapangan kecil di depan pondok, Kesunyian Malam tertancap di tanah di hadapannya.

Udara lembap, namun hawa panas samar masih mengalir dari tubuhnya, sisa dari latihan malam sebelumnya.

Guru Kui Xing berdiri di sampingnya, jubah lusuhnya bergoyang ringan tertiup angin. Ia memandangi Liang Chen dengan pandangan tajam, seperti menilai hasil tempa dari logam yang baru melewati kobaran api.

“Kau sudah belajar menahan amarah,” ujarnya perlahan, suaranya tenang namun mengandung tekanan yang berat. “Sekarang, kau harus belajar menahannya bahkan ketika dunia berusaha memecahkanmu.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia tahu kata-kata itu bukan perintah, tetapi ujian. Ia memejamkan mata dan menarik napas panjang. Energi Pembantaian di dadanya mulai bergerak, berdesir pelan di sepanjang nadinya seperti bara yang tersentuh angin.

Ia mengatur napas, menyalurkannya ke tangan, kemudian ke bilah pedang. Cahaya merah samar mulai berdenyut di sekujur tubuhnya.

Guru Kui Xing melangkah mendekat. “Anak muda,” katanya, “katakan padaku, apa yang kau lihat saat Desa Hijau terbakar?”

Pertanyaan itu menusuk seperti belati ke dada Liang Chen. Matanya terbuka setengah, pupilnya bergetar. Ia berusaha menahan ingatan yang datang, namun suaranya muncul tanpa bisa dicegah.

“Aku melihat api... Aku mencium bau darah. Aku mendengar suara ibu...” Napasnya terputus. “Dan aku melihat mereka tertawa. Orang-orang Sekte Raja Naga Berdarah tertawa.”

Guru Kui Xing menatapnya tanpa belas kasihan. “Mereka pantas tertawa. Dunia selalu memberi kemenangan pada yang kuat. Orang tuamu kalah karena mereka lemah.”

Liang Chen menatap Guru Kui Xing dengan terkejut. Hatinya menolak kalimat itu, tetapi di balik penolakan itu muncul sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang ia kenal dengan baik.

Amarah. Denyut energi di dalam tubuhnya berubah liar. Napasnya menjadi cepat, Energi Pembantaian melonjak, mengalir deras ke tangan dan pedang yang mulai bergetar hebat.

“Diam,” desisnya, tapi suaranya bergetar.

Guru Kui Xing melanjutkan dengan nada datar, “Kematian mereka adalah pelajaran, Chen’er. Dunia tidak akan berhenti karena kau menangis. Dunia hanya tunduk pada yang mampu menaklukkan.”

Liang Chen berdiri, matanya menyala merah samar. “Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan!” teriaknya. Energi dari tubuhnya meledak ke luar seperti badai panas.

Tanah di bawahnya retak, udara bergetar, daun-daun di sekitarnya terbakar oleh percikan aura merah gelap. Kesunyian Malam bergetar hebat, nyaris melompat dari tanah seolah menuntut darah.

Namun di saat itulah, Guru Kui Xing mengangkat satu jari. Tidak ada ledakan, tidak ada sorak kekuatan. Hanya satu tarikan napas dari sang guru, dan seluruh badai amarah itu berhenti. Energi Pembantaian di sekitar Liang Chen seakan terserap ke tanah. Mata Asura di wajahnya padam perlahan, menyisakan napas berat dan tubuh yang bergetar lemah.

Guru Kui Xing melangkah mendekat. “Kau gagal,” katanya tenang. “Kau membiarkan amarahmu dipancing. Kau masih sama seperti anak yang kehilangan keluarganya, bukan seperti murid yang berusaha menaklukkan dirinya sendiri.”

Liang Chen terjatuh berlutut. Peluh membasahi wajahnya, dadanya naik-turun cepat. “Aku tidak bisa... Aku hanya ingin mereka membayar...” suaranya serak dan putus di ujung kalimat. Ia menatap tangannya yang gemetar, tangan yang sama yang dulu memeluk ayahnya, kini menjadi alat dari kekuatan yang ia sendiri takutkan.

Guru Kui Xing berjongkok di hadapannya. “Kau berpikir kendali berarti menekan?” katanya lembut. “Bukan. Kendali adalah memilih kapan amarah itu boleh keluar. Lihatlah api di tungku, Chen’er. Api itu tidak padam, tapi ia tahu kapan harus menyala dan kapan harus diam.”

Liang Chen menunduk, mendengar setiap kata seperti palu yang memukul jiwanya. Perlahan ia mengatur napas, mencoba memahami makna kata-kata itu. “Memilih... kapan harus marah...” gumamnya pelan.

Guru Kui Xing menepuk bahunya. “Kau bisa menangis karena kehilangan. Kau bisa marah karena dikhianati. Tapi jangan biarkan keduanya memegang kendali atas pedangmu. Pedangmu hanya boleh bergerak saat hatimu sudah tenang.”

Ia berdiri dan mundur beberapa langkah. “Coba lagi.”

Liang Chen menarik napas panjang. Ia menutup mata, menenangkan pikirannya. Energi Pembantaian di tubuhnya masih panas, tetapi kini ia mencoba memperlakukan panas itu bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari dirinya. Ia memusatkan pikirannya pada suara ayahnya, pada tawa ibunya, pada keteguhan yang selalu mereka ajarkan.

Api itu kembali muncul, tapi kali ini ia mengalir lebih lembut. Liang Chen mengangkat Kesunyian Malam, memegang gagangnya dengan mantap. Cahaya merah menyala lembut di sepanjang bilah, tapi tidak meledak. Pedang itu bergetar ringan, seperti hewan buas yang akhirnya belajar mendengarkan tuannya.

Guru Kui Xing tersenyum tipis. “Begitulah. Api tidak dimatikan, tetapi dijaga.”

Liang Chen membuka mata. Peluh masih membasahi wajahnya, tapi pandangannya kini jernih. Di balik kelelahan, ada ketenangan yang baru lahir. Ia melihat tangannya yang memegang Kesunyian Malam, lalu berbisik lirih, “Aku bisa menahannya.”

Guru Kui Xing menatapnya sejenak, lalu menatap langit pagi yang mulai memutih di timur. “Bagus,” katanya pelan. “Sekarang kau sudah bisa memegang api tanpa membakar dirimu. Mulai besok, kita akan berbicara tentang Ilmu Pedang.”

Liang Chen menunduk, menghormati gurunya. Hatinya masih berat, tapi di antara bara yang tersisa, ia mulai merasakan sesuatu yang mirip dengan keteguhan.

Kabut gunung perlahan tersibak, menampakkan langit pucat yang baru saja disentuh matahari. Di hadapan mereka, Kesunyian Malam memantulkan cahaya lembut, merah seperti darah namun tenang seperti fajar pertama setelah badai.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!