Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. The Baby Number Two or Three?
Anggi
Hari Sabtu pagi sebenarnya mereka berencana mengajak Arung pergi ke Gembira Loka untuk pertama kalinya, namun terpaksa batal karena Jum'at malam saat ia pulang dari kampus, Arung mendadak pilek.
Napas Arung menjadi berat, kadang sampai seperti orang mengorok. Kasihan sekali. Kesulitan mengambil napas membuat Arung malas untuk mengisap ASI. Ujung-ujungnya Arung jadi rewel dan kerap menangis karena sebenarnya masih lapar namun tak mau makan dan minum akibat dari hidung yang tersumbat.
Ia telah mengoles Transpulmin bb ke leher, dada, dan punggung Arung. Juga menumbuk bawang merah dicampur dengan minyak but-but untuk dibalurkan ke kaki Arung agar hangat. Lumayan bisa sedikit melegakan pernapasan Arung, meski masih rewel. Jadilah Sabtu pagi ini mereka hanya duduk-duduk di ruang tengah.
"Kita ke dokter aja lah. Ini pertama kali Arung pilek ya?" Rendra meski malas pergi ke rumah sakit, namun begitu melihat Arung tak bisa tidur dan rewel semalaman langsung memberi opsi untuk pergi ke dokter.
"Iya, ini pertama kali," ia mengangguk. "Jangan dulu Bang, pileknya juga baru semalam."
"Tapi kasihan dengerin napasnya berat," Rendra mendekat untuk duduk di sampingnya sambil membawa laptop.
"Nggak demam kan?" Rendra mengelus kepala Arung.
"Enggak," ia menggeleng. "Dibanding semalam, ini udah mulai enakan kok," jawabnya sambil menunjuk Arung yang sudah mulai mau nen meski tersendat-sendat.
"Kayaknya pengaruh perubahan cuaca," tambahnya sambil mengusap kepala Arung yang kembali merengek-rengek kesal karena susah menelan ASI.
"Ini udah dioles balsam. Mau pakai saline nasal spray masih ragu," ujarnya sambil menepuk-nepuk pantat Arung agar nen dengan tenang.
"Ragu kenapa?"
"Takut ntar malah ingusnya masuk ke dalam," ia meringis ragu.
"Sama aku aja sini," Rendra menyodorkan tangan kearahnya.
"Spraynya di kamar. Nanti aja, ini udah ngantuk kayaknya. Sekalian nanti kalau bobo kita pasang humidifiernya," beruntungnya ia punya banyak sepupu yang telah lebih dulu memiliki anak, jadi banyak ilmu dan info yang diturunkan padanya. Terutama tentang peralatan dan persediaan obat-obatan standar apa saja yang harus tersedia di rumah.
"Ya udah gimana baiknya menurut kamu," ujar Rendra sambil membuka laptop di pangkuan.
"Oya, aku udah cerita belum? Kemarin, Pak Drajat manggil," lanjut Rendra yang sekarang sudah berkutat di depan laptop, sepertinya mulai menyicil mengerjakan tesis.
"Hekhekhekhek.....," Arung mulai merengek lagi karena kesulitan menelan.
"Iya sayang....," ia pun kembali mengoles dada Arung dengan Transpulmin bb. "Nanti kalau dahaknya keluar jadi lega. Nggak papa muntah juga."
"Hekhekhekhek.....," Arung terus merengek dengan bibir meletot dan hidung memerah.
"Telepon dokter Barata lah, tanyain obatnya apa," Rendra mengernyit melihat Arung yang semakin rewel.
Ia tak menjawab, sibuk mengolesi dada Arung dengan Transpulmin bb, lebih memilih untuk membahas kalimat Rendra sebelumnya, "Pak Drajat manggil kenapa?"
Rendra mengusap kepala Arung yang masih merengek. Mungkin karena merasa nyaman dengan sentuhan Rendra, Arung tak lagi merengek, mulai mengisap ASI meski masih tersendat-sendat.
"Nawarin jadi dosen tamu," ujar Rendra yang masih mengusap-usap kepala Arung.
Matanya langsung membulat menatap Rendra, "Abang jawab iya ?
Rendra menggeleng, "Belum."
"Kenapa belum?" ia selalu excited tiap kali tawaran mengajar mendatangi Rendra. Entah mengapa adegan iconic di podium wisuda ketika Dekan Filsafat menepuk-nepuk bahu Rendra sambil berkata, "Kelak kamu yang jadi Dekan dan mewisuda disini" begitu membekas di hatinya.
