Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
035. Datang dan Pergi
Dul masih mengingat betapa terpukaunya ia saat itu. Seorang bayi menggeliat dalam selimut yang didekap Bara. Dul berjinjit, mendongak tak sabaran ingin melihat makhluk mungil yang katanya menjadi penyebab sakit ibunya selama ini.
“Mas Dul, ayo sini ….” Bara memanggil Dul dan duduk di kursi dekat ranjang Dijah. “Ini adik Mas Dul. Cantik, enggak?” tanya Bara seraya membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh mungil di dekapannya.
Beberapa detik lamanya, Dul hanya diam. Melihat bayi merah yang mengecap-ngecap bibirnya yang merah, matanya terpejam dan rambutnya … Dul melihat hal yang amat dikenalinya. “Rambutnya sama kayak Ayah,” ucap Dul. Itu adalah hal pertama yang disadarinya dari sosok Mima.
Bara tergelak. “Rambutnya mirip Ayah, ya? Ikal-ikal, kan? Mas Dul pinter,” ujar Bara.
“Cantik dan kecil. Aku manggilnya apa?” tanya Dul, belum mengalihkan tatapannya dari adik perempuannya.
“Adik Mas Dul ini nama lengkapnya Fatimah. Panggilannya Mima.” Bara mengusap pipi Mima dengan telunjuknya.
“Halo, Mima … ini Mas,” ucap Dul, meletakkan telapak tangannya di kepala Mima.
Kehadiran Mima pun menambah aktifitas dan semangat baru buat Dul. Rasa bangga menyelinap ke hatinya karena menyadari statusnya sebagai kakak laki-laki dari bayi cantik.
Kedatangan Robin bersama ibunya pun menjadi ajang pamer buat Dul. Sejak menit pertama kedatangan Robin, Dul langsung menyeret sahabatnya itu mendekati box bayi tempat di mana Mima baru saja tertidur usai menyusu.
“Lihat ini, aku sekarang punya adik. Cantik, kan?” Dul membusungkan dadanya dengan bangga. Akhirnya ia memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh Robin.
Robin terdiam menatap Mima, lalu melirik Dul, kemudian menoleh ke arah ibunya yang sedang mengobrol di dekat ranjang.
“Coba kutanya mamakku dulu,” kata Robin. “Mak! Mak! Aku bisa punya adek kayak si Dul gini? Cantik kali adeknya,” seru Robin, memandang ibunya.
“Bah! Minta adek macam minta ombus-ombus aja kau!” sergah Mak Robin pada anaknya.
“Punya anak satu kayak kamu aja rambut ibumu udah sisa setengah yang item. Tambah seorang lagi, rambut ibumu bisa putih semua, Bin.”
“Ah, mana mungkin. Ada-ada aja Bu Tini ini,” tukas Robin memandang salah satu teman ibunya. Teman ibunya terkikik-kikik mendengar jawabannya.
“Jangan minta sekarang,” bisik Dul.
“Ah, enggak usahlah, Dul. Berat kayaknya aku punya adek. Nanti dikurangi pulak jajanku.” Robin mengibaskan tangannya pada Dul.
“Iya, enggak usah.” Dul mengangguk-angguk setuju saat Robin mengurungkan rencananya. Ia sedikit khawatir melihat wajah ibu Robin yang mengukir raut kesal.
Dul ingat betul saat Mima pertama kali dibawa pulang ke rumah. Semua orang sibuk bak menyambut tamu kehormatan. Dalam sekejab saja Mima mencuri hati semua orang di rumah Pak Wirya. Bayi dalam bungkusan selimut itu tak henti berpindah tangan. Dul mendengarkan dengan tekun tiap pujian yang dilontarkan orang-orang tiap melihat Mima.
Jika ditanya bagaimana perasaannya, Dul merasa senang sekali. Bayi yang sedang dipuji-puji itu adalah adiknya. Anak yang dilahirkan oleh ibunya.
Bara tak henti mengatakan kalau ia dan Mima harus saling menyayangi. Seperti di suatu sore saat semua orang sedang berada di dalam rumah, Dul duduk di sebelah Bara yang sedang memangku Mima di teras belakang. Saat itu mereka masih berada di rumah Pak Wirya.
“Mas Dul … sayang sama Mima, kan?” tanya Bara.
“Sayang,” jawab Dul. Mulutnya sedang mengunyah pisang goreng hangat cemilan sore itu.