Ditambah kemampuan public speaking Rendra yang diatas rata-rata, jelas menjadi modal tak terbantahkan untuk terjun ke dunia pengajaran. Terlebih lagi visi jangka panjang Rendra adalah berada di tempat yang aman dan stabil. Jauh dari hiruk pikuk persaingan bisnis dan usaha yang sering membuatnya jantungan.
"Bulan kemarin waktu ditawarin ngisi kuliah umum sama Kampus Bela Negara langsung oke?" sergahnya mengingat sesuatu. "Dulu diundang sama almamaternya Bang Rakai juga oke. Kenapa diundang almamater sendiri malah mikir?"
"Bentrok waktunya sama undangan rapat pra kontrak dari kementerian."
Ia memandang Rendra tak mengerti, mengapa masih saja disibukkan dengan tumpukan pekerjaan di ManjoMaju, padahal target Rendra setelah menikah langsung lepas tangan, ManjoMaju full dikelola oleh Rakai.
"Pak Drajat bilang, kuliah umum ini jembatan buat jadi dosen tamu di kelas. Karena dosen-dosen muda TI banyak yang lagi tugas belajar di luar, beberapa matkul kosong, belum ada pengampunya."
Matanya kembali membelalak senang. Ia jelas akan bilang, 'Ambil Bang, terima,' namun demi melihat separuh jiwa Rendra masih berada di ManjoMaju, akhirnya ia lebih memilih untuk berkata, "Rapat sama kementerian penting banget?"
Rendra mengangguk, "Ini gerbang terakhir untuk terus atau cut. Untung yang menguntungkan apa malah untung padahal rugi."
Ia mengernyit tak mengerti maksud dari kalimat Rendra barusan. "Rakai bisa handle?"
Rendra hanya menatap lurus ke layar laptop.
Oke, ia mengerti, berarti Rendra masih belum bisa melepas Rakai sendiri.
"Ya udah, gimana baiknya menurut Abang," pada akhirnya ia harus mengatakan ini. "Emang kapan undangannya?"
"Minggu depan."
"Oh, masih ada waktu," ia berusaha menghibur diri sendiri, semoga dalam waktu beberapa hari ke depan, Rendra berubah pikiran.
"Oya, selain ngomong tentang dosen tamu, Pak Drajat juga ngundang kita bertiga buat makan malam di rumah beliau."
"Kapan?" ia kembali antusias.
"Minggu malam."
"Aku mau," jawabnya cepat. Mungkin bertemu dan berbicara langsung dengan istri seorang guru besar bisa menambah referensi baginya untuk mensupport Rendra memasuki dunia yang baru diluar bisnis.
"Semangat amat," Rendra terkekeh.
"Iya, habis kayaknya asyik kalau ngobrol sama Bu Drajat. Dulu, waktu beliau hadir di resepsi kita aja ngobrol cuma sebentar segitu serunya," ia mengingat-ingat saat mereka berdua menemui Pak Drajat dan istrinya di salah satu meja jamuan untuk tamu VIP.
"Tapi Arung lagi pilek begini, masa iya kita pergi malam-malam?"
Ia meringis, "Iya juga ya," sambil mengelus lengan montok Arung yang kini mulai tenang mengisap ASI sambil terkantuk-kantuk.
"Tapi Abang udah bilang iya?" tanyanya ingin tahu.
"Aku bilang, nanti saya tanya istri dulu Pak," jawab Rendra masih tetap konsentrasi ke layar laptop.
"Ih," ia mengkerut.
"Kenapa?" Rendra ikut mengkerut.
"Masa mesti nanya istri dulu, ntar aku dikira istri diktator yang otoriter," cibirnya.
Rendra terkekeh, "Lho iya bener kan nanya istri dulu. Kalau kamu udah ada acara gimana hayo?"
Ia kembali mencibir.
"Kalau Arung masih pilek, biar kita berdua aja," ujar Rendra akhirnya. "Arung biar di rumah sama Mba Suko."
"Tapi seru juga kalau bawa Arung Bang. Beliau berdua juga kan jenguk sampai dua kali ke rumah sakit. Pertama waktu aku baru lahiran, kedua waktu Arung masih di NICU."
"Ya gimana lagi, anak pilek masa dibawa-bawa."
"Ya udah tolong pasang humidifiernya aja sekarang Bang, mumpung Arung bobo. Semoga bisa cepat melegakan napas."
"Oke," Rendra mengangguk lalu menyimpan laptop di atas sofa, kemudian berjalan ke kamar untuk memasang humidifier.
Hari Sabtu malam, napas Arung mulai membaik. Tak sepayah malam kemarin. Tak ada lagi suara ngorok saat bernapas. Benar-benar thanks to kolaborasi antara balsam bayi, bawang merah dan minyak but-but, saline nasal spray, dan humidifier. Plus pantang menyerahnya Arung untuk minum ASI dan masih mau makan meski sedikit. Membuat cairan yang masuk ke dalam tubuh tercukupi hingga lambat laun daya tahan tubuh mulai meningkat untuk melawan flu.
"Sekarang udah nggak grok grok lagi," bisik Rendra tepat di telinganya sambil memperhatikan Arung yang terlelap dengan tenang.
Ia mengangguk sambil tersenyum, "Alhamdulillah. Tahu mungkin besok mau diajak jalan malam."
Rendra tertawa kecil. "Kamu cape nggak?" sambil mulai menelusuri telinganya. "Sofa nganggur tuh lama nggak jadi TKP," bisikan Rendra diikuti dengan hembusan napas hangat yang meniup-niup di sepanjang daun telinganya.
Yeah, the young and dangerous always tempting me.
Hari Minggu pagi, meski masih sering bersin dan hidung meler, namun Arung tak serewel dua hari kemarin. Sudah mau nen dengan tenang tanpa menangis. Dan sudah tertawa tergelak-gelak saat Rendra mengajaknya bermain.
Siang hari Rendra bersemedi di guanya alias ruang kerja, entah mengerjakan apa. Sementara Arung dan dirinya tidur nyenyak. Jelang sore saat ia baru saja mulai mengukus singkong untuk dibuat gethuk lindri, Arung terbangun.
Setelah nen dan makan biskuit, Arung mau dilepas bermain sendiri di baby's playmat dengan ditemani oleh Mba Suko. Sementara ia melanjutkan membuat gethuk lindri dan menggoreng mendoan untuk dibawa ke rumah Pak Drajat.
Dan kehectican menyiapkan anak bayi untuk pergi benar-benar ia rasakan sekarang. Mulai dari memandikan Arung, lalu ketika ia baru mau memakaikan pospak ternyata Arung pipis sampai kucurannya membasahi baju yang hendak dipakai yang masih terlipat rapi di samping. Membuatnya harus membersihkan semua kekacauan. Namun begitu semua beres, Arung malah pup. Yeah, mamak lyfe.
Akhirnya tepat pukul 18.35, mereka telah berdiri di depan pintu rumah Pak Drajat.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, silahkan masuk.....," Pak Drajat sendiri yang membukakan pintu untuk mereka. "Wah, akhirnya....Rendra sekeluarga. Bu.....," Pak Drajat memanggil istrinya. "Ini loh....tamu kita sudah datang."
"Woo...udah gede bianget ini cah ngganteng," Bu Drajat langsung mengulurkan tangan kearah Arung yang sedang asyik menggigit-gigit teether di lengan Rendra.
Pertama Arung menautkan alis saat melihat Bu Drajat, lalu mengernyit sebentar, sebelum akhirnya tertawa memperlihatkan empat gigi kecilnya, dua di atas dua di bawah.
"Iki critane pengenalan medan sik (ini ceritanya pengenalan medan dulu)," seloroh Pak Drajat demi melihat ekspresi Arung.
"Bayi saiki yo ngene ki, nek ono objek tak dikenal kudu screening sik (bayi sekarang ya begini, kalau ada objek tak dikenal, screening dulu)," ujar Bu Drajat sambil terkekeh.
"Wis untung iki ora nangis. Lah anake Nawang nek diparani wong anyar lak njur nangis (Sudah untung ini tak menangis. Anaknya Nawang kalau didekati orang baru malah langsung menangis)," tambah Bu Drajat sambil mengelus pipi Arung.
"Papapapaapa....Tatatata.....," Arung yang seolah mengerti sedang menjadi spotlight langsung unjuk gigi dengan berceloteh.
"Wah, cah pinter (wah, anak pintar)," Bu Drajat kembali mengulurkan tangan. "Nderek Mbah nggoh Nang (ikut nenek yuk nak)."
"Tatatatatatata.....," Arung yang masih asyik berceloteh tak mengindahkan ajakan Bu Drajat.