“Mas Dul tau Bulik Sukma, kan?” tanya Bara lagi. Dul menjawabnya dengan anggukan. “Bulik Sukma itu adiknya Ayah. Dari kecil, sampai dewasa dan kami berdua menikah, Ayah dan Bulik Sukma tetap bersaudara. Saling menyayangi dan ada untuk mendukung satu sama lain. Begitu juga Dul dan Mima nantinya. Sampai kapan pun akan tetap bersaudara. Harus saling dukung, ada sewaktu salah satunya membutuhkan bantuan. Karena … Ayah dan Ibu juga bakal tua seperti Akung dan Uti. Kira-kira Dul ngerti enggak apa yang Ayah omongi?”
Dul memasukkan gigitan terakhir pisang goreng ke mulutnya. Ia diam berusaha mencerna ucapan Bara yang sore itu dinilainya lebih panjang dari biasa. Dul mulai memahami bahwa Bara adalah orang yang sederhana dalam berbicara. Jika pria itu menyampaikan sesuatu yang cukup panjang, artinya hal itu cukup penting untuk diketahuinya.
“Ngerti, Yah. Aku harus sayang Mima. Mima juga harus sayang aku. Sampai besar nanti.” Itulah kesimpulan yang bisa diambilnya dari perkataan Bara sore itu. Selebihnya, Dul menikmati waktu dua minggu berada di rumah Pak Wirya dengan aktifitas barunya. Bermain ditemani Pak Wirya atau Bu Yanti yang sedang memangku Mima.
Kehadiran Mima tidak membawa perubahan signifikan selain adanya suara tangis bayi di rumah itu. Hanya ditambah obrolan soal Mima yang selalu begadang di malam hari. Seisi rumah ikut bergantian menjaganya. Mima menjungkirbalikkan jam tidur ayah ibunya.
Selepas dua Minggu, Bara harus kembali masuk ke kantor usai menghabiskan masa cuti. Mereka semua kembali diboyong ke rumah.
Dul yang selama dua minggu terbiasa dengan suasana rumah yang ramai, kini merasa kehilangan sesuatu. Rumah sepi tanpa obrolan Pak Wirya di depan televisi atau di meja makan. Juga sepi dari pertanyaan-pertanyaan Bu Yanti buat mengecek sesuatu.
Setibanya kembali ke rumah, Dul kini memiliki rutinitas baru. Yang sebelumnya mengekori Mbok Jum ke mana-mana, sekarang berganti dengan mengekori Mima. Di mana pun Mima berada, ia akan selalu ada di dekat bayi perempuan itu. Mengamati Mima tidur, melihat Mima dimandikan, atau juga membantu menenangkan Mima yang menangis dengan mengusap-usap kakinya.
Ketika proses hidup berjalan dengan begitu teratur, sebagaimana yang selama ini diinginkan oleh Dul, ada satu lagi peristiwa yang diingatnya sebagai sebuah kehilangan.
Usia Mima sudah menginjak satu bulan kala itu. Dul mengingat beberapa potong ucapan ibunya yang sedang bertelepon.
“Jangan minggu depan, Kang. Kelamaan … Lusa aja bawa ibu ke sini. Nanti aku minta Ayah Mima jemput ke sana, ya. Ibu udah janji mau nginep di rumahku. Lusa Ayah Mima libur, aku minta jemput ibu ke sana. Ibu harus mau. Aku ngerti ibu ngerasa rendah diri, tapi aku, kan, anaknya. Jangan berlebihan kayak gitu. Apa Ibu nggak kepingin liat anakku? Enggak usah ngapa-ngapain di sini. Duduk aja, liat aku ngurus anak-anakku.”
Tidak ada yang memberitahu Dul dengan siapa ibunya bicara saat itu. Namun, mendengar ucapan ibunya, Dul mengerti kalau Mbah Wedok-lah yang sedang dibicarakan. Dul mundur menjauhi pintu kamar karena mendengar langkah pintu pagar dibuka. Ayahnya sudah tiba di rumah.
Ia rindu pada Mbah Wedok. Ia tahu kalau ibunya sudah berkali-kali meminta Mbah Wedok tinggal bersama mereka, tapi selalu menolak.
Sampai suatu malam, ibunya menangis dengan sebuah ponsel masih terletak di telinganya. Mbah Wedok kembali masuk rumah sakit.
To Be Continued