"Woo...ndak mau ikut Mbah to?" Bu Drajat terkekeh.
"Lho iki malah ora lungguh piye (lho ini malah nggak duduk gimana)," Pak Drajat menyentuh bahu istrinya. "Silahkan duduk dulu....biar lebih enak ngobrolnya."
"Waiyo, nganti lali (sampai lupa)," Bu Drajat tertawa. "Ayo duduk dulu....."
Rendra tersenyum mengangguk, sementara ia mengangsurkan box yang sedari tadi dipegang, "Monggo Bu (silahkan Bu)."
"Wah, ndadakan repot-repot piye iki (wah, jadi repot-repot gimana ini)," Bu Drajat tersenyum sambil menerima box darinya.
"Mboten repot Bu (Nggak repot Bu)," Rendra yang menjawab sambil tersenyum. "Ini makanan khas Purwokerto buatan istri saya sendiri."
"Wah iyo? Masak dhewe (masak sendiri)? Mesti enak iki (pasti enak ini)," ujar Bu Drajat sungguh-sungguh. "Maturnuwun nak, sek tunggu sebentar ya....," Bu Drajat pamit untuk masuk ke dalam.
Sepeninggal Bu Drajat mereka bercakap-cakap dengan Pak Drajat di ruang tamu yang asri.
"Anakmu iso mirip bianget karo kowe, Ren (anakmu bisa mirip sekali sama kamu, Ren). Iso ngono piye (bisa begitu gimana)?" seloroh Pak Drajat sambil tertawa.
Rendra hanya tertawa-tawa sambil berkata, "Bukti konkret anake kulo niki Pak (bukti konkret anak saya ini Pak)."
Tak lama kemudian Bu Drajat kembali muncul, "Ayo, kita langsung makan aja. Nanti keburu kemalaman kasihan bayinya."
Wah, ini benar-benar acara makan malam yang spesial demi melihat deretan aneka hidangan yang telah disajikan di atas meja makan. Ada gulai kepala kakap, capcay, rawon, telur asin, tahu tempe, kerupuk udang, buah-buahan, termasuk mendoan dan gethuk lindri yang dibawanya.
"Mari, silahkan.....makan seadanya," seloroh Pak Drajat sambil mendudukkan diri di kursi.
"Wah, makan besar spesial ini Pak," ujar Rendra.
"Ini nih, cah ngganteng duduk disini aja," Bu Drajat datang sambil membawa sebuah high chair. "Ini punya cucu sengaja ditinggal disini, dipakai kalau pas mudik."
"Wah, maturnuwun sanget (terima kasih banyak)," ia pun mendudukkan Arung di atas high chair.
Acara makan malam yang hangat pun dimulai. Rendra bercakap-cakap dengan Pak Drajat, dan yang sempat ia dengar adalah pertanyaan Pak Drajat ke Rendra tentang, "Piye iso ngisi kuliah umum ora (gimana bisa mengisi kuliah umum nggak)?"
Sekaligus support yang sangat ia harapkan datang dari sosok seperti Pak Drajat,
"Ora kudu S2, S3 saiki wis iso dadi dosen tamu (nggak harus S2, S3 sekarang bisa aksi dosen tamu). Sing penting menguasai bidang."
"Saiki rektorat seringe yo ngundang para praktisi (sekarang rektorat sering mengundang para praktisi)."
"Men iso aweh gambaran real dunia kerja nggo mahasiswa (supaya bisa memberi gambaran real dunia kerja pada mahasiswa)."
"Lha kowe wis iso nduwe perusahaan yo itungane wis termasuk praktisi (kamu punya perusahaan sendiri hitungannya sudah masuk praktisi)."
Dengan Arung yang sedang asyik mencecapi buah pepaya pemberian dari Bu Drajat.
"Pinter makane yo? Awake iso apik ngene ki (badan bisa bagus seperti ini)," ujar Bu Drajat sambil mengusap kepala Arung.
"Alhamdulillah Bu."
Kemudian Bu Drajat mulai menceritakan ketiga putrinya. Nawang, si sulung yang juga memiliki bayi seusia Arung, selain sedang mengikuti suami yang menjalani program post doc di Jepang, sekaligus juga tengah mengambil PhD untuk dirinya sendiri. Luar biasa.
Sekar, yang kedua, baru saja meraih gelar MBA dari Oxford University. Dan sebentar lagi akan pulang ke Indonesia untuk melangsungkan pernikahan.
Keren banget.
Kemudian si bungsu, Gendhis yang baru saja terbang ke Aussie untuk mengambil Master urban planning.
"Gendhis itu dulu sama Bapak sempat mau dijodohin sama Rendra," bisik Bu Drajat sambil terkekeh. Membuatnya ikut tertawa namun sambil mengernyit. Rendra itu ya, peminatnya ada dimana-mana. Hmmm.
"Gara-gara Rendra sering ke rumah, terus Bapak ngerasa sreg."
"Tapi ya namanya bukan jodoh. Rendra kayaknya nggak tertarik sama Gendhis. Lha Gendhis juga nggak mau dijodoh-jodohkan," Bu Drajat geleng-geleng kepala.
"Anak jaman sekarang. Bukan Siti Nurbaya katanya," seloroh Bu Drajat.
"Gendhis itu dulu seangkatan sama Rendra, tapi udah lulus duluan," lanjut Bu Drajat lagi yang membuatnya ber oh panjang. "Bedanya kalau Rendra TI, Gendhis Arsi. Tapi yo sama-sama teknik."
"Tapi saiki Rendra yo wis ayem (tapi sekarang Rendra juga sudah tenang)," ujar Bu Drajat sambil mengelus bahunya. "Udah punya keluarga kecil, istri yang ayu, anak ngganteng. Wis lengkap (sudah lengkap)."
"Ibu....," ia melirik Rendra yang sedang tertawa bersama Pak Drajat. "Boleh nanya nggak?"
"Apa Nduk....nanya apa?"
Ia harus menuntaskan misi untuk mengetahui gambaran tentang dunia pengajaran yang telah dilakoni beliau berdua sejak puluhan tahun lalu -Bu Drajat juga seorang Kaprodi di FMIPA kampus biru-.
Dengan background suara gelak tawa Rendra dan Pak Drajat, juga celotehan Arung, ia mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Bu Drajat. Berharap bisa menjadi modal baginya untuk mensupport Rendra menapaki dunia baru diluar bisnis.
"Lho, kok malah jadi keasyikan ngobrol," seloroh Bu Drajat. "Sambil ngobrol sambil makan biar dapat semuanya," ujar Bu Drajat sambil mengangsurkan mangkuk berisi gulai kepala kakap yang terlihat lezat menggiurkan kearahnya.
Namun entah mengapa, begitu mencium bau aroma khas gulai, perutnya mendadak mual tanpa ampun. Membuatnya ijin untuk pergi ke kamar mandi.
Hampir lima menit berada di kamar mandi, rasa mual mendadak hilang. Berganti menjadi pusing yang tak terkira.
"Kenapa Nduk?" tanya Bu Drajat ketika ia keluar dari kamar mandi. "Lho kok jadi pucete ngono (lho jadi pucat begitu). Sakit opo?"
Ia menggeleng, "Mboten Bu (enggak Bu). Mung niki wau (cuma barusan) weteng kados uyel-uyelan (perut mual)."
Bu Drajat melihatnya dengan tatapan menyelidik, "Opo hamil meneh (apa hamil lagi)?"
Sepanjang perjalanan pulang ia lebih banyak berdiam diri merenungkan ucapan Bu Drajat, sementara Arung terlelap di atas baby car seat.
"Opo hamil meneh?"
"Opo hamil meneh?"
"Nggi?!"
Ia terperanjat begitu mendengar Rendra memanggil, "A-apa?"
"Kamu ngelamun?" Rendra menggelengkan kepala.
Ia hanya tersenyum kaku. "Abang nanya apa barusan?"
"Tadi ngobrol apa aja sama Bu Drajat, kayaknya asyik bener?"
Ia hanya mencibir, "Ngobrolin mantan calon mantu."
Rendra tertawa, "Apa sih."
"Kalau dilihat di foto keluarga yang ada di ruang tengah tadi, Mba Gendhis itu cantik, kenapa Abang nolak?"
"Nolak apa?" Rendra masih tertawa.
"Dih," desisnya sebal. "Jangan pura-pura nggak tahu."
Rendra hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil mengacak puncak kepalanya. Bersamaan dengan serangan rasa mual persis seperti saat tadi ia mencium aroma gulai. Membuatnya spontan menutup mulut.
"Kenapa?" Rendra mengernyit.
Ia hanya menggeleng, "Nggak tahu tiba-tiba mual."
"Masuk angin?"
Ia mengangkat bahu.
"Kurang tidur kali kemarin dua malam begadang ngurus Arung pilek."
"Semoga memang cuma masuk angin Bang," ujarnya penuh harap. Karena lagi-lagi ucapan Bu Drajat kembali terngiang di telinga.
"Opo hamil meneh?"
"Opo hamil meneh?"
Rasanya tak mungkin. Karena sebelum pulang dari rumah sakit ia sempatkan untuk memasang IUD sesuai masukan dari dr. Mazaya. Agar ia lebih fokus merawat Arung yang beresiko tinggi. Sekaligus memberi jeda karena ia melalui proses melahirkan secara Caesar.
Ditambah selama 5 hampir 6 bulan ini sejak melahirkan, ia memang tak pernah mendapat haid. Pikirnya karena sedang menyusui Arung, yang juga bisa berperan sebagai KB alami. Tapi kalau sekarang mual-mual?
Hari Senin pagi saat sama-sama hendak berangkat bekerja ia bilang ke Rendra, "Bang, hari ini aku bawa sendiri. Ada pelatihan di kantor sampai malam. Jadi dari kampus aku balik lagi ke kantor."
"Kuantar nggak papa."
"Oh, nggak usah. Nanti malah bolak-balik Abangnya. Lagian kalau Abang selesai duluan bisa langsung pulang nemenin Arung. Aku khawatir sampai malem banget."
"Oke," Rendra mengangguk setuju.
Malam ini di kantor memang ada pelatihan. Namun ia ijin si dua sesi awal karena ingin pergi menemui dr. Mazaya. Ya, ia pergi seorang diri, tanpa Rendra. Hanya ingin memastikan apakah rasa mual dan pusing yang sejak kemarin tiba-tiba sering melanda itu masuk angin biasa atau.....
"Positif," dr. Mazaya memperlihatkan hasil test kehamilannya yang menunjukkan strip dua.
"K-kok bisa Dok?" tanyanya pias. Arung bahkan bulan depan baru menginjak usia 6 bulan. Ini jelas jauh diluar dugaannya.
"Bukannya saya udah pakai IUD? Kok masih bisa?" ia kembali mengulang pertanyaan yang sama.
"Keefektifan IUD untuk mencegah kehamilan sebenarnya mencapai 99%. Namun bisa saja ibu yang telah memakai IUD hamil, meski memang sangat jarang, hanya sekitar kurang dari 5%."
"Jadi saya termasuk yang 5%?"
Dr. Mazaya tersenyum, "Bisa jadi. Setelah ini kita lihat melalui USG ya. Biasanya terjadi kehamilan karena IUD bergeser sedikit atau bahkan semuanya."
"T-tapi terakhir kontrol bukannya masih bagus Dok?" ia ingat betul, sebulan setelah dipasang IUD ia mengikuti saran dr. Mazaya untuk kontrol letak IUD. Dan saat itu masih pada posisi yang tepat.
"Baik, mari kita lihat," ujar dr. Mazaya sambil beranjak menuju peralatan USG.
Dan seperti baru saja kemarin ia alami, merebahkan diri di atas examination table, diolesi gel dingin oleh perawat, untuk kemudian dr. Mazaya memutar-mutar alat USG di atas perutnya.
"Iya benar, IUD bergeser," tunjuk dr. Mazaya kearah layar.
"Sekarang kita lihat.....," dr. Mazaya tersenyum penuh arti. "Mba Anggi benar-benar subur. Lihat....," sambil menunggu kearah layar.
"Kehamilan yang sehat dengan kantung rahim bagus, detak jantung bagus. Sekarang kita cek seberapa besar calon adik Arung.....," gumam dr. Mazaya.
"Wah, lihat....aku udah sebesar kacang Mami," ujar dr. Mazaya. "Panjangnya 5 mm, 6 minggu."
"Selamat untuk bayi yang kedua Mba Anggi," lanjut dr. Mazaya sumringah. "Kedua atau ketiga ya?"
***
Keterangan :
Saline nasal spray. : larutan untuk melegakan pernapasan bayi karena flu
Humidifier. : alat untuk menjaga kelembaban udara
Gethuk lindri. : makanan khas Jawa yang terbuat dari singkong, biasanya dibentuk menyerupai bongkahan mie yang digulung menjadi sebuah bongkahan kecil ditaburi dengan parutan kelapa
IUD. : alat kontrasepsi dalam rahim
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu